Jakarta, dari Politik hingga Film Panas

Jumat, 16 Desember 2016 | 00:26 WIB
0
244
Jakarta, dari Politik hingga Film Panas

Di Jakarta itu, semuanya panas. Tak hanya jalanan, suhu di bawah matahari, atau kepala kita sendiri, melainkan juga politik yang bahkan mengalahkan semua yang terpanas yang ada di kota ini. Tapi perhatian orang-orang terbetot ke sini, walaupun kota ini tak menjanjikan kenikmatan dari semua hal panas itu, kecuali secangkir kopi pagi buatan istri.

Lha, kok lari ke istri lagi?

Maklum, karena Jakarta acap kali diidentikkan sebagai ibu kota, maka bayangan wajah ibu sendiri seketika berkelebat, persis beriringan dengan wajah istri—terserah Anda ingin membayangkan istri satu-satunya, atau punya istri siri. Itu tidak keliru.

Toh, dalam pernikahan pun konon ada juga bau-bau politik, toh. Saat istri berusaha maksimal lewat lirikan hingga senyuman terbaik, hanya agar pendapatan bulanan kian membaik. Walaupun, ya, seorang suami dapat saja setengah gila ditambah setengah mati, bagaimana mencari rejeki.

Politik istri menjadi langkah berpolitik paling cantik dari semua strategi politik yang pernah dikenalkan pelaku politik atau sekadar pengamat politik.

[irp posts="1964" name="Monique Rijkers, Jurnalis Yang Kampanyekan Toleransi Lewat Film"]

Seorang politisi harus lihai memainkan lips-service—ini bukan layanan berbagi-bagi bibir, lho ya? Sesuatu, yang kalo menurut kata teman-teman orang Batak, pintar-pintarnya kaulah menjual kau punya kecap!

Sementara istri, mereka betul-betul memberikan service lebih dari sekadar bibir, (glek!). Tapi sebentar! Maksud saya, mereka juga mengenalkan  kepada Anda berbagai merek lipstik, berapa harganya, dan mana saja lipstik yang berkelas. Di situlah Anda harus memutar otak, menyesuaikan diri dengan perjuangan istri Anda mengenalkan merek-merek lipstik tadi.

Kelebihan istri, meski mereka buang angin sepelan apa pun maka akan leluasa terendus oleh indra penciuman Anda. Bayangkan, apakah Anda akan seleluasa itu untuk mengendus kebusukan yang ada di tengah para pegiat politik yang ada di Senayan, atau daerah Anda sendiri? Tidak.

Apalagi, ya, di zaman yang seperti ini. Jika sudah berhubungan dengan politisi yang memang rata-rata dari kalangan tajir itu, saat mereka kentut dengan suara terkeras sekalipun, akan ada saja yang memilih pura-pura tidak tahu. Atau, jika tidak, ada saja yang rela menahan napas sejenak, dan berharap bau itu hilang dan berdiam diri.

[caption id="attachment_2318" align="alignleft" width="300"] Film agak panas - Gbr: Istimewa[/caption]

Kenapa? Ya, karena para politikus itu memang lihai sekali dalam mencari pengikut. Tipe-tipe seperti saya, jangankan mencari pengikut, mencari pasangan saja yang bersedia berstatus “ikut suami” saja sulitnya setengah mati.

Begitulah. Sehingga tak heran jika soal benar salah pun, jika sudah berbau politik, entah dia mau diaduk-aduk dengan bau sebusuk apa pun, bisa saja diteriakkan sebagai aroma harum. Terlebih jika suara yang berteriak itu kencang sekali, pake TOA lagi. Siapa paling tinggi dan paling kencang bersuara itulah yang kemudian merasa paling layak mengklaim, “Gue-lah yang paling benar!”[irp posts="2295" name="Pak Hakim, Jangan Lindungi Oknum Penista Agama!"]

Maka itulah, politik itu panas, beradu lagi dengan suhu Jakarta yang memang panas. Jangan heran jika telinga pun bisa panas, kepala mendidih. Andai tingkat didih di kepala itu, yang memang teramat panas, dapat dialihfungsikan selayaknya kompor....

Ya, saya berkhayal sejenak, jika panasnya benar-benar menyamai kompor, Anda dapat berhemat secara signifikan. Di rumah tak perlu membeli kompor gas, tabung gas, atau bahkan  rice-cooker.

Cukup meletakkan semua yang ingin dipanaskan itu di kepala Anda. Sayangnya, sepanas-panas kepala, meski bersaing dengan kawah gunung berapi, sejauh ini belum dapat dikonversi sebagai pengganti alat-alat rumah tangga itu.

[irp posts="2233" name="Fenomena Media Sosial, Jempol Kita Yang Latah dan Nakal"]

Dari yang paling jelas, sangat banyak politikus di negara ini mengalami kebotakan saja. Selayaknya rumput, tentu saja sulit untuk tumbuh di tempat yang terlalu panas.

Kalaupun ada tanaman yang dapat tumbuh di tengah panas seperti itu, pastilah sejenis dengan kaktus. Jadi jangan heran juga jika Anda amati rambut mereka itu, jika tidak botak total, minimal jarang-jarang seperti duri kaktus.

Begitulah pemandangan yang terjadi di Jakarta. Semuanya panas. Bahkan jika sebentar saja dingin, akan ada saja yang gemar mengembalikan suasana panas itu. Ya, efek dari sebegitu akrabnya mereka dengan hal-hal panas, jika ada yang mendinginkan dapat saja dituduh kafir—nah lho!

Di sini akan dengan mudah Anda dapati perdebatan panas, persaingan yang juga panas, hingga perselisihan yang memanas dari tingkat tukang parkir hingga bos tukang parkir yang bernasib baik jadi anggota dewan legislatif—sebagai permisalan.

Hal-hal panas itulah yang membuat Jakarta semakin ribut. Suara klakson kendaraan, suara penjaja dagangan keliling, suara adu makian di jalan raya, hingga adu mulut di gedung wakil rakyat dekat rumah kontrakan saya itu; semua hanya membuat segalanya kian panas dan kian ribut.

Kapan mereka diam dan betul-betul bisa menjanjikan hening? Ya, mungkin jika mereka sedang sangat tertarik untuk diam; tapi mungkin saja karena sedang menikmati filem panas.

***