Kenangan Pendek Bang Mimar

Masmimar Mangiang adalah seorang otodidak yang mengagumkan. Omongannya sangkil dan mangkus. Humornya terasa tengil, tapi cergas, hemat dalam bertutur kata.

Selasa, 30 Juni 2020 | 06:18 WIB
0
298
Kenangan Pendek Bang Mimar
Masmimar Mangiang (Foto: publica-news.com)

Karena dines malam, dan baru sampai rumah, membacai beberapa tulisan temen di linimasi fesbuk; Masmimar Mangiang (71) meninggal dunia.

Orang baik itu, orang pinter itu, kematiannya membuat sedih. Sedih karena tidak bisa menemuinya lagi. Kecuali lewat kenangan dan pelajaran yang diberikan, juga tulisan-tulisan yang ditinggalkannya.

Bang Mimar orang yang menolong saya pertama kali di Jakarta. Sebenarnya tujuan saya ke Jakarta, di awal 80-an, hanyalah dolan memenuhi ajakan teman. Eh, tak tahunya, teman itu justru pas ada di Yogya. Jaman itu belum ada handphone. Saya ingat beberapa kali masukin koin ke telpon umum di depan Pasar Bendungan Hilir. Padal, saya cuma punya sangu berangkat, tidak ada duit untuk pulang.

Tak tahu harus ke mana, saya menelpon ke kantor majalah Fokus, tempat Deded Er Moerad (alm) bekerja. Melarang saya pulang ke Yogya, Deded mengajak kerja saja di Fokus. Saya dikenalkan pada Bang Mimar, Masmimar Mangiang, Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan Berita 'Fokus'. Setelah babibu ngobrol sana-sini, Bang Mimar meminta saya sebagai anggota redaksi artistik.

Bersama Deded, saya tidur di kantor Fokus, di Jalan Bunga Kamboja Raya, yang sumpah mampus saya sangka jalan gede. Nggak tahunya cuma anak jalan tingkat kecamatan. Maklum, dari udik, mendengar kata ‘raya’ itu bayangannya sak-hohah.

Tak lama saya kerja di Fokus, mungkin cuma sekitar tiga bulan. Maunya, MMB Fokus ini seperti Newsweek, sebagai kompetitor MBM Tempo (yang waktu itu diidentikan seperti TIME Magazine). Di situ saya sekantor dengan Genthong Hariono Selo Ali, Rahadi Zakaria (alm), Wina Armada SA, Arthur John Horoni, juga Sutardji Calzoum Bachrie, para redaktur Fokus.

Sebagai redaktur artistik saya kira itu cara Bang Mimar menolong saya. Karena tak pernah bercita-cita itu, sembari kerja saya terus menulis, dan mengirim ke beberapa media cetak.

Yang mengagetkan, Bang Mimar pernah ‘mencuri’ tulisan saya. Saya biasanya nulis malam hari di kantor, pakai mesin tik kantor. Eh, salah satu tulisan saya yang saya taruh di meja saya hilang. Tapi saya lebih kaget, ketika lagi nge-set lay-out majalah yang akan terbit, tulisan saya yang hilang itu terpajang di kolom yang biasa Bang Mimar menulis.

Agak schok saya. Ini lelucon atau apa? Di perpustakaan kantor, selesai jam makan siang, Bang Mimar mendekati saya. Menyodorkan majalah ‘Optimis’, itu majalah Ilmu Pengetahuan dan Perbukuan, yang didirikan oleh Mas IW (Imam Waloeyo, Leppenas). Majalah itu butuh redaktur dan Bang Mimar bilang, “Kamu bisa di sini,…” Saya melamar ke Optimis. Dari sekian puluh pelamar, bersama Alexander Irwan saya diterima di Optimis, dan berpisah dengan Bang Mimar.

Bang Mimar tak banyak bicara, tapi ia seorang yang cermat, dalam bertutur dan berbahasa tulis. Seorang otodidak yang mengagumkan. Omongannya sangkil dan mangkus. Humornya terasa tengil, tapi cergas.

Suatu sore ketika hendak pulang, Des Alwi, salah seorang redaksi Fokus, mau numpang karena satu arah. Tapi masalahnya, Des sudah menggelar sajadah dan mau shalat. Bang Mimar bilang, “Ya, udah, cepetan shalatnya,….” Des Alwi menyahut, “Iya ini saya cepetin…!”

Sembari jalan Bang Mimar ngomong, “Tuh, kan, lebih takut saya daripada Tuhan…!”

Kami yang mendengar lelucon itu ketawa ngakak. Met jalan Bang Mimar. Saya simpen cerpen Abang tentang tukang sol sepatu yang bestari itu. Orang yang berani menyatakan hati-nuraninya dalam tulisan. 

@sunardianwirodono

***