Dengan menyewa pilot-pilot bayaran negara lain, Khaddafi membubarkan demonstran dengan menggunakan peluru caliber 22 mm yang dimuntahkan dari pesawat-pesawat Shukoi dan MiG.
Khaddafi bertahan mati-matian utuk tidak melepaskan dua warganya yang dituduh sebagai pelaku peledakan Pan Am 103 di atas Lockerbie kepada pihak Amerika. Setelah melalui lobby panjang, akhirnya Abdelbaset Al-Megrahi dibebaskan, sedangkan seorang lagi yang namanya tidak pernah disebutkan meringkuk di penjara Skotlandia.
Demi terhindar dari persoalan yang lebih rumit, tahun 1999 Khaddafi setuju memberikan kompensasi sebesar US$3,4 juta untuk tiap korban bom Lockerbie. Total kompensasi yang dibayarkan Khaddafi US$2,7 milliar.
Boleh jadi, inilah titik balik segalanya bagi Khaddafi. Setelah deal tercapai, sikap Khaddafi mulai melunak terhadap Amerika. Dia mempersilakan lembaga energi atom international, IAEA, untuk menginspeksi program nuklir Libya.
Keluarga Khaddafi pun mulai diberitakan lebih akrab dengan Barat. Bahkan, selain membeli klub sepakbola serie A Italia, Perugia dan sebagian (9%) saham Juventus, Khaddafi dikabarkan membeli rumah mewah tempat peristirahatan di Miami dan Monaco.
Gaya hidup mewah sang Sahabat Rakyat Libya kini lebih sering mewarnai media massa. Tabi’at kekuasaan telah meliputi hati dan pikiran the Brother Leader.
Puncaknya, 5 September 2007, Menteri Luar negeri Condoleeza Rice berkunjung ke Tripoli. Saat menemui Khaddafi, Rice menghampiri dengan senyum dan menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman. Tapi, Khaddafi menanggapinya dengan meletakkan tangan kanannya di dada kiri.
Khaddafi tidak mau bersentuhan dengan perempuan bukan muhrimnya. Berbeda dengan Menkominfo Tifatul Sembiring, yang tidak berdaya untuk menolak bersalaman dengan Michelle Obama, yang bukan muhrimnya.
Dalam pidato sambutannya, Khaddafi menyebut tamunya The Honorable Condoleeza Rice, Yang Mulia Condoleeza Rice. Sebutan itu kemudian menjadi headline di Koran-koran Libya dan Amerika. Saat itu mulai banyak warga Libya yang mempertanyakan sikap politik Khaddafi. Setelah kunjungan Rice tersebut, Libya dicoret dari Poros Setan [Libya, Suriah, Iran dan Korea Utara] oleh Amerika Serikat.
Di dalam negeri sendiri, nyaris tidak terperhatikan. Kesejahtraan rakyat Libya terus merosot, sementara kebebasan berpolitik nyaris tidak ada. Memasuki usia 40 tahun kekuasaan Khaddafi, mulai tumbuh kelompok-kelompok politik bawah tanah yang menginginkan perubahan.
Seperti halnya di berbagai belahan dunia, dalam lima tahun terakhir, kehidupan masyarakat diwarnai dengan yang nama Fecebook. Lewat dunia maya Facebook, memungkinkan orang berdiskusi, berorganisasi dan berpolitik ngumpet-ngumpet. Benar saja, antara lain karena media karya Mark Zuckerberg inilah suhu politik di negara-negara timur tengah memanas secara bersamaan.
Hingga jatuhnya Presiden Mesir Hosni Mubarak Februari 2011, tak satu pun orang-orang di sekeliling Khaddafi yang mengingatkan bahwa apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir akan terjadi juga di Libya. Mereka semua selalu mengatakan semuanya berjalan dengan baik, rakyat Libya masih mencintainya.
Di sisi lain, Khaddafi juga menerima dan mempercayai laporan-laporan asal Khaddafi senang (AKS) dari para pembantunya. Dia seolah tak mau tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada rakyatnya.
Baca Juga: Muammar Khaddafi [1] Sang Kolonel Kebanggaan Bangsa Libya
Sebenarnya, setelah Presiden Tunisia Ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mubarrak sudah jatuh, Khaddafi sadar, gerakan people power itu cepat atau lambat akan sampai ke negrinya. Tapi kesadaran yang terlambat itupun segera ditepis oleh laporan-laporan yang menyesatkan dari para pembantunya.
Ciri-ciri pemerintahan yang busuk sudah sedemikian lekat pada Khaddafi dan para pembantunya. Ini hendaknya menjadi catatan penting bagi para penguasa negeri, baik yang sudah berkuasa 42 tahun ataupun 7 tahun: suara rakyat mungkin tidak sampai di telinga penguasa, tapi sampai di telinga Tuhan.
Tiba-tiba Khaddafi sudah berhadapan dengan puluhan ribu rakyat Libya yang dulu menyanjungnya kini sudah berada di jalan raya menuntutnya mundur. Demonstrasi besar pertama kali terjadi di Libya, justru di Benghazi. Kota di mana Khaddafi mengenal politik, kuliah, masuk akademi militer, dan yang tidak mungkin dilupakannya, ia mengumumkan pidato kudetanya juga di stasiun radio Benghazi.
Artinya, jika penduduk Benghazi sudah memintanya mundur, warga kota-kota lain di Libya pasti ingin lebih cepat lagi ia meletakkan kekuasaan. Tapi meletakkan kekuasaan saat ini bagi Khaddafi, sama saja dengan berjalan menuju pintu penjara. Karenanya, Khaddafi memilih yang kedua, berhadapan dengan para sahabatnya, sekalipun harus menggunakan kekerasan.
Maka dengan menyewa pilot-pilot bayaran dari negara lain, Khaddafi membubarkan kerumunan demontrasi dengan menggunakan peluru caliber 22 mm yang dimuntahkan dari pesawat-pesawat Shukoi dan MiG. Hasilnya ribuan demontran terkapar bersimbah darah.
Mungkin ia belajar pada kasus Tian An Men di China 1989, kalau tidak menggilas puluhan mahasiswa yang berdemo di lapangan itu dengan tank, maka struktur pemerintahan komunis China akan runtuh, dan berarti kehancuran negara.
Namun Khaddafi lupa, China adalah negara besar dalam berbagai aspek, sehingga kecaman dunia bisa diabaikannya, seperti Amerika mengabaikan kutukan dunia, ketika menyerang Libya tahun 1986. Sedangkan Libya, kini berpenduduk 6,5 juta jiwa, dipimpin oleh orang sehebat Khaddafi sekalipun, dunia tidak akan diam.
Dulu, ketika berseteru dengan Amerika, seluruh rakyat Libya bersatu menjadi tameng hidup bagi Khaddafi. Kini, para sahabat yang sudah dilupakan itu berbalik menentangnya. Kalau pada tahun 1999 Khaddafi menghargai satu korban Lockerbie US$3,4 juta, maka kini Khaddafi hanya bersedia menghargai satu nyawa rakyatnya hanya US$12.000.
***
Tulisan sebelumnya: Muammar Khaddafi [3] Ledakkan Diskotik di Berlin sampai Pesawat di Lockerbie
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews