Sisi Lain Didi Kempot

Selamat jalan Didi Kempot. Jasamu begitu besar untuk Bangsa ini. Engkau telah membuktikan, menjadi sumber kehidupan bagi jutaan orang Indonesia.

Kamis, 7 Mei 2020 | 22:07 WIB
0
547
Sisi Lain Didi Kempot
Didi Kempot (Foto: foxpop.id)

Bila Dionisius Prasetyo alias Didi Kempot kita ibaratkan sebuah perusahaan. Sebut saja namanya PT Didi Kempot.

Lalu, lagu-lagu karyanya ibarat barang yang diproduksi dan diperdagangkan. Konser-konser pribadinya, juga konser oleh begitu banyak penyanyi lain yang membawakan lagunya, ibarat jaringan distribusi barang.

Juga industri rekaman, bisnis panggung sampai ke penjual cendol-dawet dan pedagang atau pengusaha lain, yang diuntungkan secara tidak langsung dengan kehadirannya ibarat produk turunan.

Kira-kira, berapa besar kapitalisasi pasar atau nilai ekonomi keseluruhan dari seorang Didi Kempot?

Mungkin tidak akan sebesar PT Astra International Tbk, PT BCA Tbk. Dua perusahaan besar di industri otomotif dan perbankan Indonesia.

Meski tidak sangat besar kapitalisasi pasarnya, saya kira untuk menyebut angka Rp 100 miliar, itu terlalu kecil.

Mungkin bisa Rp 1 triliun, Rp 2 triliun... atau bahkan bisa juga tembus hingga Rp 10 triliun.

Dari Kaki-lima

Usaha yang dibangun Didi Kempot ini tumbuh dari bawah. Orang kecil. Bukan siapa-siapa. Bukan dari keluarga konglomerat.

Dia memulai "bisnis" dari trotoar, masuk dalam Kelompok Pengamen Trotoar (Kempot), yang kemudian menjadi nama belakang panggungnya.

Status "PT Didi Kempot" saat awal berdiri persis seperti pedagang kaki lima, yang pasti pernah merasakan diusir, juga digusur ke sana ke mari.

Tapi dia sabar, fokus dan berjuang keras menjalankan "strategi-strategi bisnisnya".

Dia tentu pernah gagal. Jatuh bangun. Diawal-awal, tidak semua lagu yang merupakan "barang dagangannya" laku keras.

Sebut saja Modal Dengkul, yang nggak populer. Atau We Cen Yu (Kowe Pancen Ayu).

Namun sang Didi Kempot, sebagai pemegang kendali penuh "perusahaannya itu" tidak gampang menyerah.

Terinspirasi dari Anto Sugiartono alias Manthous, penemu musik campur sari asal Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta, Didi Kempot melihat ada peluang pasar yang besar yang harus dia ambil.

Lalu dia mengubah strategi bisnisnya, dengan memproduksi dan mendistribusikan lagu-lagu campur sari ciptaannya dengan nada sendu. Sedih, tapi bikin semua penggemarnya menjadi orang-orang kuat.

Terbukti kalkulasinya tepat. Di luar dugaan, pasar merespon luar biasa. Konsumennya yang merupakan para penikmat lagu, terus bertambah.

Tidak saja di kalangan masyarakat Solo, dan Jawa Tengah. Tapi menjangkau seluruh daratan Jawa, bahkan hingga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, NTT dan seluruh pelosok nusantara.

Produknya juga digemari konsumen dari negara lain, hingga ke daratan Eropa.

Pertumbuhan bisnis yang go international ini makan waktu 30 - 40 tahun untuk meraihnya. Konsisten dijalaninya. Dia tidak tergoda untuk ekspansi, bahkan menjadi politisi atau pejabat Pemerintahan sekalipun.

Didi Kempot, juga bukan tipe "pengusaha" yang cengeng. Yang hobi meminta fasilitas. Dia juga tidak pernah mau diprioritaskan. Bisnisnya bukan bisnis patron, tidak terpengaruh oleh cantolan kekuasaan.

Disaat pengusaha lain berburu fasilitas dalam berbagai skema bantuan dari pengurangan pajak, relaksasi impor, jaminan pasar saat pandemi Covid -19 melanda Indonesia, Didi Kempot sebaliknya.

Dia malah menyumbang uang, Rp 9 miliar. Dari konser amal yang dia gelar di rumahnya, yang disiarkan televisi, untuk membantu penanganan Covid -19.

Bocor distribusi

Meski hebat, sebagai "pengusaha", Didi Kempot kurang mampu menjalankan roda usaha dengan baik. Banyak kebocoran yang terjadi dalam rantai "distribusi barang", distribusi lagu-lagu ciptaannya.

Nilai kebocoran itu jauh melebihi pendapatannya. Dia tahu, dan beberapa kali mengeluhkan itu, juga akun media sosialnya. Namun, dia tidak mampu.

Kebocoran distribusi lagu, dalam bentuk pelanggaran hak cipta. Begitu banyak, mungkin tidak terhitung lagi. Berapa banyak penyanyi dangdut, youtuber, tempat karaoke, restoran, hotel yang membawakan dan memutar lagunya tanpa royalti.

Soal hak cipta dan royalti, memang itu di luar kapasitas Didi Kempot. Itu ada dalam otoritas Negara. Domainnya ada pada pengelola Negara, dalam hal ini yang utama adalah Pemerintah dan DPR.

Lihat saja, subscriber akun resmi YouTube Didi Kempot, jauh dibawah akun-akun lain yang dengan leluasa meng-cover lagu-lagunya.

Juga, barangkali saja, artis dangdut tenar, Via Vallen yang kerap menyanyikan lagu-lagu Didi Kempot yang kemudian dinyanyikan dalam versi koplo, mempunya penghasilan yang baik.

Juga penyanyi lain seperti Nella Kharisma, Ratna Antika, Sodik, dan banyak lagi yang lainnya yang gemar membawakan lagu Banyu Langit, Pamer Bojo, Suket Teki, dan banyak lagi lagu lainnya.

Tidak peduli

Karena banyak terjadi kebocoran distribusi, dan tampak Negara seperti kurang peduli, Didi Kempot harus turut berjuang.

Dia naik-turun panggung dari satu tempat ke tempat lain. Mungkin pernah juga. Sehari bisa lebih dari dua kali konsernya. Terus berkeliling. Bernyanyi. Berjoget dengan sobat ambyarnya.

Baca Juga: "Happy Ending" Didi Kempot

Lelah? Sudah pasti. Tapi dia harus terus melakukan itu. Selain bentuk pertanggungjawaban seorang musisi besar, dia juga harus tetap eksis. Mengandalkan hidup dari royalti saja tidak bisa.

Ada masa ketika dia lelah. Seperti akhir-akhir ini, dia mengeluh nafasnya berat dan dadanya kadang sesak kalau beraktivitas di panggung.

Bahkan beberapa kali di panggung, dia tidak mampu menyanyikan lagu dalam nada-nada yang panjang, apalagi nada tinggi.

Nafasnya juga tampak seperti tersengal-sengal saat bernyanyi. Gerak panggungnya tidak lagi selincah dulu.

Wajahnya juga tampak lebih tua dari usianya. Tampak banyak kerutan, menghitam, tapi kelihatan pucat. Matanya juga menampakkan kelelahan.

Sampai akhirnya, "sang pengusaha" itu tumbang. Meninggal dunia.

Dalam usia yang tergolong muda. 53 tahun. Jantungnya tidak mampu lagi bekerja, memompa darah dengan baik.

Berumur Pendek

Musisi banyak yang meninggal terlalu cepat.

Ada yang meninggal pas saat berada di puncak ketenaran. Ada yang sudah lewat, yang menginjak usia matang, tapi juga dalam kondisi tidak bergelimang harta.

Baru-baru ini Didi Kempot. Sebelumnya, dalam satu bulan belakangan ada Glenn Fredly, Andy Ayunir dan Erwin Prasetyo.

Ada juga musisi dan penyanyi lain seperti Mbah Surip, Mike Mohede, Chrisye, Franky Sahilatua, Alda Risma, Deddy Dores, Benyamin Sueb dan banyak lagi yang lainnya.

Masa kejayaan musisi dan penyanyi, umumnya singkat. Memang ada beberapa aris band yang melegenda, seperti grup Slank dan Dewa 19. Ada juga Rhoma Irama dengan Sonetanya. Tapi tidak banyak.

Masa kejayaan artis yang singkat ini, dimanfaatkan dengan menggebu-gebu untuk menabung. Agar kelak di hari tua, saat mereka pudar, masih ada jaminan hidup.

Tapi dalam perjalanannya, tidak jarang banyak yang tumbang. Terus kerja keras, keliling daerah, naik-turun panggung agar bisa mengumpulkan uang.

Sebab pendapatan mereka dari royalti, tidak besar. Kalau hanya mengandalkan royalti, alat-alat musik tidak terbeli. Keluarga susah makan, dan bisa jadi hidup susah.

Tidak Adil

Nasib pencipta lagu dan penyanyi, tidak seperti ilmuwan. Bagai bumi dan langit.

Mantan Presiden BJ Habibie misalnya. Beliau di Jerman bisa hidup nyaman, dari royalti, dari berbagai paten yang dia hasilkan.

Di Indonesia, musisi dan penyanyi tidak semujur itu. Meski berbagai upaya dan perang melawan mafia pembajakan begitu kuat, tapi seperti menepuk udara.

Siapapun Pemerintahannya, dari era Orde Lama, Orde Baru, sampai Reformasi tidak banyak berubah. Bahkan sekalipun artis itu sudah masuk jadi bagian dari pemerintahan atau legislatif, tetap tidak kuasa.

Padahal, musisi sejatinya adalah pengusaha. Seperti Didi Kempot yang memproduksi ratusan lagu, dan lagunya memberi nilai tambah yang besar.

Kalau dengan pengusaha di sektor lain, Negara begitu peduli hingga memberikan begitu banyak stimulus dan paket-paket kebijakan ekonomi yang tak jarang menyedot APBN.

Mengapa kepada musisi, yang notabene mereka adalah pengusaha-pengusaha dengan "perusahaan" yang memiliki kapitalisasi pasar yang super besar, Negara begitu abai. Rasanya tidak adil.

Era Baru

Sudah waktunya, para musisi mengatur strategi baru. Menciptakan era baru. Mereka tidak lagi bekerja atas nama pribadi. Tapi perusahaan. Korporasi.

Sehingga nanti akan berkibar bendera usaha bernama PT Didi Kempot, PT Iwan Fals, PT Dewa 19, PT Slank, PT Ari Laso, PT Once Mekel, PT Padi, PT Hijau Daun, PT Ungu, PT Melly Goeslaw, PT Ebiet G AD dan ratusan, mungkin ribuan musisi lainnya.

Bergabunglah kalian dalam sebuah asosiasi, lalu angkat orang sebagai pengurus, untuk memperjuangkan kepentingan kalian.

Bukan atas nama individu. Tapi atas nama kelompok atau gabungan korporasi. Atas nama industri hiburan. Untuk menuntut keadilan terkait hak cipta.

Mungkin bisa meniru praktik di industri farmasi. Ketika sebuah obat atau kandungan suatu obat ditemukan untuk penyakit tertentu, lalu dipatenkan.

Pemilik paten punya hak tunggal untuk memproduksi dan mengedarkan, dalam jangka waktu tertentu. Untuk lagu, bisa juga. Bisa dua, tiga atau lima tahun.

Setelah itu patennya dilepas, menjadi milik publik dan siapapun boleh menggunakannya.

Mungkin dengan cara itu, nasib musisi Tanah Air bisa lebih baik ke depannya. Umur mereka bisa lebih panjang. Dan, mereka terus bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi Negara ini.

Seperti Didi Kempot, Godfather of Broken Heart-nya Indonesia.

Selamat jalan Didi Kempot. Jasamu begitu besar untuk Bangsa ini. Engkau telah membuktikan, menjadi sumber kehidupan bagi jutaan orang Indonesia.

Kendal, 6 Mei 2020

Hermas Prabowo

***