Mata Hampir Buta, Tangan Kanan Lumpuh, tapi Warni Tetap Memulung

Rabu, 26 Oktober 2016 | 23:25 WIB
0
406
Mata Hampir Buta, Tangan Kanan Lumpuh, tapi Warni Tetap Memulung

Peristiwa nyata ini saya mulai ketika gubernur kami, Gubernur Banten Rano Karno, sedang berjuang mempertahankan kursi kekuasaannya melalui Pilkada serentak tahun 2017, ketika wali kota Tangerang Selatan kami, Airin Rachmi Diany, juga sama-sama tengah berjuang mempertahankan kekuasaannya.

Pagi tadi usai mengantar si bungsu ke sekolah menggunakan sepeda motor, saya bertemu bapak ini. Ya, bapak ini!

Kalau saya bilang tubuh bapak ini ringkih dan kurus-kering, mungkin kau akan kebingungan sendiri. Tetapi kalau saya bilang tubuhnya cuma sekitar 35-40 kiloan, mungkin kau bisa dengan mudah mengira-ngira sebesar apa tubuh bapak ini. Boleh jadi ia sebesar anakmu yang baru kelas enam sekolah dasar.

[irp]

Saya menemukan bapak ini seperti kebingungan sendiri di kompleks perumahan Vila Bintaro Indah, Tangerang Selatan, tempat saya dan keluarga mukim. Tangan kiri mengapit karung putih bekas urea yang dilipatnya, diikat dengan tali rafia. Tangan kanannya lumpuh, seperti menggantung dari bahu dan terayun tanpa daya. Jari-jemarinya cacat.

[caption id="attachment_1564" align="alignleft" width="315"] Warni (Foto: Pepih Nugraha)[/caption]

Saya merapatkan sepeda motor demi melihatnya kebingungan, seperti Ayu Tingting sedang mencari-cari alamat. Wajahnya seakan-akan ia sembunyikan di balik topi birunya yang sudah memudar tersengat matahari. Ketika saya sapa, ia mengangkat wajahnya....

Saya agak terkesiap. Saya memandang seluruh permukaan bola matanya memutih seperti tersaput kabut. Saya menebak-nebak apakah ia masih bisa melihat atau sekadar mengandalkan nalurinya saja bisa berada di kompleks perumahan.

"Bapak mencari siapa?" tanya saya ketika sepeda motor mulai menyejajarinya. Ia berhenti dan berpaling ke arah suara saya. Saya terkesiap untuk kedua kalinya. Kedua bola matanya benar-benar telah memutih, hanya sedikit saja unsur hitamnya. Belum sempat ia menjawab, saya bertanya lagi, "Maaf... Bapak masih bisa melihat?"

"Samar-samar, hampir gelap," katanya meneruskan langkah.

"Sebentar, Pak... Kita ngobrol sebentar," kata saya mencoba menahan langkahnya. Dia menurut. "Bapak mencari siapa di sini?" tanya saya lagi.

"Kemarin aku ketemu orang yang meminta datang ke rumahnya untuk mengambil barang rongsokan. Dia bilang rumah berpagar cat merah di perumahan ini," katanya dengan logat Jawa yang kental. Saya coba mengingat-ingat rumah tetangga yang berpagar merah, tetapi tak terlintas sedikit pun. Bapak ini lanjut menjelaskan, "Dia bilang rumahnya berada di depan rumah tetangganya yang sedang dibangun."

"Begini saja, Pak, mau singgah sebentar ke rumah saya, kita sarapan dulu?"

Bapak ini menurut. Namun demikian dia menolak untuk saya bonceng dan lebih memilih berjalan kaki. Saya menjalankan sepeda motor dengan kecepatan yang sama dengan jalannya.

Di depan car port tempat saya mukim, bapak ini membuka sandalnya di luar pagar besi. Saya membukakan pintu lebar-lebar, memintanya duduk di bangku kayu tanpa senderan yang tersedia dengan mejanya. Saya membawakannya minum air kemasan gelas kemudian. Dia menolak makan dengan alasan masih kenyang, tetapi saya tetap minta istri untuk membungkuskan nasi dengan lauk-pauknya.

Saat dia minum itulah saya mulai membuka percakapan. Dia mengaku bernama Warni. Hanya satu kancing baju yang Warni fungsikan, kerah baju terlipat ke dalam, bagian atas dadanya terlihat jelas, kurus dan nampak kerontang. Kedua lengan baju terjuntai sampai sikut. Bapak itu mengenakan celana pendek selutut yang tampak kedombrongan. Ia tak mau melepas topinya ketika saya ingin memeriksa matanya yang putih.

"Boleh saya tahu, mata bapak kenapa putih begitu?" tanya saya.

"Mataku sudah lama begini," jawabnya cepat. "Dulu bisa melihat normal, sekarang makin gelap dan samar. Sedang tanganku yang kanan ini catat sejak aku anak-anak, lumpuh." Ia kemudian mengaku berasal dari Cepu, Jawa Tengah, berusia 60 tahun.

[irp]

Saya kemudian bertanya mengenai keluarganya dan di mana ia tinggal di Tangerang ini. "Aku sebatang kara, tidak punya istri, tidak punya anak," katanya. "Aku tinggal di kampung belakang."

"Istri masih ada atau sudah cerai?" tanya saya sambil memperhatikannya minum. Matanya seperti melotot tanpa fokus. Dia mengaku tidak punya istri, juga tidak punya anak. "Tidak ada perempuan yang mau kunikahi. Mana mau perempuan mendapatkan orang cacat sepertiku." Jleb!

"Oh... maaf ya, Pak, bukan maksud saya mengungkit-ungkit pribadi Bapak! Tapi.....," saya kehilangan kata-kata sendiri. Sedih dan menyesal juga bertanya sejauh itu kepada orang yang baru saya kenal.

"Nggak apa-apa.... tapi aku harus mencari orang yang mau memberiku barang rongsokan," katanya mulai mengapit lagi karung ureanya.

Saya sendiri tidak bisa berjanji untuk mengumpulkan barang-barang bekas dari gudang mengingat waktu yang tersedia juga tidak terlalu banyak sebab saya harus mempersiapkan diri ke kantor. Demikian juga istri yang bilang tidak bisa menngumpulkan barang bekas secepatnya dengan alasan perlu waktu.

Saya paham, ada bagian rezekinya yang masih ada pada saya. Saya harus mengeluarkan dan memberikannya.

Otomatis saya membuka dompet dan memberikan rezeki yang menjadi haknya itu. Ia tidak bisa menerima uang yang saya berikan karena keterbatasan pandangannya, meski sudah saya tempelkan ke lengan kirinya yang juga seperti menggantung. Karena tidak ada reaksi, saya membenamkan lembaran berharga itu ke saku bajunya.

"Ini apa?" tanyanya. Saya jawab itu rezeki buatnya sekaligus memintanya untuk tidak mencari orang yang berjanji akan memberinya barang rongsokan, mungkin juga tidak akan menemukannya. "Ini hari kerja, mungkin ia tidak ada di rumah. Sebaiknya bapak pulang saja, mungkin rezeki ini bisa mengganti barang rongsokan yang akan seharusnya bapak dapatkan," kata saya.

[irp]

Dia berdiri dan mencari sandal yang tadi dibukanya. Saya menolong mendekatkan sandal itu ke kakinya. Tentang nasi yang sudah dibungkuskan istri saya dia berkomentar, "Masih terasa hangat, ya, tapi aku masih kenyang."

Setelah mengucapkan terima kasih, ia pamit. Saya bilang silakan datang lagi lain waktu. Ia berjanji akan datang ke rumah saya suatu waktu untuk mengambil barang rongsokan yang sudah tidak saya perlukan. Saya mengiyakan sambil memandang dia berjalan terseok-seok menjauh.

Saya bersiap-siap untuk mencari ojek yang akan mengantarkan saya ke stasiun Sudimara untuk selanjutnya naik commuter line menuju Ibu Kota.

Rano Karno dan Airin tidak mungkin tahu bapak yang sudah menghilang di tikungan jalan itu.

Terlalu sepele memang.

***