Pada Pilkada DKI Jakarta yang baru lalu, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto punya calon gubernur sendiri, Anies Baswedan dengan pasangannya Sandiaga Uno. Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga punya jagoannya, tidak lain putera sulungnya sendiri, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang berpasangan dengan Sylviana Murni.
Pada ajang Pilkada DKI Jakarta April 2017 lalu yang dijuluki "Pilpres Mini" itu, Prabowo berjaya karena Anies-Sandiaga menjadi juara setelah menang di putaran kedua melawan pasangan gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saeful Hidayat, sedangkan AHY-Sylvi tersingkir di putaran pertama.
Bahwa kemudian Prabowo berencana bertemu dengan SBY untuk sebuah "koalisi masa depan", adalah peristiwa menarik yang bakal menyedot perhatian publik yang melek politik. Keduanya tentu bukan bicara soal Pilkada DKI Jakarta yang telah lewat, melainkan bicara sesuatu yang lebih prestis dan elitis lagi, yakni Pemilhan Presiden 2019.
Sinyal bakal bertemunya dua tokoh sesama purnawirawan jenderal TNI Angkatan Darat itu disampaikan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani yang konon tengah mencari jalan dan waktu kosong untuk mempertemukan Prabowo dan SBY. Pertemuan apa lagi kalau bukan membahas soal Pilpres 2019.
Menurut Ahmad Muzani, Prabowo dan SBY masih terus mencocokkan waktu akibat masing-masing memiliki agenda yang padat. "Insya Allah dalam waktu dekat keduanya akan ketemu pada waktu yang cocok," katanya di Jakarta, Senin 24 Juli 2017 sebagaimana diberitakan Merdeka.com.
Jika dalam pertemuan nanti dibahas mengenai siapa yang bakal menjadi calon presiden dan wakilnya, Gerindra menurut Muzani terus mengupayakan mengusung kembali Prabowo sebagai calon presiden, sebagaimana yang terjadi pada Pilpres 2014 lalu.
Bagaimana dengan Partai Demokrat? Tentu saja menarik, sebab ada dua kemungkinan yang bisa terjadi; bisa mengusung SBY atau memajukan AHY.
Tidak mungkin mengusung salah satu di antara bapak-anak ini sebagai "sekadar" calon wakil presiden. Meski belum berpengalaman dan terjungkal di putaran pertama Pilkada DKI Jakarta, AHY tentu akan dipasang sebagai bakal calon presiden.
Apakah SBY bisa mencalonkan diri padahal sudah dua kali berturut-turut menjadi Presiden RI?
Kenapa tidak? Sebab, tidak ada undang-undang atau bahkan konstitusi yang melarangnya. Kalau ini terjadi, maka Demokrat punya bakal calon presiden yang sudah dua kali menjadi presiden!
Dipasang sebagai bakal calon wakil presiden berpasangan dengan Prabowo, tipis kemungkinan terjadi karena berarti "turun derajat" bagi SBY, masak dari Presiden RI dua periode menjadi sekadar bakal calon wakil presiden, apa kata dunia!?
Yang mungkin bisa terjadi adalah memasangkan Prabowo dengan AHY. Tentu saja Prabowo sebagai capres dan AHY cawapres. Mengubah komposisi Prabowo-AHY menjadi AHY-Prabowo sangat tidak mungkin.
Di sisi lain, Demokrat kabarnya akan mengusung putra AHY menjadi calon orang nomor satu di Indonesia. "Ada kehendak dan keinginan agar Pak Prabowo kembali diusung terutama capres 2019," kata Muzani seolah-olah mengunci posisi.
Tidak lupa Muzani mengklaim bahwa empat partai politi yang melakukan "Walk Out" pada pengambilan keputusan RUU Pemilu, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Gerindra dan Demokrat mulai membicarakan arah dukungan kepada Prabowo. Oleh karenanya, kata Muzani, Prabowo dan SBY akan bertemu untuk melakukan penjajakan koalisi.
Bagaimana dengan koalisi partai sebelah, partai politik pendukung pemerintah?
Kecuali PDI Perjuangan yang tidak atau belum menyatakan bakal mendukung Joko Widodo pada Pilpres 2019, setidak-tidaknya "koalisi sisa", yakni Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Hanura, masih setia mengusung Jokowi sebagai capres petahana.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews