Harianto Badjoeri [48]: Mengawal Napak Tilas Jemaat Kristen dari Katedral ke Bekasi

Pengawalan napak tilas ini bagi HB adalah peristiwa penting yang mesti diamankan, salah satu bentuk pengamalannya dalam mewujudkan Pancasila, khususnya sila ke-3 Persatuan Indonesia.

Sabtu, 11 Januari 2020 | 13:00 WIB
0
337
Harianto Badjoeri [48]:  Mengawal Napak Tilas Jemaat Kristen dari Katedral ke Bekasi
Anton Dwiantoro (Foto: Dok. pribadi)

 Sikap dan tindakan toleransi Harianto Badjoeri yang akrab disapa HB oleh rekan-rekannya ini sudah diperlihatkan sejak dulu. Salah satunya adalah sewaktu dia menjabat sebagai Ketua pemuda Panca Marga (PPM) DKI Jakarta tahun 1996.

Waktu itu, HB adalah orang yang berperan dalam mengamankan napak tilas spiritual jemaat Kristen dari Gereja Kathedral Jakarta menuju Gereja St. Servatius di Kampung Sawah, Bekasi, sejauh 30-an kilometer.

“Waktu itu peserta napak tilasnya tidak kurang dari 1.000 orang. Mereka berjalan kaki pada tengah malam sampai jelang pagi,” ungkap Anton Dwiantoro (56 tahun), peserta napak tilas yang waktu itu masih sebagai pemuda Katholik.

Peserta napak tilas sendiri datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Napak tilas itu dilaksanakan untuk mengingat kembali 100 tahun (1896-1996) semangat para misionaris dan tokoh awal umat Katholik Kampung Sawah yang pernah tinggal di Kathedral, namun bertugas di Gereja Servatius Kampung Sawah.

“Napak tilas ini digagas oleh Pastor R Kurris, SJ,” kata Jakob Napiun, salah seorang jemaat Gereja Servatius yang juga saksi napak tilas.

Menurut Anton Dwianoro, jemaat di Gereja Servatius tempo dulu masih sedikit sekali. Kemudian beberapa jemaat dari Kathedral pindah ke situ. Nah, proses perpindahan jemaat itulah yang kemudian dikenang oleh mereka.

“Untuk mengenang perpindahan jemaat itu makanya dilaksanakan napak tilas,” kata Anton.

Peristiwa napak tilas itu sendiri menarik perhatian HB sebagai anak bangsa yang pengaruhnya amat kuat di kalangan organisasi kemasyarakat di Ibu Kota ini. Dia kemudian menggagas untuk memberi pengawalan napak tilas itu. Alasan dia mengawal napak tilas, karena peristiwa itu sebagai sejarah perjalanan umat Kristen di Jakarta dan Kampung Sawah, Bekasi yang menunjukkan keragaman di Indonesia.

Dia kemudian memerintahkan anak anggota PPM yang di bawah komandonya untuk mengawal napak tilas itu. HB ingin peristiwa itu jangan sampai gagal atau mendapat gangguan dari pihak manapun.

“Saya ingin memastikan bahwa napak tilas saudara-saudara Kristen berjalan aman tanpa ada gangguan dari pihak lain,” ujar HB.

HB melihat, proses napak tilas itu sendiri bisa saja mengundang kerawanan sosial  dari sebagian orang yang mungkin tidak suka mengingat jalur napak tilas itu sendiri tergolong kawasan “keras”.

Rutenya dimulai dari Katedral Jakarta-kawasan Senen-kawasan Jatinegara-kawasan Cililitan-Kramatjati-Taman Mini-Pondok Gede-Kampung Sawah. Di sepanjang rute itu,  anggota PPM menjalankan pengawalan sesuai instruksi HB. Mereka juga bahu-membahu dengan aparatur kepolisian di sepanjang perjalanan.

Suryo Susilo, yang waktu itu menjadi pengurus PPM memberi kesaksian bahwa peran HB yang memerintahkan anak buahnya mengawal napak tilas itu adalah salah satu bentuk kepeduliannya terhadap persatuan dan kesatuan elemen bangsa yang majemuk ini.

Dalam keseharian hidupnya HB senantiasa menjunjung tinggi semangat persatuan di tengah-tengah perbedaan. Perbedaan tidak boleh merusak persatuan, karena persatuan adalah modal Indonesia bisa berdiri sampai sekarang ini.

Pengamanan napak tilas itu sendiri kemudian berjalan baik sampai selesai. Semua peserta napak tilas sampai di tujuan tanpa halangan apapun. Eddy Pepe, salah seorang peserta napak tilas yang bertugas mendokumentasikan peristiwa itu bercerita bahwa pengawalan peserta napak tilas berjalan amat bagus.

“Kami bersyukur dan berterima kasih kepada Pak Harianto Badjoeri yang memerintahkan anggotanya Pemuda Panca Marga untuk mengawal napak tilas itu,” kata Eddy.

Pengawalan napak tilas ini bagi HB adalah peristiwa penting yang mesti diamankan, karena ini adalah salah satu bentuk pengamalannya dalam mewujudkan Pancasila, khususnya sila ke-3 Persatuan Indonesia.

“Saya juga meyakini bahwa apa yang saya jalankan ini tidak bertentangan dengan agama yang saya anut, karena sebagai manusia kita mesti membantu orang lain meskipun berbeda agama,” ujar HB bersemangat.

Dalam pandagan HB, mengamalkan sila-sila dalam Pancasila yang menjadi dasar negara ini lebih berarti dibanding sekadar pidato atau berceramah di sana-sini. Dengan berbuat sesuai sila-sila dalam Pancasila, secara otomatis telah ikut menegakkan Indonesia tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Repubik Indonesia yang berbhineka tunggal ika. 

Krista Riyanto

***

Tulisan sebelumnya: Harianto Badjoeri [47]: Menghargai Kerja Keras dan Prestasi