Berbeda dengan Malaysia, Indonesia abai terhadap kemampuan seorang Endri Rachman, meski rezim silih berganti. Malaysia jauh-jauh hari sudah melirik kemampuannya dan merekrutnya.
Pakar sekaligus pembuat pesawat tanpa awak (UAV) itu telah berpulang. Adalah keluarga yang mengabarkan kepulangannya melalui Facebook, bahwa doktor aeronotika lulusan Jerman itu meninggal di RS Hermina akibat sakit. Beberapa tahun sebelumnya, lulusan Teknik Fisika ITB ini terkena serangan "stroke" yang mengakibatkan gerakannya berkurang.
Namun demikian, ia tetap mengabarkan kesehatannya melalui Facebook, dengan doa-doa dan harapan. Endri memang sangat shaleh -kalau tidak mau dikatakan fanatik- terhadap keyakinannya. Ia memimpikan sebuah negara Indonesia yang maju dan sejahtera, adil serta makmur, di bawah ridlo Allah.
Endri adalah salah satu manusia Indonesia yang sangat langka, yang konsisten dalam berkarya, yaitu membangun pabrik UAV di Indonesia.
Pernah suatu waktu saat bertemu di Bandung, ia mengaku tidak menyesali terpuruknya IPTN seiring ambruknya pemerintah Orde Baru sebagai penopang pabrip pesawat itu, tetapi justru ia ingin membangun pabrik pesawat lainnya yang lebih efisien, meski dimulai dengan UAV. Endri yang semula pegawai IPTN harus hengkang ke luar negeri seiring dengan terpuruknya pabrik pesawat yang dikembangkan BJ Habibie itu.
Sebagai lulusan Jurusan Teknik Penerbangan (Flight Mechanics and Control) di Technische Universität Carolo-Wilhelmina zu Braunschweig, JErman, ia paham betul mengenai rekayasa aeronotika. Itulah yang membuat saya tertarik menulis "biografi" singkatnya untuk Harian Kompas.
Selain bertemu sampai tiga kali dan terakhir mengunjungi pabrik pesawat UAV-nya di timur Bandung, saya semakin meyakini bahwa Endri adalah "the outlier", hanya segelintir orang saja dari kerumunan orang mencuat di bidangnya berkat konsistensinya.
Saya sudah lupa perjumpaan pertama dengannya, tetapi ada seseorang tetangga yang menceritakan tentang kiprahnya di bidang aeronotika. "Tadinya ia dibajak oleh Malaysia, keahliannya diserap, tetapi ia kecewa karena Malaysia hanya merampok ilmunya untuk mengembangkan industri pesawatnya sendiri," kata teman tadi.
Singkat cerita, saya kemudian menghubunginya untuk sebuah pertemuan di kawasan Bintaro. Wawancara pertama dilakukan di sebuah restoran. Saya menyerap banyak ceritanya, terutama pada bagian "liciknya" Malaysia merampok ilmu Pak Endri, yang membuat ia kecewa dan ingin mendharmabaktikan kemampuannya di Indonesia saja, meski dimulai dengan membangun UAV kecil-kecilan, tidak langsung skala industri.
Kurang puas dengan wawancara itu, saya ingin melanjutkan dengan melihat pabrik pesawatnya di Bandung. Saya pun bergegas ke sana dan melihat ada tekad kuat Endri untuk mewujudkan cita-citanya. Saat profilnya dimuat sebagai "sosok" di Harian Kompas, tulisan itu mendapat respons dari Kementrian Pertahanan saat itu yang mengajaknya beraudiensi.
Saat bersamaan, pemerintah sedang menjajaki pembelian UAV atau sekarang disebut "drone" buatan Israel. Saat itu Endri mampu mengukur kekuatan model "drone" yang ditawarkan Israel dibanding UAV buatannya.
Endri agak sedikit merahasiakan tentang hal ini karena menganggapnya terlalu sensitif. "Bukan saya takabur, UAV saya lebih canggih dengan harga yang jauh lebih murah," katanya.
Sosok Endri saya ceritakan dalam buku yang saya tulis, "Menulis Sosok". Meski kemudian ia harus terbang ke negera orang, sampai ke Afrika untuk mengembangkan "drone"-nya di sana (rupanya Indonesia tidak meliriknya), ia kembali lagi ke Tanah Air dan bersemangat melanjutkan karyanya.
Tanggal 29 Juli 2020 atau setahun lalu adalah kontak saya terakhir dengan Pak Endri melalui Facebook. Ia mengutarakan keinginannya untuk bertemu dengan saya. "Pak Pepih, saya ingin ngobrol ngalor ngidul sambil main catur, juga sambil minum banderek atau bajigur, enak meureun (mungkin)," katanya.
Bahkan saya yang "ingkar" karena seharusnya pertemuan terjadi di kediamannya di Bandung, tiba-tiba saya ada acara mendadak. Maka, pertemuan itu tidak pernah terjadi lagi.
Ia ingin berbagi tulisan di media yang saya tekuni, PepNews.com dan bahakn sudah membuat akunnya. Tetapi ia mengaku tidak tahu bagaimana cara menulis dan menayangkannya. Saya menawarkan cara lain, ditayangkan saja terlebih dahulu melalui Facebook, baru kemudian saya ambil. Akan tetapi, di Facebook pun ia tidak pernah menulis panjang lebar mengenai kiprahnya itu.
Kerap juga saya berdebat melalui Facebook Messenger soal keyakinannya itu. Ia lebih "straight", semenara saya lebih "demokrat". Kasarnya, ia lebih menyukai "Anies Baswedan" ketimbang "Ahok" dalam konteks Pilkada. Ia Pancasilais, tetapi mengagumi sistem pemerintah berdasarkan khilafah.
Sementara saya "staright" dalam urusan ideologi, sehingga sering terjadi "perselisihan". Namun semua bersifat pribadi dan tidak diumbar ke luar. Kami tetap berteman dan saling mendoakan karena kami terpisan dengan kesibukan masing-masing.
"Wahai Kawan...Saya telah mendisain berbagai jenis UAV baik untuk sipil maupun untuk militer, salah satunya sebabnya untuk mempertahankan dan melindungi Islam dari orang orang yang berniat untuk menghilangkan; dari Indonesia dan melindungi Indonesia sebagai negara kesatuan, dari orang yang mau menjajahnya, mengeksploitasinya, serta merubahnya," demikian Endri menulis status terakhirnya di Facebook, 11 November 2020.
Saya harus katakan, negara ini abai terhadap kemampuan seorang Endri Rachman, meski rezim silih berganti. Malaysia jauh-jauh hari sudah melirik kemampuan Endri dan memberikan Endri sebuah laboratorium khusus untuk mengembangkan UAV. Endri kecewa karena ternyata Malaysia mengembangkan "drone" hasil buatan Endri dan tidak lupa mengklaimnya sebagai "karya anak bangsa Malaysia" sendiri.
Meski tidak pernah bertemu lagi dan tiga tahun lalu Endri terkena "stroke", ia tetap mengabarkan mengenai kondisinya, juga kepulihannya. Ia seorang yang optimis.
"Kita memang sudah sama-sama menua, tetapi harus tetap produktif," pesannya.
Selamat jalan, Pak Endri...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews