Kisah Sukses Ridwan Kamil [3] Memberdayakan Warga Kota Bandung dengan Segala Cara

Dengan pencapaian selama empat tahun di bawah kepemimpinan Walikota Ridwan Kamil, Bandung telah kembali menjadi Kota Kembang, Paris van Java.

Sabtu, 13 Juli 2019 | 07:01 WIB
0
488
Kisah Sukses Ridwan Kamil [3] Memberdayakan Warga Kota Bandung dengan Segala Cara
Ridwan Kamil (Foto: Merdeka.com)

Kalangan pertama yang disentuh Emil setelah menduduki jabatan Walikota adalah masyarakat miskin. Hal itu sebagai pemenuhan janji ketika ia berkampanye. Setiap tahun, Pemkot Bandung menyisihkan Rp60 miliar untuk kartu asuransi kesehatan, semacam Kartu Jakarta Sehat di Jakarta. Sumber pendapatan untuk warga miskin tersebut, Emil membuat program aplikasi zakat yang bisa dijalankan dengan aplikasi khusus dari ponsel. 

Orang-orang kota yang sibuk tinggal buka ponsel, hitung penghasilan bulanannya, hitung kalkulasi zakatnya, pilih amil zakat, dan banknya, kirim 2,8% dari penghasilnnya tiap bulan. Apa yang terjadi? Kalau sebelumnya dana zakat di Kota Bandung yang terkumpul hanya Rp400 juta per bulan, kini mencapai Rp2 miliar per bulan, atau sekitar Rp 30 miliar setahun. Itu karena memakai teknologi dalam mengakselerasi kewajiban agama untuk tujuan sosial.

“Saya bilang, carikan saya tiga perusahaan, saya bisa membiayai Kartu Bandung Sehat, kira-kira begitu. Jadi negara tidak harus turun menangani semua urusan, itu ciri civil society, kalau masalah kemasyarakatan bisa selesai oleh masyarakatnya itu sendiri. Tapi kalau urusan masyarakat masih negara yang turun, menurut pendapat saya itu masih primitif. Buktinya, kalau semua muslim di Bandung bayar zakat, kemiskinan bisa teratasi tanpa rekayasa anggaran pemerintah,” ujarnya. 

Namun demikian, ada saja orang kaya yang beralasan, “Pak Ridwan, kan saya sudah bayar pajak, terkandung di dalamnya buat ngurus orang miskin.” Menanggapi hal itu Emil mengatakan, pajak itu urusan antara warga dengan negara, kalau zakat dalam Islam, urusan umat dengan Tuhan. “Nya mangga wae, teu langkung...” 

Selain itu, kini Pemkot Bandung melaksanakan program Rp100 juta per RW yang ditiru AHY saat kampanye Pilkada DKI 2017 lalu. Tentu saja jumlahnya berbeda dengan Jakarta yang duitnya banyak. APBD Kota Bandung hanya Rp7 triliun pada tahun 2016, atau hanya 10% dari APBD Jakarta yang Rp70 triliun. Program itu bukan semata bagi-bagi duit. 

“Kamu, saya kasih jatah Rp100 juta setahun, terserah kamu pakai buat apa. Bisa bangun gerbang, beli paving blok, terserah. Di Kota Bandung kini ada 1500 RW, berarti ada 1500 kegiatan masyarakat di kota Bandung, karena saya desentralisasikam fiskalnya,” jelas Emil. 

Dulu di kampung-kampung kumuh tidak ada tempat bermain anak-anak. Lalu Pemkot membeli satu rumah, dibuat lahan terbuka. Maka berbagai kegiatan masyarakat, khususnya anak-anak, bisa dilakukan, seperti latihan menari, pencak silat, bahkan ada juga les Bahasa Jerman. 

Setelah masyarakat mendapatkan pemahaman dan pembelajaran, hasilnya pameran tidak hanya digelar di galeri tapi di gang-gang sempit. Kultural dirayakan tidak dalam bentuk festival besar, tapi di kampung-kampung kumuh. Orang miskin berhak bahagia. “Di Bandung kita atur formula-formula agar mereka menentukan kebahagiannya sendiri, maka kita bikin happiness projects.”

Tentang isu-isu sosial, Emil menjelaskan, satu masyarakat dikatakan naik kelas dan layak disebut collaborative citizens, jika sudah mampu mengatasi masalahnya sendiri, tanpa keterlibatan negara. Kelompok yang menjadi bagian dari masyarakat collaborative citizens, termasuk dewan smart city, kalangan bisnis, kalangan akademisi, komunitas, dan masyarakat itu sendiri. 

Rumus ini yang dipakai Emil menjadikan kohesivitas sosial masyarakat Bandung yang sangat kokoh. Misalnya, untuk tenaga pengamanan tambahan penyelenggaraan peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika, Emil membutuhkan tiga ribu relawan, tapi yang mendaftar mencapai 15 ribu orang. Padahal itu sifatnya voluntary. 

Untuk mengukur tingkat kebahagiaan warga Bandung, Emil melakukan survei di Google. Hasilnya, tingkat kebahagiaan warga Bandung cukup tinggi. Parameter paling signifikan adalah ketika warga berpartisipasi dalam kegiatan dengan suka rela. 

“Ternyata happiness activity yang tinggi itu ketika melakukan kegiatan suka rela untuk orang lain. Ada sembilan kategori yang membuat kita bahagia. Ternyata the highest score itu volunteerism. Kalau kamu turun sebagai relawan itu ternyata menimbulkan rasa bahagia.”

Dalam berinteraksi dengan warga, Emil menggunakan berbagai cara. Bisa bertatap muka langsung, video conference, atau media tulis. Dari interaksi tersebut Emil meyimpulkan bahwa pengamatannya betapa orang Bandung senang bikin proyek sendiri, hingga mereka menjadi collaborative citizens. Pesannya, pemerintah tidak bisa terus mendikte warga dalam mengeksekusi semua kebijakan. Ada beberapa kebijakan di mana warga harus dilibatkan mulai dari perencanaan dan design.

Masyarakat Bandung, menurut dia, sudah berkualifikasi smart society, pinter-pinter, cuma selama ini tidak diberi ruang. Tugas Walikota memberi ruang dan arahan. 

Melalui website yang dikelola Pemkot Bandung, terjadi kolaborasi gagasan antara pemerintah dengan warganya. Lest try the system, siapa saja boleh memberi masukan atau gagasan bagi perbaikan Kota Bandung. Untuk masuk ke website, loginnya bisa memakai facebook, twitter, atau media sosial lain. Di web tersebut user punya halaman sendiri untuk menyampaikan ide-ide dan pemikiran. 

“Nanti saya masuk ke akun-akun itu dan lihat mana yang bisa dijalankan. Tahun ini ide terbaik adalah bikin ambulans motor. Itu sangat membantu karena gang-gang banyak yang tidak bisa dimasuki mobil. Gagasan ambulans motor itu datang dari masyarakat, bottom up. Negara hanya membuka ruang partisipasi,” ujarnya. 

Pola kolaboratif ini disukai oleh seorang walikota di Selandia Baru, dan dia akan menerapkannya di sana, bagaimana interaksi warga diformulasikan dalam sistem digital. Sekarang sudah ada 6000 gagasan yang terkumpul. Jadi, dengan begitu setiap warga merasa ‘this is my city, i oge design my city’. Tidak hanya the mayor design the city tapi citizen design the city.

Contoh lain, Pemkot Bandung memberikan keleluasaan bagi berbagai komunitas untuk berkegiatan di area yang menjadi domain pemerintah. Komunitas ‘Mata Air’ misalnya, telah menemukan 40 mata air yang telah mati dan kini sudah dihidupkan lagi. Komunitas ini kegiatannya mencari mata air, yang sebenarnya tugas pemerintah. Bahkan dengan peralatan yang dimiliki, mereka mencari mata air hingga di balik tembok, sudah hilang tertutup. Setelah ditemukan mata air, Pemkot Bandung membeli lahannya untuk dikonservasi. 

Kemudian Emil bercerita, bagaimana menumbuhkan budaya literasi, membaca dan menulis. Pada umumnya, orang Indonesia rata-rata membaca 27 halaman buku per tahun, menempati ranking ke 60 dari 61 negara di dunia. Maka Pemkot Bandung menjalankan program ‘satu kelurahan satu perpustakaan’. Ini juga melibatkan komunitas pencinta buku yang ada di masyarakat. 

“Ini penting agar mereka tidak membaca berita hoax, baca judulnya saja, marah-marah, lalu forward-forward. Pemkot menyediakan ruang untuk perpustakaan kelurahan, bangunannya di-make up oleh para arsitek pendamping di kecamatan, sederhana, murah, tapi keren. Sekarang anak-anak mulai betah berlama-lama di perpustakaan.”

Meningkatkan Daya Saing Ekonomi

Masyarakat Indonesia sudah mengenal bus tingkat terbuka untuk keliling kota Bandung, Bandros. Nama Bandros yang aslinya nama makanan itu datang dari warga, akronim dari Bandung Tour on Bus. Peluncuran Bandros itu, kata Emil, sebagai eksperimen e-commerce Bandung ke ASEAN, di mana Bandung diperkenalkan sebagai Kota Pariwisata. Hasilnya, sekarang pada hari Jumat sampai Minggu sore, terminal Bandara Internasional Hussein Sastranegara Bandung tidak pernah sepi dari wisatawan lokal maupun turis asing, utamanya dari Malaysia dan Singapura. 

Emil menambahkan, Bandung adalah kota pertama di Indonesia yang punya Physical Store, namanya Little Bandung yang sudah ada di Malaysia dua, segera dibuka di Korea dan Paris. Jadi kalau banyak orang takut dengan pasar bebas ASEAN, Emil sebaliknya. Ia mengumpulkan produk-produk keren dari Bandung, kemudian dia melobi beberapa walikota di negara-negara tetangga untuk saling tukar informasi bisnis. 

“Intinya kita tidak takut dengan pesaing. Orang yang takut terhadap pasar bebas ASEAN biasanya mereka tidak siap, orang tidak siap cenderung protektif, orang tidak siap cenderung minta dilindungi, orang tidak siap cenderung marah-marah. Kita balik, kita siap jual dengan satu grade yang terbaik,” tegas Emil.

Sebagai catatan, ketika memperkenalkan Bandung, Emil selalu mengidentikkan Bandung dengan Barcelona, Spanyol. Alasannya, kedua kota memiliki klub sepak bola yang tangguh. Di Barcelona ada FC Barcelona, Bandung punya Persib. Kedua klub sering menjadi juara di kompetisi masing-masing negara. 

Karena kegiatan para turis itu umumnya belanja, maka Emil juga membenahi kasawan komersial. Salah satunya mengganti permukaan Jalan Dalem Kaum dan Jalan Kepatihan dengan paving block. Lalu, sebagai percobaan, ia menutup kedua jalan itu bagi kendaraan bermotor dan tidak boleh jadi tempat parkir selama enam bulan. 

Awalnya, para pemilik toko di sana protes. Tapi Emil tidak mundur. Ia berjanji, kalau dalam enam bulan bisnisnya turun, kedua jalan itu akan dikembalikan seperti semula. Deal. 

“Apa yang terjadi? Orang kalau tempatnya nyaman, spending time-nya jadi lebih lama. Kalau spending time-nya lama, akan lebih cepat haus dan lapar, mereka berbelanja lebih banyak lagi. Setelah enam bulan bisnis mereka naik, dan mereka minta kedua jalan itu ditutup selamanya,” kata Emil.

Menjadi seorang pemimpin, lanjutnya, harus yakin dengan keputusan yang diambil. Jangan takut kalau didemo. Karena tak ada keputusan yang bisa mengakomodasi semua pihak. Running out, lihat hasilnya. Ini the story of closing car oriented, while street become human oriented street. Berhasil. 

Dengan latar belakang sebagai arsitek, kewenangan sebagai Walikota digunakan sebagai instrument design, merekayasa sosial, dan ruang hidup. 

“Saya sering melakukan survei untuk mengetahui, apakah kerja pemerintah sudah nyambung dengan ekspektasi rakyat? Itu poin penting. Survei bulan April (2017) rating-nya 76% untuk pemerintahan.

Orang yang bangga jadi warga Bandung mencapai 88%. Orang yang bahagia tinggal di Bandung 82%.”
Atas sekian banyak perubahan yang telah dilakukan Emil sejak 2013, praktisi arsitektur Deliana mempertanyakan, apakah jika nanti Emil sudah tidak lagi menjabat Walikota Bandung, perilaku birokrasi akan kembali seperti semula? 

“Bagaimanapun waktunya tinggal setahun lagi, dan kemungkinan Ridwan Kamil akan maju menjadi Cagub dalam Pilgub Jawa Barat 2018. Dia harus bisa menjamin, sistem yang ia bangun tetap berjalan,” kata Deliana.

Menanggapi hal itu, Emil menegaskan, bahwa yang ia bangun adalah sistem, jadi tidak tergantung pada salah satu figur. Sistem itu sudah dikunci dengan perangkat hukum, dan diawasi bersama. Kalau sistem itu memberikan kebaikan kepada warga Bandung, maka warga Bandung akan mengawasi dan mejaga agar sistem itu berjalan. Siapapun walikotanya. Pertanyaan atau tepatnya kekhawatiran itu bukan hanya dari Deliana, tapi ada di benak banyak orang. 

Tapi, apa yang telah dilakukan Emil selama menjabat Wlikota Bandung tanpa penentangan dan suara miring dari kelompok manapun. Emil mengaku, ia mendapat banyak surat dan pemberitaan bahwa ia terlibat korupsi, ini dan itu. Emil hanya menjawab, kalau itu fakta, silakan proses secara hukum. Tapi kalau informasi itu tidak benar, maka penyebar hoax itu yang diproses hukum. 

Dengan pencapaian selama empat tahun di bawah kepemimpinan Walikota Ridwan Kamil, Bandung telah kembali menjadi Kota Kembang, Paris van Java, Ibukota Parahyanan yang diciptakan Tuhan ketika tersenyum. Maka, bagian yang relevan dari lagu yang diciptakan Doel Sumbang di awal tulisan adalah, walikota jeung warga kota, niatna kudu sarua, gawe rampak babarengan, hayang bebenah ngomean (walikota dan warga kota, niatnya harus sama, bekerja serentak bersama, ingin bebenah memperbaiki). Kini warga Bandung lebih riang menyanyikan lagu ‘Bandung’ yang juga digubah oleh Doel Soembang.

ari imut imut Bandung, 
kota diriung ku gunung, 
dikantun montel katineung, 
paanggang muntang kamelang.

(itu senyum, senyum Bandung, 
kota yang dikelilingi gunung, 
kalau ditinggalkan akan selalu terkenang, 
kalau berjauhan akan selalu teringat)

(Selesai)

***

Tulisan sebelumnya: Kisah Sukses Ridwan Kamil [2] "God is in Detail"