Kartini Menurut Siapa?

Kartini yang digambarkan rezim Suharto lengkap dengan gelar Raden Ajeng-nya digugat oleh Pram dengan kata-kata singkat “Panggil Aku Kartini Saja”.

Kamis, 22 April 2021 | 09:56 WIB
0
312
Kartini Menurut Siapa?
Kartini dan suami (Foto: akarnews.com)

Wajah Kartini dalam sejarah Indonesia mempunyai banyak dimensi, wajah ini bahkan saling berbenturan seperti Kartini versi Balai Pustaka, Kartini versi Bung Karno, Kartini versi Suharto sampai Kartini versi Pramoedya Ananta Toer.

Kartini versi Balai Pustaka adalah “Kartini kebanggaan kolonial” disini digambarkan seorang perempuan Jawa yang mendapatkan pencerahan intelektual berdasarkan nilai-nilai barat. Seorang perempuan Jawa yang mempertanyakan “Soal-soal gelap dalam budaya sampai agama dalam tradisi Jawa yang suram” disini barat merasa bangga atas pertanyaan rasional Kartini. Kelompok Balai Pustaka yang begitu mengagung agungkan budaya barat dalam hal ini tradisi intelektual Belanda mengangkat Kartini sebagai simbol perlawanan kejumudan orang Jawa dalam melihat dunia modern.

Kartini dianggap pembaharu dalam alam pikiran modern orang Jawa dan juga dianggap sebagai keberhasilan politik etis Belanda. Kartini dalam lingkup Balai Pustaka adalah Kartini yang liberal, yang rasional namun masih tunduk dalam nilai nilai intelektual kolonial. 

Berbeda dengan Kartini versi Balai Pustaka yang dirilis Armijn Pane dimana Kartini digambarkan sebagai perempuan liberal tapi masih tunduk dalam nilai nilai kolonial, di tahun 1950-an Bung Karno mengangkat figur Kartini dalam benak publik sebagai “tokoh pembebas”. Kartini digambarkan Bung Karno sebagai “Perempuan berwatak radikal yang mencerahkan”.

Kartini dijadikan simbol kekuatan perempuan dalam politik nasional, perempuan yang berani bertanya tentang pemerintahan, mengeritik kekuasaan sekaligus membangun kesadaran sosialis bagi rakyat Indonesia. Kartini dalam sodoran Bung Karno adalah perempuan pembebasan nasional seperti Dolores Ibaruri perempuan pembebas sosialis dari Spanyol. 

Setelah Sukarno jatuh pada 1966, peran perempuan yang radikal, perempuan pembebas bangsanya diganti menjadi “perempuan berwajah domestik”, Suharto membangun pemerintahan fasis dengan watak patriarki yang kental. Sindikasi-sindikasi kaum perempuan dalam dunia politik ditiadakan, mereka dibawa ke alam domestik, alam rumah tangga dan lingkup sosialnya terbatas di persoalan kesehatan dan pendidikan anak-anak.

Di masa Bung Karno berbagai macam gerakan perempuan hadir di tengah publik tapi di masa Suharto gerakan perempuan dibagi menjadi dua : Kelompok elite yang direpresentatifkan sebagai Dharma Wanita dan kelompok rakyat umum masuk ke dalam agenda PKK.

Kartini dalam alam pemerintahan Suharto dibatasi hanya persoalan kebaya bukan pemikiran perempuan yang kritis. Kelompok Perempuan di era Orde Baru hanya menjadi pelengkap kegiatan suami bukan memiliki wilayah otonom dalam berpolitik dan menentukan agenda-agenda sosial. 

Lalu ketika “Kartini dengan kebaya-nya” dan kesan Priyayi Tinggi di masa Suharto digugat oleh Pramoedya Ananta Toer. Pertarungan memperebutkan Kartini di ruang publik antara “Kartini” Suharto dan “Kartini-nya” Pram menjadi semacam gugatan budaya terhadap arus besar budaya Mataraman yang berwatak ningrat dengan budaya pesisir yang egaliter.

Kartini yang digambarkan rezim Suharto lengkap dengan gelar Raden Ajeng-nya digugat oleh Pram dengan kata-kata singkat “Panggil Aku Kartini Saja”.

Di sini Pram mengukuhkan simbolisasi Kartini sebagai bagian dari perlawanan terhadap Orde Baru, tradisi sok Ningrat Pejabat ala Orde Baru dilawan dengan gagasan Kartini ala Pram yang mengabaikan sembah sujud antar manusia. Bahkan Pram menggambarkan gugatan Kartini dimana ibunya yang berasal dari rakyat jelata dipaksa menyembah dirinya semasa ia kanak-kanak, Orde Baru digambarkan oleh Pram dalam narasi Kartini sebagai “Tembok Kabupaten” dan kebijakan Orde Baru yang mengekang menjadi “pingitan” yang dilawan Kartini.

Narasi Ningrat Mataraman adalah sindiran yang digunakan Pram terhadap kekuasaan Suharto yang bergaya Mataraman, -kekuasaan Raja tanpa batas- dibalut dengan bahasa-bahasa halus. Kartini digambarkan hidup dalam dunia, dunia ningrat Mataraman dengan dunia anak nelayan yang bebas. 

Kartini dalam dimensi sejarah bisa berarti apa saja ditentukan oleh pelaku yang bertengger di alam sejarah itu.....

Anton DH Nugrahanto

***