Muammar Khaddafi [5] Akhir Hidup Sang Kolonel, dari Gelap Kembali ke Gelap

Kaum pemberontak yang tidak lain adalah rakyatnya sendiri, seperti ingin menuntaskan petualangan Sang Kolonel: dari Sirte kembali ke Sirte, dari gelap kembali ke gelap.

Senin, 1 Juli 2019 | 07:19 WIB
0
647
Muammar Khaddafi [5] Akhir Hidup Sang Kolonel, dari Gelap Kembali ke Gelap
Muammar Khaddafi (Foto: Viva.co.id)

Khaddafi kini sadar, kekuasaannya akan berakhir dalam hitungan hari. Karena ribuan rakyat yang menjadi korban serangan udara Khaddafi, adalah tiket tanda jadi, gerakan menuntut Khaddafi turun dari kekuasaan tidak akan surut!

Seharusnya, kematian ribuan rakyat Libya tidak boleh terjadi karena tangannya. Seharusnya, kematian ribuan rakyat Libya, juga menjatuhkan ribuan tetes airmata Sang Muammar, melahirkan ribuan puisi kerinduan akan para sahabatnya, seperti ketika ia anak-anak, ketika pemakaman Hanna. Kerinduan pada para sahabat kecilnya, pada rakyat Libya, dan pada Benghazi, telah sirna dilumat tabi’at kekuasaan untuk terus berkuasa.

Pada satu malam menjelang penghujung bulan ramadhan 1432 H atau minggu ketiga Agustus 2011, satelit mata-mata Amerika Serikat menangkap gambar iring-iringan mobil yang melintasi padang pasir, dari Tripoli ke arah tenggara menuju Sirte. Informasi itu segera disampaikan kepada Dewan Transisi Nasional (NTC).

Duabelas mobil yang di antaranya sebuah jeep Mercedes GL 500 yang di-design khusus anti rudal, ditengarai sebagai mobil yang dinaiki oleh pemimpin Libya, Muamar Khaddafi yang menjadi buronan rakyatnya.

Angin Syahrokko yang berhembus kini terasa menyayat-nyayat. Separuh bulan dan satu bintang yang dulu ditatapnya dengan tersenyum, kini Khaddafi ingin bersembunyi dari cahaya lembutnya.

Sirte yang merupakan kampung halaman Khaddafi, adalah basis terakhir pertahanan Khaddafi dari gempuran pemberontak yang didukung NATO. Jadi, setelah iring-iringan itu memasuki Sirte, sudah susah untuk mendeteksinya. Artinya beruntung Khaddafi masih bisa merayakan lebaran bersama sanak famili dan kerabatnya di Sirte.

Tapi selepas Iedul Fitri, kaum pemberontah dan NATO makin gencar menggempur titik-titik di Sirte yang diduga tempat persembunyian Khaddafi.

Merasa tidak aman lagi di Sirte, pertengahan Oktober 2011 Khaddafi dan pasukan pengawalnya memutuskan untuk bergerak ke Misrata, di barat laut kota Sirte. Namun kota Sirte sudah dikepung rapat oleh kaum pemberontak.

Hingga pada satu pertempuran di pinggiran kota Sirte, Khaddafi beserta pasukannya tertangkap dan harus membayar kemarahan rakyatnya yang sudah lama dia lupakan. Ia ditangkap kemudian ditembak mati.

Kaum pemberontak yang tidak lain adalah rakyatnya sendiri, seperti ingin menuntaskan petualangan Sang Kolonel: dari Sirte kembali ke Sirte, dari gelap kembali ke gelap. Dalam bahasa setempat, Sirte artinya malam atau gelap.

Baca Juga: Muammar Khaddafi [1] Sang Kolonel Kebanggaan Bangsa Libya

Terlepas dari dosa-dosa politik Khaddafi terhadap rakyatnya, dia adalah seorang patriot besar yang dilahirkan Libya selain Umar Moochtar, The Lion of The Desert. Dia sempat menjadi idola kaum muda Islam di seluruh dunia, ketika dengan gagah berani bertempur bersama rakyatnya melawan kesewenang-wenangan Presiden Reagan pada tahun 1986.

Dalam posisi sulit dan dikabarkan lari mencari suaka ke Niger, Khaddafi berteriak, “Aku tak akan lari dari negeri yang kucintai ini. Darahku berasal dari saripati tanah Libya, maka bila aku mati, biarlah darahku kembali meresap ke tanah Libya!!”.

Dan benar saja, darahnya tercecer di jalan-jalan tanah Sirte, tanah asalnya.

Sirte adalah wilayah di mana Legenda Burung Phoenix dikisahkan. Burung sakti itu mati dengan cara membakar diri. Dari tiap butir abunya tumbuh phoenix-phoenix baru.

Semoga dari jazirah maghribi itu lahir kembali phoenix-phoenix baru, Khaddafi-Khaddafi baru yang selalu rindu dan berpuisi untuk sahabat-sahabatnya, untuk rakyatnya.

(Tamat)

***

Tulisan sebelumnya: Muammar Khaddafi [4] Demonstran Diberondong Peluru Tajam dari Atas Pesawat