Ketika Balon Udara Terbang Mengangkasa di Cappadocia

Rasa penasaran semakin menggelora. Seperti apa sensasi terbang dengan ongkos USD 100 per orang.

Minggu, 23 Januari 2022 | 19:43 WIB
0
207
Ketika Balon Udara Terbang Mengangkasa di Cappadocia
Balon udara di Cappadocia (Foto: dok. Pribadi)

Dan hari yang dinanti itupun tiba. Menurut rencana 10 menit lagi kami akan berangkat ke take-off point balon udara. Di tengah semangat yang menggelora sebetulnya kami bertanya tentang satu hal: bagaimana dan di mana nanti kami sholat subuh?

Menurut informasi yang kami peroleh memang kami akan mampir sejenak ke markas perusahaan jasa penyedia tur balon udara untuk sarapan ringan, untuk kemudian berangkat ke tempat tujuan. Apakah kami akan sholat subuh di markas? Di dalam mobil? Atau bahkan di dalam keranjang balon udara?

Jangan sampai kami meninggalkan sholat hanya karena tak ada tempat atau waktu demi naik balon udara. Apapun, kami bertiga sudah berwudhu sejak tadi sehabis mandi pagi.

Tepat 3 menit sebelum turun ke lobi hotel, Allaahu akbar! Tuhan memang Maha Besar! Adzan subuh berkumandang dengan indahnya dari minaret masjid yang jaraknya hanya 50 meter dari hotel. Kami pun menjalankan ibadah sholat subuh pemula segala hari dengan rasa lega dan penuh syukur. Sekarang kami siap berangkat mengudara setinggi-tingginya!

Di mobil penjemput kami melihat sudah ada beberapa penumpang yang bakal jadi teman seperjalanan di atas nanti. Mereka berasal dari Kolombia, Spanyol dan Thailand. Semua ada 11 orang termasuk kami sekeluarga.

Pemandu wisata menginformasikan bahwa kami akan kebagian balon udara yang tak terlalu besar. Sebelum kami sempat bertanya, sang pemandu wisata membesarkan hati kami bahwa dengan balon udara yang lebih kecil berarti penumpangnya lebih sedikit. Jadi lebih terasa eksklusif serta tak terlalu hiruk-pikuk bila dibandingkan balon udara besar yang berpenumpang 20 orang. Sip! Baiklah kalau begitu.

Kami menikmati sarapan roti isi buah zaitun khas Turki, juga sereal yang lebih cocok dengan selera si kecil. Tak lupa secangkir teh atau kopi tradisional Turki.

Alhamdulillaah nikmat dan memadai untuk alas perut sebelum terbang nanti. Tak lama si bapak pemandu wisata menginstruksikan kami untuk bersiap dan kembali ke mobil yang melaju membelah dataran steppa yang begitu luas.

Hari masih gelap, namun samar-samar di kejauhan kami melihat kesibukan kru balon udara mulai tampak. Semakin mendekati take-off point makin tampak jelas pemandangan yang kami nantikan itu. Puluhan balon udara, baik yang masih kempis maupun yang sudah mulai terisi gas helium, bertebaran di berbagai tempat.

Rasa penasaran semakin menggelora. Seperti apa sensasi terbang dengan ongkos USD 100 per orang.

Mobil kami berhenti di satu tempat. Di depan kami para kru sedang sibuk memompa balon.

Bunyi gas helium diikuti percikan api yang besar ke dalam balon sudah menjadi hiburan tersendiri yang membuat kami semakin bergairah sekaligus berdebar.

Perlahan para kru itu menarik tali sekuat tenaga agar balon besar itu bisa berdiri tegak. Sungguh ini bukan pekerjaan ringan! Perlu energi besar dan kerja sama yang baik antara kru di darat dan sang pilot nantinya.

Tak lama si pemandu wisata memperkenalkan kami pada Gulsah, wanita yang akan jadi pilot balon udara kami. Ya, pilot kami adalah seorang wanita! Keren, kan?

Beliau memberi instruksi singkat tentang prosedur keselamatan yang intinya kami harus tetap berada di dalam keranjang selama masa penerbangan hingga mendarat nanti. Prosedur keselamatan yang sangat apa adanya sampai kami semua tak sempat berpikir betapa perjalanan ini membawa potensi bahaya juga sebetulnya. Tak ada pelampung apalagi parasut untuk kami. Jangan bicara tentang jendela pelindung, karena yang membatasi kami dengan gunung-gunung batu yang terhampar luas itu adalah udara semata.

Kalau bukan karena rasa semangat yang membuncah serta penyerahan diri seutuhnya pada keahlian sang pilot dan tentu saja Allah Pemilik Alam Semesta, kami tak akan memutuskan naik balon udara sejak awal.

**

Gas helium mulai diisi. Api yang keluar dari tabung gas memberi warna penerang fajar serta rasa hangat yang mendadak menjalar ke seluruh tubuh di tengah dinginnya udara steppa.

Kami bersebelas plus si ibu pilot dan satu bapak co-pilot asyik ngobrol sendiri hingga tanpa sadar balon mulai naik meninggalkan tanah, semakin tinggi secara perlahan, melintasi bukit kecil. Dan... Mata kami pun terpaku pada warna-warni di sekitar kami, dan jauh di atas sana. Puluhan balon serempak mengudara dengan elegan! Merinding rasanya! 

Tiba-tiba Fatih bertanya sambil menunjuk ke atas, "Apa balon udara kita juga akan terbang setinggi itu?"

Si ayah tak tau jawabannya, bisa iya bisa tidak. Tapi sepertinya kami tak akan terbang setinggi itu karena tur ini hanya memakan waktu satu jam. Sepertinya butuh waktu dua jam untuk bisa terbang setinggi itu.

Kami terbang secara horisontal selama beberapa waktu, sambil bertanya tak sabar dalam hati, kapan balon ini terbang tinggi? Ternyata cara terbang itu memang disengaja dan sudah direncanakan sedemikian rupa.

Kami bukan satu-satunya di atas sini. Ada 75 balon udara berbagai ukuran yang juga akan mengangkasa. Tentu harus ada aturan dan giliran, mana yang akan naik duluan, mana yang harus terbang rendah untuk menanti giliran. 

Gulsah dan co-pilot tampak sibuk mengatur kemudi dan berkomunikasi lewat intercom dengan pilot balon udara lain dan control room. Pekerjaan ini membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi, jadi kami tak hendak mengganggu mereka melaksanakan tugasnya.

Untuk sementara kami nikmati saja pemandangan indah di kala fajar menyingsing ini. Kami tak banyak bicara. Memandang puluhan balon udara di angkasa dari ketinggian sekian adalah pemandangan langka dan sungguh spektakuler!

Kami menikmati semuanya dalam diam atau sekedar bicara perlahan, sambil menyempatkan diri berfoto dalam keranjang yang tak terlalu besar ini. Kami harus bergerak hati-hati demi menjaga keseimbangan keranjang balon udara ini.

Bapak co-pilot sesekali menjelaskan objek di bawah kami. Ada banyak gua batu, fairy chimney (cerobong peri), ada love valley alias lembah cinta. Lembah ini dinamakan demikian karena warna batunya yang merah jambu, warna yang identik dengan cinta.

Ya, semakin tinggi kami terbang, semakin nampak bahwa gunung batu dan lembah itu ternyata berwarna-warni. Mulai warna cokelat, hijau, putih hingga merah jambu. Belum lagi anak-anak sungai yang berwarna kebiruan, ditingkahi atap rumah tradisional penduduk Cappadocia serta rumah gua yang hingga kini masih banyak dihuni. Sungguh pemandangan yang tak terlupakan! 

Sejenak saya merasa jadi Philleas Fogg sang penjelajah dalam kisah "Around The World In 80 Days" karya Jules Verne. Begini ternyata rasanya naik balon udara. Sungguh membuat darah berdesir dan jantung berdebar penuh kagum melihat pemandangan di bawah sana. 

Baru kami sadari bahwa pemandangan di bawah sana tampak semakin jauh dan jauh. Baru kami sadari bahwa balon udara perlahan terbang semakin tinggi hingga mencapai ketinggian hampir 1000 meter!

Saya mulai gamang, karena saya pengidap acrophobia alias rasa takut pada ketinggian. Perlahan saya menjauh dari pinggir keranjang, lalu bersandar di bagian tengah keranjang. Saya amati, sepertinya hanya saya yang tampak khawatir. Penumpang lain, termasuk si bocah 7 tahun, terlihat tenang dan tetap bersemangat.

Meski saya senang dan begitu mensyukuri bisa terbang sampai setinggi ini dengan naik keranjang dan bukan karpet ajaib a la Aladdin, dalam hati saya berharap agar balon udara ini bisa terbang rendah lagi. Terbang rendah membuat saya merasa lebih aman.

Dan itulah yang terjadi. Sebelum berbagai pikiran berkecamuk bagaimana seandainya ada yang terjatuh dari ketinggian 1000 meter, balon udara kembali terbang rendah secara perlahan, melintas gunung, lembah dan sungai. Tak percaya rasanya kami bisa mencapai ketinggian seperti balon udara yang kami lihat di awal tadi.

Takjub rasanya kami bisa menyaksikan matahari terbit tersaput kabut di pagi ini. Salut dengan keterampilan sang pilot yang membawa kami terbang dengan aman meski di atas sini puluhan balon udara serentak membelah angkasa fajar.

Perlahan balon udara pun turun semakin rendah. Kami bersiap dengan posisi pendaratan, berpegang erat pada tali di tepi keranjang dengan posisi melawan arah angin agar balon udara mendapat energi tambahan untuk mendarat, persis seperti yang diinstruksikan oleh pilot sebelum kami terbang tadi.

Proses pendaratan ini cukup menantang karena keranjang terasa bergoyang cukup kencang, balon yang naik turun, hingga akhirnya menyentuh tanah dengan guncangan yang cukup lumayan sampai butiran pasir beterbangan menerpa kami. Sungguh pendaratan yang seru!

Di tempat pendaratan ini pemandu wisata kami sudah menanti. Satu persatu penumpang turun. Kru darat langsung sigap mencopoti tali-temali, mematikan gas, menggulung balon hingga melipatnya dengan begitu rapi. Begitu efisien mereka bekerja, kami semua sepakat memberi tip.

Seperti yang sudah direncanakan, acara pendaratan ini ditutup dengan ritual minum sampanye dan pembagian sertifikat terbang. 

Untunglah tanpa perlu menjelaskan bahwa sebagai muslim kami tak minum alkohol, para kru itu langsung menawarkan jus ceri untuk kami.

Kami bersulang untuk pengalaman tak terlupakan hari itu, diikuti cemilan cake cokelat, dan diakhiri dengan penyerahan DVD dan sertifikat terbang. Bisa jadi si bocah 7 tahun ini adalah penerima termuda untuk terbang dengan balon udara di Cappadocia. Semua orang bertepuk tangan dan kembali ke hotel masing-masing dengan perasaan gembira.

**

Sisa hari itu kami habiskan dengan sarapan pagi di hotel, berjalan-jalan di sekitar wilayah Goreme, sholat dhuhur di masjid yang ramai karena sedang ada perayaan Assyura'', istirahat siang di kamar gratisan (atas kemurahan hati Zerdar sang pemilik hotel), lalu diakhiri dengan menikmati ritual minum teh sambil menyaksikan matahari terbenam yang menakjubkan di teras hotel.

Cappadocia sungguh memukau dan meninggalkan kesan mendalam.

Tak mengherankan kalau tempat ini jadi impian banyak orang.

When Kinan said of Cappadocia to Aris, "It's my dream," it was most probably hers, theirs, yours, ours, and everybody's too.

***