Hikayat Kursi Roda

Percayalah, fisiknya yang masih terlihat mata telanjang seolah-olah terbebas dari ikatan, tetapi tidak harga dirinya. Terbelenggu, bahkan tergadai oleh kepura-puraan yang ia ciptakan.

Senin, 25 Juli 2022 | 09:12 WIB
0
315
Hikayat Kursi Roda
Kursi roda (Foto: Tribunnews.com)

Setiap 1 Maret, orang di seluruh dunia memperingati Hari Kursi Roda Internasional. Tidak oleh setiap orang memang, tetapi setidaknya mereka yang menaruh perhatian terhadap kursi beroda ini atau mereka yang dalam kesehariannya tidak lepas dari alat bantu itu. 

Karenanya, kursi roda bisa dikatakan ekstensa dari tubuh penggunanya, bahkan dalam batas-batas tertentu menjadi bagian dari tubuhnya sendiri.

Hari Kursi Roda Internasional atau "International Wheelchair Day (IWD) melengkapi peringatan Hari Disabilitas Internasional yang diperingati setiap tanggal 3 Desember. Peringatan IWD digagas seorang warga Inggris bernama Steve Wilkinson.

Dulu, sezaman dengan abad pencerahan di Eropa, saat pertama kali kursi roda dibuat tahun 1595, kursi khusus untuk Pangeran Philip II ini bernama "kursi cacat". Bahwa namanya demikian "mengerikan" seperti istilah "rumah sakit", mungkin karena ilmu hermeneutika dan semiotika belum dikenal luas. 

Nomenklatur diciptakan berdasarkan apa yang tampak ke permukaan. Karena kursi roda diperuntukkan bagi penyandang disabilitas (cacat), maka namanya pun menjadi "kursi cacat". Belakangan orang memberi nama bukan kepada kegunaan atau fungsi, melainkan pada ujud (materi) kursi roda, yaitu kursi yang dilengkapi roda.

Bagi penggunanya, kursi roda merupakan simbol kebebasan sekaligus pembebasan. 

Kebebasan, karena dengan kursi beroda yang seolah-olah menyatu dengan tubuh dan bahkan menjadi bagian tubuh itu sendiri, penggunanya bisa bebas bergerak kemana ia suka, tanpa terjerat oleh keterbatasannya.

Karena bagi penggunanya kursi roda telah menjadi bagian dari tubuhnya sendiri, maka jangan main-main dengan kursi roda. Anda tidak boleh sembarang menyentuh, mendorong apalagi memainkan kursi roda. Itu sama artinya Anda memainkan tubuh pemiliknya.

Memperlakukan kursi roda tak ubahnya Anda memperlakukan tubuh orang lain dengan segenap etika yang menyertainya, sebagaimana pengguna memperlakukan kursi roda sebagai ekstensa tubuhnya.

Pembebasan, karena dengan kursi roda penggunanya membebaskan orang lain dari keharusan membantunya, atas dasar kewajiban atau belas kasih. Kursi roda membebaskan penggunanya dari "rasa bersalah" karena telah merepotkan orang lain. 

Dalam konteks hermeneutis, kursi roda bisa bebas makna. Tergantung orang lain yang memberi makna, termasuk Anda. Jika dalam ilmu bahasa dikenal kasus untuk menyatakan kondisi, "mood" atau keadaan, maka makna kursi roda bisa dimulai dari sini.

Bagi yang berpikir optimistis, kursi roda adalah pembebasan, yang merupakan satu titik terang di ujung lorong panjang yang gelap. Sebaliknya bagi yang berpikir pesimistis, kursi roda adalah belenggu yang menyiksa, sekadar menggarisbawahi bahwa penggunanya penyandang disabilitas.

Benar, kursi roda menjadi "netral" tergantung dari sudut mana Anda melihatnya. Tetapi sebagai materi, kursi roda tidak pernah berbohong. Ia mewujud sebagaimana adanya dengan segenap kejujuran yang melekat padanya.

Bahwa kursi roda sekarang ini bisa digunakan sebagai alat berbohong efektif dengan maksud membebaskan diri dari jerat hukum, itu adalah fakta, bukan sekadar fenomena. Jangan salahkan kursi rodanya.

Di sini kursi roda bukan alat pembebasan, melainkan alat pembohongan demi kebebasan semu.

Percayalah, fisiknya yang masih terlihat mata telanjang seolah-olah terbebas dari ikatan, tetapi tidak harga dirinya. Terbelenggu, bahkan tergadai oleh kepura-puraan yang ia ciptakan.

***