Setya Novanto Kembali Tersangka, Kursi Panas Golkar Kini Diperebutkan?

Senin, 13 November 2017 | 10:42 WIB
0
186
Setya Novanto Kembali Tersangka, Kursi Panas Golkar Kini Diperebutkan?

Kekuatan Partai Golongan Karya selama ini masih acap dilekatkan dengan kekuatan Jenderal Soeharto yang mampu memimpin Indonesia lebih dari tiga periode. "Jika mau tahu seberapa kuat Golkar, maka lihat saja lagi bagaimana kekuatan Soeharto," kira-kira begitulah kepercayaan diri mereka yang selama ini bersikukuh bertahan di bawah sang Beringin Tua tersebut.

Golkar bukan partai yang lahir secara instan. Itu yang membuat mereka sangat diperhitungkan terlepas Soeharto sendiri hampir dua dekade atau mendekati 20 tahun tak lagi berkuasa di negeri ini, dan ia sendiri pun telah mengembuskan napas terakhirnya nyaris tanpa terusik secara serius meski berkuasa lebih 30 tahun.

Mengulas masa lalu -bahasa ini mirip lagu Via Vallen, ya?- ada tangan militer di sana, terutama saat partai ini masih berbentuk belum cukup jelas dan orang-orang masih mengenalnya sebagai Sekber Golkar yang telah ada bahkan sejak masa-masa menjelang Soekarno turun dari tahtanya.

[caption id="attachment_2681" align="alignleft" width="480"] Presiden Soeharto[/caption]

Keberadaan Golkar lekat dengan Angkatan Darat, dan langkah awal mereka langsung menghadapi sebuah tantangan sangat besar. Mereka menjadi "pesepak bola" masih hijau, yang ingin meruntuhkan sebuah raksasa bernama Partai Komunis Indonesia.

Nggilani, lantaran Golkar belakangan dipandang layaknya pohon yang menabrak kelaziman, alih-alih jadi sasaran dipangkas dari kecil hanya dengan arit lengkap dengan palu, mereka justru disebut-sebut turut andil membuat arit kehilangan ketajaman dan palu pun patah.

Tercatat dalam sejarah, sejak mengikuti Pemilu kali pertama pada 1971, Golkar langsung menjadi pemenang. Nggilaninya lagi, secara beruntun mereka menjadi pemenang dari Pemilu 1977 sampai Pemilu 1997. Cukup menjadi bukti, Golkar punya kekuatan dan kemampuan membuat akar-akar mereka menancap kuat ke dalam tanah, merambat jauh hingga ke pelosok paling terpencil.

Ketika di banyak daerah bahkan belum dimasuki arus listrik, Golkar sudah jauh lebih dulu masuk ke sana. Golkar pernah menjadi Pohon Beringin terbilang sakti, hingga tak ada yang dapat mendongkel mereka dari tempat mereka tumbuh dan berdiri.

Kemudian beberapa partai seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Demokrat hingga Gerakan Indonesia Raya sempat mencuri perhatian, namun Golkar tetap tak dapat dibuat tumbang.

Istimewanya, setelah reformasi, Golkar bertarung dengan jurus yang dapat dipastikan jauh berbeda dibandingkan kala Soeharto masih menjadi presiden sekaligus "berhala" yang membuat Golkar selayaknya "Singgasana Dewa" yang tak mampu diusik siapa pun. Dalam jurus berbeda itu, mereka bertarung menghadapi lawan lama hingga lawan-lawan baru dari segala penjuru. Lagi-lagi tak ada yang sepenuhnya dapat meredupkan pamor mereka.

Bahkan di tengah gonjang-ganjing pasca-reformasi, nama Golkar dijatuhkan seakan terpuruk hingga titik nadir, namun mereka tetap dapat menguntit di posisi kedua. Menjadi bukti, mereka tak sepenuhnya tumbang. Posisi istimewa itu masih dapat diraih meskipun tak lagi menerapkan langkah terkesan otoriter seperti pernah dilakukan Soeharto dengan kekuatannya yang menjangkau hingga sudut terjauh dari lingkar kekuasaannya.

Meski kini sebagian kita beruban, namun pastilah uban belum cukup mampu membuat kita lupa. Setelah reformasi pun, Partai Golkar sempat juga menjadi "kampiun" alias pemenang Pemilu Legislatif. Jika uban membuat Anda pelupa, itu terjadi pada tahun 2004, kala mereka meraup suara hingga 24,4 juta suara dan itu setara dengan 21,58 persen.

Pencapaian itu hampir sulit dipercaya. Kenapa? Bukan soal bahwa tak ada pupuk khusus untuk pohon Beringin Tua, melainkan baru setahun setelah reformasi bergulir, mereka sempat tersalip PDIP yang meraih suara tertinggi hingga 23,7 juta suara atau 22,44 persen.

Amien Rais yang sempat jumawa dengan label sebagai "Bapak Reformasi" pun konon meningkat jumlah ubannya karena fakta ini. Kita tahu, sosok ini sempat menyimpan ambisi menjadi presiden lewat Partai Amanat Nasional, namun setiap kali pengumuman siapa terpilih sebagai Presiden, tak pernah satu kali pun berujung keluarnya namanya.

Padahal ia, sekali lagi, salah satu "pahlawan" reformasi, lho? Jadi, katakanlah Amien Rais mampu menumbangkan Soeharto, tapi ia tak berdaya di depan Golkar dan tangan-tangan yang menjadi akar partai berlambang beringin tersebut.

M.C Ricklefs, yang merupakan profesor kehormatan di Monash University, pernah merekam itu dalam bukunya berjudul Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Di sana ia mengabadikan bagaimana masing-masing partai berlaga memperebutkan 462 kursi DPR -karena ada 38 kursi untuk militer. Pada 1999, saat PDIP meraih 153 kursi, Golkar masih mampu meraih 120 kursi. Menjadi sinyal awal, badai reformasi datang, berbagai propaganda menghantam mereka, hanya beberapa daun saja yang luruh, namun akar hingga dahannya sebagian besar masih kokoh.

Apakah peta saat itu masih berpengaruh hingga kini? Iya, terbukti ketika berbagai isu menerpa mereka, sederet tokoh memilih bikin partai sendiri, sampai Akbar Tanjung hingga Setya Novanto terjerat masalah, Partai Beringin masih menunjukkan kekuatannya.

Saktinya partai ini, karena selama ini terkesan sebagai partai yang tak menunggu dipupuk atau disiram. Bahkan saat ada yang mau menumbangkan dari dalam pun, tak ada akar yang benar-benar tercerabut dari tempatnya. Justru yang acap terjadi, banyak figur terpental, dan Golkar tidak tumbang atau sekadar bergoyang kala angin kencang menghantam mereka.

Jadi, bukan tak mungkin jika di bawah beringin itu, tak lagi hanya terisi manusia, tapi jin pun sudah bersemanyam di sana. Namun, pertanyaannya, siapa yang setia membakar kemenyan di sana?

[caption id="attachment_3864" align="alignright" width="557"]

Aburizal Bakrie[/caption]

Setya Novanto alias Setnov sendiri masih beradu silat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi Golkar terlihat masih berdiri di tempatnya; menenangkan penghuninya lewat rindang daunnya, membuai sebagian orang yang berteduh di sana lewat kesejukan ditawarkannya.

Selayaknya pohon tua, jika memang ada yang dipandang harus diusir, akan ada saja dahan yang memang patah dan jatuh menimpa siapa saja yang tak lihai menempatkan diri di bawahnya. Bagaimana Setya Novanto, akankah ia sesakti Akbar Tanjung?

Kita lihat saja apakah kesaktian Beringin Tua juga mengalir kepadanya. Jika tidak, tanpa KPK pun ada dahan yang bisa menghantamnya. Tapi jika dahan itu malah bisa dipegang KPK, maka dengan dahan itu juga mereka dapat menghantamnya.

Laporan CnnIndonesia.com, Minggu 12 November 2017, ada kekhawatiran menyeruak bahwa elektabilitas partai dipandang mulai jatuh lantaran kasus menjerat Setya Novanto. Usulan agar pergantian kepemimpinan pun berdatangan, namun Idrus Marham sebagai orang nomor dua, sekaligus menjadi sosok paling gigih menolak desakan itu.

Bagaimana dengan Aburizal Bakri yang menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar? Tampaknya ia masih menyimpan banyak peluru sekaligus langkah catur. Itu tercermin dari pernyataannya, yang tak menolak sepenuhnya pergantian kepemimpinan, juga mengesakan jika ia masih tetap ingin berdiri pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai tersebut. "Yang penting adalah Golkar bersatu," ucapnya, singkat.

Siapa tahu, dari pernyataan pendek Pinisepuh satu ini, ada sekian cerita panjang yang siap menunggu. Ini lebih mendebarkan daripada para mantan Kahiyang Ayu harus setiap waktu melihat tayangan pernikahannya di berbagai TV yang hampir tak kenal waktu.

Eh, ada berapa jumlah mantan Anda?

***