Soulmate

Minggu, 21 Agustus 2016 | 01:35 WIB
0
893
Soulmate

Beberapa waktu lalu seekor kucing betina mati di teras rumah saya. Ia kucing liar yang kebetulan lahir di sekitar halaman rumah. Karena anak saya suka kucing, saya ikut memeliharanya dengan memberinya makan. Saya namakan kucing itu “Neige” (dibaca “neis”) karena bulunya putih.

Neige berarti “salju” dalam bahasa Perancis, juga karena teringat komposisi gitar klasik berjudul “Tombe La Neige” yang berarti turun salju. Neige sempat beranak beberapa kali lalu pergi.

Lama Neige tidak pulang, tetapi tatkala pulang dia tergolek kepayahan. Nafasnya tinggal satu dua. Badannya bunting. Bi Amah, pembantu saya di rumah memperkirakan, Neige bakal mati karena bayi-bayinya mati dalam kandungan. Terbukti, Neige mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Ratusan lalat mengerubuti sekitar perut dan kemaluan Neige. Neige akhirnya memang mati dan Bi Amah menguburkannya di halaman rumah.

Kematian Neige mengingatkan saya pada naluri gajah mati, yang pernah saya baca selintas dalam buku karangan Myra Sidharta. Myra menggambarkan filsuf MAW Brouwer yang ingin pergi ke negeri asalnya, Belanda, hanya untuk meninggal dunia di sana, sebagai naluri gajah mati. Menurut Myra, naluri gajah yang diambang ajal cenderung mencari tempat di mana dia dilahirkan. Saya teringat Neige, jangan-jangan dia juga punya naluri gajah: mencari tempat untuk mati di mana dia dilahirkan. Satu kata kunci dari kematian Neige adalah perihalsoulmate.

Saya tidak terlalu paham apa padanan kata soulmate dalam bahasa Indonesia. “Belahan hati”, “belahan jiwa”, atau “teman hati”. Mungkin itu urusan ahli bahasa. Bagi saya urusansoulmate tidak sebatas pada kekasih atau istri semata, lebih dari sekedar itu. Kematian Neige, meski ia seekor binatang, memberi pemahaman saya mengenai makna soulmate di sini.

Neige boleh saja menghilang sekian lama, tetapi ia mencari soulmate-nya tatkala ajal menjemputnya. Soulmate Neige bukanlah sejumlah kucing jantan yang pernah “menungganginya”, atau anak-anaknya yang ia lahirkan setelah itu mereka hidup sendiri-sendiri. Bagi saya, soulmate Neige adalah saya, anak saya dan keluarga, dan bahkan mungkin Bi Amah.

Saya teringat pesan John Naisbitt dalam buku tebal Megatrends, bahwa salah satu kecenderungan manusia adalah berubahnya hasrat dari manusia urban menjadi manusia suburban. Orang penat hidup di kota, dan ketika kepenatan memuncak apalagi menjelang pensiun, ada hasrat atau dorongan untuk kembali ke desa, kembali ke alam, ke kampung halaman, ke tempat di mana mereka dilahirkan.

Saya tidak tahu, apakah kecenderungan hasrat manusia ini juga merupakan naluri gajah atau naluri Neige. Tetapi bagi saya, manusia cenderung mencari soulmate yang lebih luas, soulmate yang membesarkannya, yakni alam pedesaan di mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Ada dorongan sementara orang (mikrokosmos) untuk back to nature, kembali ke alam. Kembali ke sahabat lama, soulmate kita, yaitu alam sekitar kita (makrokosmos).

Burung punai yang terbang jauh beribu-ribu mil dari tempat di mana ia ditetaskan, pada akhirnya akan kembali ke tempat di mana si Ibu bertelur. Mestinya kalau kita berkelana jauh sampai bertahun-tahun mencari kehidupan di negeri orang, harusnya ada kerinduan untuk bertemu kembali dengan soulmate kita yang paling setia, Ibu Pertiwi, Tanah Air Indonesia. Dalam situasi yang lebih sederhana, ada kerinduan pulang ke tempat di mana kita dilahirkan dan dibesarkan. Maka, mudik Lebaran menjadi momentum dahsyat bahwa soulmate itu ada dan nyata.

Pada akhirnya, ketika soulmate antarmanusia sudah didapat dan soulmate terhadap alam sudah dan sebentar lagi diraih, saya sampai pada kesimpulan bahwa manusia akhirnya akan mencari dan menemukan soulmate sejati yang paling akhir (terminal), yaitu Tuhan. Barangkali selama ini Dia (Tuhan) terlupakan karena kita terlampau asyik dengan soulmate-soulmate kita berujud sesama manusia.

Ibu Pertiwi, soulmate yang tidak pernah menuntut kita. Alam sebagai soulmate lama yang mengasuh. Kita berusaha mengingatnya mereka kembali di saat usia beranjak tua dan ajal menjelang tiba.

Soulmate sejati kita yang paling ultima atau terutama, justru selalu menunggu kedatangan kita dengan atau tanpa kita berbaik-baik kepada-Nya!

***

Catatan: diambil dari buku yang saya tulis, Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang (Bentang Pustaka, 2013)