Wales tampak ingin mempertahankan bahasanya. Yang menjelang kematiannya. Nama-nama dan petunjuk jalan harus menyertakan tulisan Wales - -di depan tulisan Inggris.
Bulan bahasa kian dekat. Naskah sudah boleh dikirim ke email: redaksi@disway.id. Agar mulai bisa dimuat di DI's Way edisi 1 Oktober.
Hari itu saya juga akan memulai yang baru. Saya akan membedakan dalam menulis "nya".
Akan ada "nya" dan akan ada "nyi".
Itu sebagai kelanjutan dari langkah saya tahun lalu. Yang --alhamdulillah-- bisa saya lakukan secara konsisten. Sampai hari ini.
Yakni soal pembedaan "dia" dan "ia". Saya selalu menulis "dia" untuk perempuan dan "ia" untuk laki-laki.
Awalnya saya ingin sebaliknya --dia untuk laki-laki. Tapi seorang pembaca DI's Way mengusulkan sebaliknya. Alasannya sangat logis. Saya pun mengikuti usul itu.
Saya ingin memberikan oleh-oleh syal Leicester kepadanya. Yang saya beli di toko resmi di stadion Leicester. Tapi saya kehilangan nama dan alamatnya. Juga khawatir ia tidak suka sepak bola.
Memang gema perubahan "dia" dan "ia" tidak ada. Tidak menjadi perhatian umum. Tidak jadi bahasan di fakultas bahasa.
Yang lebih dipersoalan adalah "hutang" atau "utang". Atau soal "terlantar" dan "telantar". Dan sebangsanya.
Juga soal penggunaan kata "sedang" yang tidak boleh diganti "lagi".
Semua itu memang harus diluruskan. Saya juga --dengan tertatih-tatih harus memperhatikannya. Saya masih sering lupa --terutama kalau lagi konsentrasi di kualitas isi.
Tapi itu tidak menghalangi saya untuk memulai "nya" dan "nyi".
Mulai tanggal 1 Oktober nanti, kalau saya menulis "katanya", berarti yang mengatakan adalah sosok laki-laki.
Kalau saya nanti menulis "katanyi" berarti yang mengatakan adalah sosok wanita.
Demikian juga dengan "miliknya" (pemiliknya laki-laki) dan "miliknyi" (pemiliknya perempuan).
Tentu langkah itu saya lakukan untuk masa depan. Agar karya-karya tulis Indonesia bisa mendunia. Lewat Google Translate. Dengan terjemahan yang akurat.
Penerjemahan Google itu kian tahun kian baik. Tapi Google mengalami banyak masalah. Ketika harus menerjemahkan dari naskah berbahasa Indonesia.
Kalau saya menulis "katanya" sering diterjemahkan dengan "he said". Padahal yang mengatakan itu wanita.
Saya juga terpikir untuk menggunakan "katanyo" (laki-laki), "katanya" (perempuan). Bisa lebih mengakomodasikan bahasa daerah Minang. Tapi terserah pembaca. Mana yang lebih baik. Toh 1 Oktober masih satu minggu lagi.
Dalam bahasa Mandarin lebih kongkrit lagi. "Dia" untuk laki-laki dibedakan dengan "dia" untuk perempuan dan "dia" untuk barang.
"Dia" untuk laki-laki tulisannya 他. "Dia" untuk wanita ditulis 她. "Dia" untuk benda ditulis 它.
Saat saya di sebuah hotel di Cardiff minggu lalu "dia" untuk barang ditulis 'she' (perempuan). Yakni ketika di lantai hotel ada pengisap debu yang jalan sendiri. Seperti yang saya punya di Surabaya. Saya pikir Made In China. Ternyata bikinan Oxford, Inggris.
Dalam penjelasan mengenai kemampuan robot itu selalu saja dia disebut 'she'. Mungkin karena barang itu mengganti tugas wanita?
Tentu, saya juga terdorong oleh pembaca DI's Way di luar negeri. Teman-teman saya. Di berbagai belahan dunia. Termasuk yang di Liverpool. Merekalah yang menjelaskan terjemahan Google kian baik. Tapi terhalang banyak hal.
Saya tidak perlu memberi hadiah kaus Liverpool pada mereka --terutama pembaca-pembaca yang tinggal di Liverpool itu.
Mau tidak mau kita harus mendekat ke bahasa Inggris. Atau Mandarin. Seberapa tidak masuk akalnya pun bahasa Inggris.
Saya pernah mempersoalkan ini kepada John Mohn --wartawan Amerika yang saya anggap mumpuni dalam bahasa Inggris: bagaimana bisa 'one' dibaca 'wan'. "Seharusnya dibaca oni," kata saya.
John tidak bisa menjawab.
Demikian juga mengapa 'w' disebut 'double u'. Ia juga tidak bisa menjawab.
Itu toko alat-alat kecantikan. Lihatlah tulisan di depannya. Yang terjemahannya adalah 'beauty'.
Semula saya tidak bisa mengejanya. Huruf matinya terlalu banyak. Huruf hidupnya hanya satu.
Dahlan Iskan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews