Akhirnya kami mencari hotel sembarangan. Hotel kecil. Agak di pinggir kota. Waktu empat jam saya manfaatkan untuk ke Universitas Washington and Lee. Yang indah sekali.
Saya mampir ke restoran ini: yang heboh besar tahun lalu. Lantaran menolak juru bicara Presiden Donald Trump makan di situ. Sampai seorang presiden Amerika pun mengecam sebuah restoran.
Sabtu sore kemarin saya memang harus lewat dekat kota itu. Kota kecil Lexington, Virginia. Dalam perjalanan darat dari Nashville, London, Knoxville dan rencana terus ke timur. Sudah kira-kira sejauh Medan-Surabaya.
Saya sudah istirahat satu malam di Knoxville, Tennessee. Untuk satu urusan penting di dekat situ. Saya pikir urusannya cepat selesai. Pagi-pagi bisa berangkat ke Washington DC. Ternyata jam 11.00 baru bisa meninggalkan Knoxville. Tidak ada lagi kota besar antara Knoxville-Washington. Maksud saya: makan siangnya harus di mana?
Mau mampir kota besar seperti Charlotte nyimpang-nya agak jauh. Dan lagi saya sudah sering ke situ. Demikian juga kalau hanya untuk makan siang di Greenville.
Akhirnya saya ingat kota kecil Lexington. Kira-kira 300 km sebelum Washington DC. Dua hal yang mengingatkan saya ke kota ini. Jenderal Robert E. Lee meninggal di sini. Di tahun 1870. Yang kedua, pengusiran menteri juru bicara presiden itu.
Persoalannya: ini masih jam 15.00.
Persoalannya lagi: ada tempelan pengumuman di dinding: buka jam 17.00.
Persoalan yang lain lagi: sudah penuh, full book, tidak terima tamu lagi.
Persoalan yang terpenting: sudah lapar sekali.
Kebetulan ada wanita yang lagi bersih-bersih di teras samping. Saya perkenalkan diri dari luar pagar: saya dari Indonesia.
Lalu dibukakan pintu. Kami berbincang di teras itu. Yang juga untuk tambahan kursi makan.
"Betul-betul sudah penuh," katanya.
"Saya bisa duduk di tangga itu. Tidak masalah," kata saya. Sambil menunjuk undak-undakan beton. (kata 'undak-undakan tidak tepat kalau diterjemahkan dengan tangga).
"Hahaha... Tidak bisa," katanya tertawa ngakak.
"Saya jauh-jauh dari Indonesia sengaja hanya ingin ke sini," kata saya. Sedikit berlebihan. Biasa. Bekas wartawan.
Dia tampak serius. Mengucapkan terima kasih dengan tulus. Lalu berkata: kalau jam 20.30 mau?
"Mau!“ jawab saya.
Persoalannya: perut saya yang tidak mau.
Maka kami memutuskan cari makanan kecil dulu. Sambil keliling kota. Ada waktu 4 jam lebih.
Ketemu Chinese food. Saya sengaja menghindari masakan Amerika. Terlalu berat. Dan lagi jam 20.30 nanti sajiannya masakan Amerika banget.
Yang juga harus saya putuskan segera: berarti harus bermalam di Lexington. Harus cari hotel.
Kota ini kecil. Penduduknya hanya 7.500 orang. Sulit cari hotel.
Tiba-tiba saya memergoki bangunan tua. Ada tulisan kecil 'hotel'. Bunyi tulisan itu yang menggoda saya: Robert E. Lee Hotel.
Saya masuk ke beberapa situs pemesanan hotel. Tidak ada yang menawarkan hotel itu. Saya pun langsung masuk lobinya. Saya tahu ini: petugas lobi pasti akan minta saya menempuh jalur online. Tapi kan tidak ketemu.
Akhirnya saya tahu: tidak ada di situs karena sudah tidak ada kamar.
Saya juga tahu: hotel ini dibangun tahun 1926. Oleh investor pengagum Jenderal Robert Lee. Yang jasanya besar dalam perang sebelumnya: melawan Meksiko.
Akhirnya kami mencari hotel sembarangan. Hotel kecil. Agak di pinggir kota. Waktu empat jam saya manfaatkan untuk ke Universitas Washington and Lee. Yang indah sekali.
Lalu habis. Tidak ada lagi yang menarik untuk dilihat. Memang ada akademi militer terkenal di sini tapi saya ragu apakah boleh masuk ke sana.
Jam 19.30 saya sudah tiba kembali di The Red Hen. Yang ada hiasan ayam merah digantung di depan pintunya. Yang ada bangku di trotoar kecilnya. Saya akan menunggu di bangku itu saja.
Nasib baik: seseorang menyapa saya. "Itu rumah saya," katanya. Sambil menunjuk bangunan dua lantai di sebelah restoran. Yang hanya dibatasi jalan.
Ia kenal baik pemilik restoran. Anaknya pun bekerja di restoran itu.
"Menantu saya juga bekerja di Asia. Di Bangkok. Saya sudah beberapa kali ke sana," ujarnya merespon asal usul saya.
Ia pun menawarkan jasa: membantu menghubungi pemilik restoran. Untuk bisa mendapatkan prioritas kursi.
"Tidak," jawab saya. "Saya tadi sudah setuju jadwal jam 20.30," kata saya lagi.
Ia seorang arsitek. Umurnya 71 tahun. Ia lewat depan saya untuk meletakkan pot bunga kecil. Ditaruh di pinggir trotoar.
"Saya sudah tidak pakai lagi. Siapa tahu ada orang yang mau ambil," katanya.
Kami pun menjadi akrab. Lalu ia menawarkan diri menjadi pemandu wisata dadakan. Jalan kaki di sekitar restoran itu. Ada bangunan bekas penjara. Yang sekaligus bekas gedung pengadilan.
Dari situ ia menunjuk lantai atas rumahnya.
"Anda tahu kenapa jendela-jendela rumah saya itu begitu besar?", tanyanya.
Saya menggeleng heran.
"Zaman dulu pun orang ingin menghindari pajak," katanya.
"Apa hubungannya?"
“Dulu besarnya pajak dihitung dari banyaknya jendela," katanya.
"Dengan membuat jendela besar yang tidak bisa dibuka seperti itu maka tidak perlu membayar pajak," tambahnya.
Saya pun memperhatikan jendela itu. Sebesar pintu. Terbuat dari kaca. Tidak ada daun jendelanya.
Pasti pemilik rumah itu dulu berdebat dengan petugas pajak: apakah definisi jendela.
"Sudah jam 20.30," ujar saya memotong kisahnya.
Saya pun menawarinya ikut makan. Ia menolak.
Saya ngotot.
Ia tetap menolak.
***
Dahlan Iskan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews