Salah satu batu sandungan terbesar petahana di kursi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sama sekali bukan Islam, melainkan hanya segelintir pemeluk agama Islam yang masih mengunci pikiran dari perbedaan.
Katakanlah itu hanya pendapat sepihak dari saya. Tapi jika beranjak lebih jauh, pantas untuk dinalar lagi, apakah sebuah agama yang diyakini diturunkan Tuhan itu ada untuk membenci dan memusuhi sesama manusia? Dengan menemukan jawaban itu, dapat ditegaskan, Tuhan tidaklah sesempit definisi mereka yang menggambarkan-Nya seperti figur yang mudah diukur, diraba, dan dikali-kalikan.
Persoalannya, memang masih sangat banyak pemeluk Islam yang merasa bahwa dengan bersikap anti kepada mereka yang tak seagama dengannya, sebaik apa pun seseorang tersebut, dapat dipastikan itu hanya individu. Islam, sekali lagi jika diyakini sebagai agama kiriman Tuhan, tidak akan sesempit itu.
Apalagi, memang terbukti, sejak usainya khulafaur-rasyidin alias khalifah empat yang terdiri dari Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, tidak pernah ada pemerintahan berbasis Islam yang sepenuhnya berpijak penuh pada konsep Islam.
Katakanlah pernah ada Dinasti Umayyah, Abbasiyah, hingga kali terakhir Dinasti Utsmani (Ottoman) di Turki, itu pun tak sepenuhnya bersendikan Islam. Bukan rahasia jika Umayyah saja sebagai dinasti pertama yang lahir pasca Khulafaur-Rasyidin, pun berdiri setelah melewat proses culas atas keluarga Ali. Bahkan salah satu penguasa di dalam dinasti itu, Yazid bin Muawiyah, terkenal sebagai pembantai sesama muslim.
Jadi, dari dasar perjalanan sejarah Islam itu saja sudah dapat menunjukkan bahwa selama ini yang kerap digemakan sebagai kepemimpinan Islam, pemerintahan Islam, lebih tertuju pada sekelompok orang yang memang berambisi mengejar kekuasaan lewat jalan menjadikan agama sebagai batu loncatan.
Agama, selayaknya sebuah keyakinan yang memiliki sisi pantang untuk digugat mendalam --meski para filsuf dan pemikir kerap menabrak hal itu-- harus diakui rentan dipelesetkan. Umumnya pemeluk agama akan khawatir untuk menalar atau memikirkan suatu doktrin karena ketakutan pada dosa atau hukuman Tuhan.
Padahal di sana, ada yang dilupakan, bahwa jika kitab suci diturunkan Tuhan maka akal budi pun tak lepas sebagai pemberian Tuhan juga.
Kembali ke kasus Ahok, kenapa figur ini paling sering menjadi sasaran tembak bagi sementara kalangan, memang bisa dilihat dari multi-sudut pandang.
Di antaranya, masih banyak pemeluk agama Islam yang merasa angkuh untuk mengakui, bahwa di negara seperti Indonesia yang meletakkan semua agama secara sejajar, maka tidak ada pengistimewaan pemeluk satu agama di atas pemeluk agama lainnya.
Selain itu, juga banyak masyarakat muslim yang sejatinya memahami bahwa yang diinginkan Islam adalah kebaikan: pemerintahan baik, pemimpin baik, namun menampiknya hanya karena merasa "berdosa" atau merasa "kalah" saat kemudian mendapati bahwa masih ada pemimpin baik dari kalangan luar agama mereka.
Di luar itu lagi, memang tak sedikit yang memang sepenuhnya awam. Artinya, mereka hanya belajar keislaman di masa kecil, terbatas pada hal-hal tertentu saja yang berhubungan dengan apa yang boleh dan tak boleh, halal dan haram, tanpa beranjak pada pengetahuan Islam lainnya. Akhirnya, mereka hanya dapat mengikuti apa saja yang dikatakan oleh kalangan yang mereka rasa jauh lebih berpengetahuan dan pantas dipercaya.
Nah, kelompok disebut terakhir terbilang paling banyak terdapat di Jakarta --bahkan di Indonesia secara umumnya.
Kenapa? Karena hampir semua masyarakat muslim yang mengecap pendidikan di luar pesantren, lazimnya hanya belajar keilmuwan Islam dari sumber-sumber terbatas, atau hanya merujuk pada figur tertentu yang diyakini paling pantas untuk dijadikan guru.
Jadi, jangan heran, kondisi disebut terakhir itu bahkan berdampak hingga muncul figur-figur seperti Gatot Brajamusti atau Kanjeng Dimas, yang mampu membius kalangan awam tadi.
Korelasi dengan muslim penentang Ahok? Ya, memang banyak dari mereka yang berpendidikan namun memilih menutup diri pada yang berbeda. Tapi jauh lebih banyak lagi yang memang tak berpendidikan, atau bahkan memilih untuk berhenti belajar, membuka perspektif. Tak sedikit bahkan, yang hanya dengan jenjang pendidikan tertentu, menutupi diri mendalami berbagai pengetahuan lebih jauh.
Jadi, apa yang terjadi adalah keterbatasan referensi dan miskin dalam sudut pandang. Maka itu, tak mengherankan jika kemudian di ranah politik, mereka memanfaatkan ketidaktahuan sekaligus mereka sendiri dimanfaatkan lewat bius-bius agama. Selayaknya bius, alih-alih dapat melihat dengan normal, untuk membuka mata saja sudah tak berdaya.
Sedikitnya, seperti itulah kondisi di balik kenapa begitu gencarnya serangan kepada Ahok yang notabene dinilai terlalu berani bertarung di pentas politik di tengah masyarakat yang berbeda agama dengannya. Tapi yang patut digarisbawahi, yang menjadi lawannya bukanlah Islam, melainkan hanya segelintir pemeluk Islam yang memilih untuk memagari diri mereka dengan sekat-sekat sempit yang diyakini mereka lebih direstui Tuhan.
Sebab, Islam sendiri sebagai agama yang dikirim Tuhan adalah agama yang dikirim untuk kebaikan manusia, bukan sebagai alat untuk merendahkan satu manusia dari manusia lainnya. Apalagi pembawa Islam sendiri, Muhammad SAW, jelas menggarisbawahi, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk, rupa dan harta benda kalian, tetapi Allah memperhatikan hati dan amal-amal kalian” (Baca: apa yang dapat Anda lakukan dan seberapa bersih hati dan iktikad di balik perbuatan baik).
Tapi, percayalah, masih banyak muslim yang juga mampu dengan jernih melihat bahwa Tuhan sepenuhnya Mahabesar, yang tak dapat dikerdilkan hanya oleh pemelintiran sekelompok orang yang menjadikan agama tak lebih sebagai batu loncatan untuk kepentingan politik.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews