Historia Docet! Jurnalisme Sejarah Yang Terabaikan

Sabtu, 10 September 2016 | 22:32 WIB
0
646
Historia Docet! Jurnalisme Sejarah Yang Terabaikan

Ayah Herman Maurice Comte de Saxe, Frederick Augustus, Raja Saksonia yang kemudian juga menjadi Raja Polandia, mempunyai 354 anak di luar perkawinan, dan Comte de Saxe adalah yang tertua di antara anak-anak itu. Dalam hal “petualangan cinta” ini, Marsekal de Saxe betul-betul “anak bapaknya”......

Jika alinea pembuka berita itu tertulis di media online masa kini, niscaya banyak orang yang mengeklik dan membacanya. Lead tulisan itu demikian memikat, merangsang, dan menggelitik orang untuk terus membacanya. Mengapa? Karena ada unsur pemikat berupa “seks” sebagai salah satu nilai berita (news value) yang masih berlaku di seluruh dunia.

Percaya atau tidak, pembuka tulisan itu bukan komoditas media online, melainkan termuat di Harian Kompas, 6 April 1980 atau 36 tahun lalu yang tentu saja kala Internet belum terlahir ke dunia. Penulisnya Polycarpus Swantoro, salah satu wartawan “sang pemula” di Harian Kompas selain PK Ojong dan Jakob Oetama. Di kalangan kolega dan anak buahnya, Swantoro yang biasa dipanggil “Pak Swan”, adalah buku sejarah berjalan yang sangat langka.

Cuplikan tulisan di atas diambil dari artikel berjudul “Seni Perang Militer” yang termuat dalam buku terbarunya, Masalalu Selalu Aktual, diterbitkan Penerbit KPG, 2014. Sebanyak 62 tulisan Swantoro terpapar di buku setebal 398 halaman ini, baik persoalan dalam dan luar negeri pada masanya, masa saat-saat Swantoro masih aktif sebagai jurnalis Kompas.

Tidak bisa dibantah, ke-62 tulisan yang tersaji semuanya diramu dalam kemasan History Journalism, jurnalisme sejarah, yang sangat memikat. Pembaca akan kejeblos atau terlempar ke masa lalu yang penuh cerita, penuh wajah negarawan dan persona pembuat sejarah itu sendiri yang sekarang sudah menjadi “sejarah”.

Mohandas Karamchand Gandhi, Anwar Sadat, Norodom Sihanouk, Lon Nol, Pham Van Dong, Mohammad Reza Pahlavi, Zulfikar Ali Bhutto, Carlos the Jackal, Gina Lollobrigida, dan Ayatollah Khomeini adalah nama-nama “modern” yang tersebut sekaligus pembuat sejarah. Sedangkan nama-nama lawas seperti de Saxe hadir pada masa silam di pertengahan abad 17 atau Sir Thomas More lebih lawas lagi di abad 15.

Dalam jurnalistik ada adagium “man makes news” dan Swantoro sadar betul untuk bermain di ranah prominent people ini. Namun demikian, buku Masalalu Selalu Aktual tidak semata-mata membahas dan menulis sejarah tentang orang, melainkan persoalan yang dihadapi orang-orang juga.

Persoalan klaim tumpang-tindih tentang Kepulauan Spratly yang melibatkan sejumlah negara di Laut Tiongkok Selatan yang persoalannya belum usai sampai sekarang, misalnya, sudah menjadi pengamatan Swantoro sejak 22 Juli 1979 saat menulis Siapa Memiliki Kepulauan Spratly (hal 40). Lalu mengenai Suku Kurdi yang kini menjadi musuh besar Recep Tayyip Erdogan selain Fethulah Gulen, sudah ia tulis secara mendalam, 11Mei 1980 (hal 125).

Masih banyak hal menarik lain yang terungkap dan ternukil dalam buku karya Swantoro ini, dari persoalan berat seperti Post Power Syndrome, hukuman mati, sampai persoalan ringan seperti usia para pemimpin negara dan kisah dokter perempuan di Pulau Kisar.

Membaca buku dari awal hingga akhir, tepatlah kiranya apa kata judul buku ini bahwa masa lalu itu memang selalu aktual. Anda yang merasa pernah mengalami masa-masa tokoh sejarah itu saat masih hidup, otomatis diingatkan kembali atas peristiwa demi peristiwa yang menghiasi media massa saat itu. Sedangkan tokoh lawas dari abad-abad silam yang namanya hanya tertanam di kepala karena terpaksa harus dihapal, mau tidak mau “teringat” kembali.

Sebagaimana pepatah Belanda yang sering diungkapkan Swantoro dalam berbagai kesempatan, In het heden ligt het verleden, in het nu watkomen zal (dalam asa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang juga kita mendapati apa yang akan datang), bagi Swantoro sejarah itu memberi pelajaran, Historia docet!

Di zaman yang serba instan dan media massa cukup puas memuat berita “straight” dan “talking news” alias sekadar nanggap omongan orang semata, maka buku Swantoro menjadi semacam “reminder” (pengingat) kalau tidak mau dikatakan “cambuk” bagi wartawan yang malas membaca sejarah, apalagi menuliskannya dalam karya jurnalistik. Dengan demikian sejarah tidak sekadar Historia docet, melainkan Historia maximus, sejarah itu penting.

Sebagai jurnalis yang pernah dididik Swantoro saat berlangsungnya pelatihan jurnalistik untuk calon wartawan Harian Kompas tahun 1994, saya masih ingat tugas-tugas yang diberikannya yang harus dikerjakan dalam waktu cepat. Salah satu tugas itu ialah membedah buku tebal berbahasa Inggris mengenai sejarah Perang Candu juga sejarah mengenai kedatangan VOC di Batavia.

Kala itu saya berpikir “buang-buang waktu percuma” saja membaca buku tebal tetapi hanya “seuprit” pengetahuan yang didapat. Itupun belum tentu pembaca dapat memahaminya. Tetapi rupanya bukan itu tujuan Swantoro. Lewat tugas-tugas beratnya itu Swantoro ingin mengingatkan calon wartawan bahwa sejarah itu penting dan karenanya tidak boleh diabaikan.

Memang tidak mudah menulis sejarah, apalagi untuk konsumsi media massa yang halamannya serba terbatas. Memeras buku tebal sejarah masa lalu untuk hanya dijadikan tulisan yang selesai dalam setarikan nafas, juga bukan persoalan gampang. Namun demikian melalui Masalalu Selalu Aktual, Swantoro menyajikan fragmen-fragmen sejarah yang di antaranya mewarnai dan bahkan mengubah dunia, menjadi bacaan yang memikat. Sangat memikat.

***