Belajar dari Dua Peristiwa Lelayu

Dalam konteks Mas Didi memang tidak kira-kira, konon setiap hari ia harus pentas. Hanya peristiwa Covid-19 sedikit memperlambatnya.

Kamis, 7 Mei 2020 | 22:57 WIB
0
315
Belajar dari Dua Peristiwa Lelayu
Ilustrasi korban covid-19 (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Saya gak tahu apakah status ini pantas dan perlu, bahkan untuk sekedar dituliskan. Karena kita selalu saja melihat sebuah kematian itu sebagai sesuatu keniscayaan. Kehendak Gusti, yang seharusnya titik. Tak perlu ada penjelasan, apalagi penelaahan. Buat apa dipelajari atau dipaham-pahamkan, bila sudah dikehendaki itulah yang terbaik yang harus terjadi. Jika ada yang kurang berkenan, maafkanlah saya.

Banyak peristiwa lelayu, di sekitar saya. Tapi tentu saya memilh dua yang paling menyentuh secara langsung dan membuat saya merasa nestapa berkepanjangan. Tokoh pertama adalah sahabat saya sendiri, tentu saya sangat mengenalnya. Walau dalam peristiwanya, jelas sangat berjarak. Dan saya pikir memang tak ada satu pun sahabat dekat yang bisa dimintai cerita secara lebih detil.

Yang kedua, seorang tokoh fenomenal, yang tak ada seorang pun yang tidak memuji kualitas karyanya, kerendah hatinya, konsistensi kerakyatannya, dan bla bala lainnya yang melulu hal-hal baik. Namun benang merah keduanya sama: meninggal dalam suasana pandemic Covid 19.

Di sinilah saya pikir, arti penting tulisan ini dibuat. Bagaimana pageblug ini bisa membunuh kita secara tidak langsung, berkait dengan kepanikan, kebingungan, kekhawatiran, kegelisahan. Segala hal yang sifatnya menyerang sisi psikologis dan otak sisi kanan kita. Apa yang hari-hari ini populer disebut amygdala. Tak lebih.

Perkenankan saya bercerita sedikit tentang sahabat saya. Dia pribadi yang sangat baik, dan dalam kurun panjang hidunya selalu beruntung. Pandai bergaul dan mengisi waktu luang. Sependek yang saya tahu, dalam kurun cukup panjang, ia dirumahkan di perusahaan tempatnya bekerja. Hal yang terkait dengan kebijakan pemerintah, yang melarang ekspor raw material yang musti diubah dulu menjadi barang setengah jadi.

Baca Juga: Sisi Lain Didi Kempot

Tiga bulan ini, adalah awal mula dia mulai (lagi) bekerja di lapangan. Ndilalah, mungkin bertepatan dengan mulanya wabah ini. Ndillah-nya lagi, ia ditempatkan di sebuah pulau besar di Maluku Utara. Di mana ia harus pergi jauh dari keluarganya dan ini bagian yang paling kurang dipahami orang: binatang-binatang piaraan klangenan kesayangannya.

Singkat cerita, selama dirumahkan ia menjadi kolektor ayam-ayam hias, yang menurut saya pasti mahal. Dia memiliki tidak saja burung merak, tapi juga ayam-ayam hias lain yang saya pikir kelas lomba. Ini saya tahu dari berbagai macam ucapan duka cita yang sebagian besar justru berasal dari komunitas ini. Di mana ia selain jadi pengurus juga juri dalam banyak lomba.

Sebagai sesama orang Jawa, di umur yang tidak muda lagi. Saya sungguh bisa ikut merasakan. Jauh dengan keluarga di rumah tentu sudah satu masalah, tapi jauh dengan binatang klangenan itu barangkali lebih menyiksa lagi. Dobel beban derita inilah, yang harus beliau tahan ketika pandemic itu terjadi. Ia sehat dan tidak terpapar. Tapi jantungnya rupanya yang tidak kuat.

Setelah beberapa kali mengalami serangan pendek (lemah saya pikir). Yang terakhirlah yang akhirnya merenggut nyawanya. Kabotan pikir menurut saya....

Kasus kedua, tentu menyangkut penyanyi pop Jawa paling populer sejagad: Didi Kempot. Sudah terlalu banyak tulisan yang menampilkannya sebagai seorang hero. Tapi tak banyak yang menuliskannya bagaimana ia harus meninggal di saat-saat terakhirnya.

Bahwa ia sangat lelah atau mudah lelah, sesungguhnya siapa pun dapat dengan mudah melihatnya. Ketika di panggung, beliau sering berkata ayo diobah ke alon-alon. Maksudnya mengajak bergoyang pelan-pelan saja. Saya pikir itu lebih pada mengingatkan diri sendiri daripada orang lain.

Dari banyak tulisan Mas Sunardian Wirodono, saya tahu sudah sejak lama beliau mudah lelah, di luar barangkali gampang stres. Bagaimana sebelum naik panggung perlu seteguk dua teguk minuman doping. Hal yang sangat lumrah melanda siapa saja yang paham dengan dunia panggung. Sahabat saya yang lain, Kang Pepih Nugraha, membandingkannya dengan Mbah Surip, dua tokoh yang juga memperoleh "second wind", angin keberuntungan, naiknya popularitas kedua kalinya.

Dalam konteks Mas Didi memang tidak kira-kira, konon setiap hari ia harus pentas. Hanya peristiwa Covid-19 sedikit memperlambatnya.

Baca Juga: Pamer Bojo Ambyar

Tapi tidak juga ternyata. Ia justru berinisiatif mengadakan penggalangan dana dengan bekerjasama dengan KompasTV. Peristiwa itu baru belakangan kita tahu itu adalah inisiatif pribadinya. Bahkan ia mau menanggung seluruh biaya produksi di rumahnya. Asal Kompas TV mau bekerjasama menanyangkannya. Dan jegler, sukses luar biasa.

Miliar dan rupiah diperoleh, dan langsung dibagikan kepada banyak organisasi sosial terutama di lingkaran NU dan Muhammadiyah. Tak kurang dari Presiden Jokowi-pun mengucapkan terimaksih atas insiatifnya itu.

Tapi peristiwa kecil, yang saya pikir pasti sangat disesali oleh keluarga maupun penggemarnya di malam itu. Barangkali sudah dianggap peristiwa biasa. Tiba-tiba penyakit asma-nya Mas Didi kumat. Sudah tersengal-sengal sejak malam. Tapi angota keluarganya sedemikian takut membawanya ke rumah sakit.

Saya bisa bayangkan penyebabnya: takut tidak bisa ditengok, khawatir tidak boleh ditemani. Khawatir ini-itu yang saya pikir khas keluarga Jawa kelas bawah. Jadi bisa dimengerti ketika akhirnya sampai di RS, ia dinyatakan sebagai cod-blue (sudah meninggal jauh waktu sebelum sampai). Sebuah bukti lain bahwa memang mereka sesederhana itu cara berpikirnya. Kekayaan dan popularitas tak bisa mengubahnya...

Sekali lagi, ini hanya dua buah pertala, contoh betapa kejinya situasi yang terjadi saat ini. Bagaimana orang sekuat atau semapan apapun tiba-tiba jadi mudah panik, bingung, nglangut dan nestapa. Saya tidak bisa bayangkan, jika pandemik ini makin lama berlangsung tanpa ujung. Mbok yao, mereka yang masih sehat itu, kita-kita ini. Mulai lah berhenti omong kosong, bertengkar yang tidak perlu.

Berempatilah, bahwa tidak setiap gosip itu berguna, sudahilah dulu banyak berteori, apalagi membuat kabar-kabar yag tidak jelas. Kita memang tidak bisa mengubah jalan kematian. Tapi kita juga tidak perlu mempecepatnya dengan cara-cara yang konyol. Keteledoran, kepanikan, kesembronoan, kengeyelan, kesombongan, keacuhan, ketidakpedulian. Apa yang kita anggap biasa, barangkali tidak bagi orang lain!

Pageblug itu harus kita akui telah banyak membunuh secara langsung maupun tidak. Mereka sudah, haruskah kita selanjutya?

***