Berharap suatu waktu bahasa Indonesia pun bisa terdengar ramai di hotel-hotel berbintang di luar negeri sana. Penuturnya bukan lagi 'sawo matang kere', tapi 'sawo matang tajir'.
"Ngomong 'bule' ke orang kulit putih itu rasis," teman saya mengingatkan di suatu senja. "Sama saja kalo kamu bilang 'negro' ke orang-orang berkulit item!"
"Kalo bilang 'sawo matang' buat kita-kita, apa juga rasis?" tanya saya iseng-iseng berhadiah. Ia tercenung sejenak sebelum melapas tawanya, "Hahaha iya ya..."
Warna sering jadi penyekat, sering juga menjadi penghambat. Padahal, warna itu sifat. Ada di kamus dan karenanya netral. Tidak memihak. Tapi warna sering menjadi bencana di wilayah konflik.
Dulu orang kulit putih (bule) di Amerika memperlakukan orang kulit hitam (negro) seperti memperlakukan hewan liar. Hewan piaraan malah lebih disayang ketimbang manusia. Pun dalam memperlakukan kulit merah (Indian), sama buruknya.
Di daratan lain Eropa, bule berekspansi ke berbagai wilayah untuk menjajah. Dalihnya sih berdagang, lama-lama tergiur kekayaan alam, lalu jatuh cinta dan ujung-ujungnya menjajah. Cinta dan penjajahan jadi sepeti dua perkara dalam satu mata uang.
Sampai sekarang, orang diidentifikasi berdasarkan warna, warna kulit. Orang-orang Tiongkok dan Jepang disebut berkulit kuning. Mau tidak mau ada pengkastaan tersendiri, misal kulit putih alias bule itu kasta paling tinggi. Jadi, warna pun punya gradasi jika dilekatkan pada kulit.
Tapi di Indonesia, khususnya Bali, bule tidaklah setinggi kasta yang digembar-gemborkan. Ada istilah 'bule miskin', 'bule kere', 'bule nyeker' untuk menggambarkan pelancong asing yang memenuhi pantai Kuta dengan bekal seadanya. Tapi kalo bule yang sudah menginap di Ubud, ga ada lagi 'bule miskin', mereka 'bule tajir'.
Kemakmuran membawa mereka menikmati dunia lain yang sebelumnya tak ternikmati. Ketenangan menjadi komoditas berharga yang mereka kejar dengan harga mahal, bukan lagi kesenangan di keramaian. Mungkin mereka membeli ketenangan buat kesenangan.
Kesejahteraan Rusia, India dan Tiongkok membuat marak ekspansi mereka sebagai pelancong. Tiga bahasa ini: rusia, hindi dan mandarin sering terdengar di hotel-hotel berbintang di Tanah Air. Yang berbahasa Indonesia cuma segelintir saja, itupun para pegawai hotel.
Berharap suatu waktu bahasa Indonesia pun bisa terdengar ramai di hotel-hotel berbintang di luar negeri sana. Penuturnya bukan lagi 'sawo matang kere', tapi 'sawo matang tajir'.
Tapi kapan, ya?
#PepihNugraha
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [29] Membeli Ketenangan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews