Buku ini masih menjadi yang terbaik dalam temanya, dan layak dibaca oleh generasi sekarang untuk mengingatkan bahwa sejarah Islam, terutama dalam bidang keilmuan.
Harus diakui, kehadiran perempuan dalam sejarah produksi pengetahuan Islam, terutama pada masa klasik dan pasca-klasik, kurang begitu terlihat. Teks-teks "kanon" yang menjadi pusat perhatian dalam kajian Islam, hampir semua, jika tidak seluruhnya, dianggit oleh para ulama laki-laki.
Dari sekian puluh kitab "mu'tabar" yang menjadi bahan ajar di pesantren di nusantara selama ini, tak satupun, setahu saya, ditulis oleh ulama perempuan.
Apakah perempuan memiliki "jejak" dalam sejarah produksi pengetahuan Islam? Jawabannya jelas: ya. Perempuan memiliki jejak yang cukup panjang, baik secara intelektual maupun spiritual, dalam kelahiran tradisi ilmiah dan rohaniah di dalam Islam.
Salah satu sosok yang patut kita sebut adalah Hafsah Binti Sirin (wafat kira-kira tahun 101 H), saudari kandung Muhammad ibn Sirin (w. 110 H), seorang tabi'in terkenal yang hadis-hadisnya banyak kita jumpai di Shahih Bukhari dan Muslim.
Saya menduga, para santri dan mahasiswa yang menekuni kajian Islam hanya mengenal nama Muhammad ibn Sirin. Sosok terakhir ini dikenal, antara lain, sebagai ulama yang paling pertama mengenalkan tradisi "ta'bir al-ru'ya" (menafsir mimpi). Tampaknya jarang yang tahu, Ibn Sirin memiliki saudari perempuan yang amat 'alim dan dihormati. Ia bernama Hafsah binti Sirin.
Dalam "Siyar A'lam al-Nubala'", al-Dzahabi (w. 1348) menggambarkan adiknya Ibn Sirin ini sebagai "al-faqihah al-Anshariyyah", seorang 'alim atau ahli fiqh yang berasal dari suku Ansar. Ia, bersama saudaranya Muhammad ibn Sirin, tinggal di kota Basrah, di kawasan Irak. Ayah mereka, yaitu Sirin, berasal dari sebuah tempat yang berdekatan dengan kota Kufah di bagian selatan Irak bernama 'Ain al-Tamr.
Pada tahun 12 H, Umar ibn al-Khattab, khalifah kedua, mengirim pasukan untuk menaklukkan kawasan Irak. Ekspedisi militer itu dipimpim seorang jenderal masyhur, Khalid ibn al-Walid. Misi ini sukses besar. Seluruh kawasan Irak yang saat itu berada di bawah kekaisaran Persia (Dinasti Sasan), berhasil ditaklukkan dan menjadi bagian dari wilayah negara Islam yang baru mekar bersemi dan berpusat di Madinah. Salah satu kawasan taklukan itu adalah 'Ain al-Tamr, kota kelahiran Sirin, ayah dari sosok yang kita bicarakan sekarang.
Dari kota itu, Khalid ibn Walid menawan sekitar empat puluh, termasik Sirin. Mereka dibawa ke Madinah, "the seat of Islamic caliphate", dan tentu saja, sesuai tradisi pada zaman itu, dijadikan sebagai budak. Oleh Umar, sang khalifah, Sirin diberikan kepada seorang sahabat besar bernama Anas ibn Malik. Anas, sebagaimana kita tahu, adalah sahabat yang dikenal sebagai pelayan atau "khadim" Nabi Muhammad saw.
Walau seorang budak, Sirin adalah pedagang yang sukses dan kaya. Ia kemudian dimerdekakan oleh Anas ibn Malik dengan kontrak "mukatabah", kontrak di mana seorang budak membeli kemerdekaannya dengan tebusan tertentu.
Kontrak "mukatabah" adalah praktek umum pada zaman itu, sebagai jalan seorang budak menjadi manusia merdeka. Setelah merdeka, Sirin dinikahkan oleh Anas, mantan "maula" atau majikannya itu, dengan Shafiyyah, seorang perempuan mantan budak yang dulu dimerdekakan oleh Abu Bakar, khalifah pertama.
Selain pedagang sukses dan kaya, Sirin rupaya seorang pecinta ilmu pula. Dari isterinya Shafiyyah, lahir lima anak (dua laki-laki dan tiga perempuan) yang kemudian muncul sebagai sosok-sosok 'alim yang memberikan kontribusi penting dalam sejarah pengetahuan di masa awal Islam.
Dari kelima anak-anaknya itu, memang hanya satu yang namanya "cemlorot": Muhammad ibn Sirin. Sementara, Hasfah binti Sirin, saudari kandungnya, kurang menikmati popularitas sebesar Ibn Sirin. Padahal ia seorang 'alimah dan "faqihah".
Hafsah memiliki dua guru penting, satu laki-laki, yang lainnya perempuan. Keduanya adalah sahabat Nabi. Pertama, Anas ibn Malik, majikan yang dulu memerdekakan ayahnya. Kedua, Ummu' Athiyyah al-Anshariyyah seorang sahabat besar yang bisa kita sebut sebagai "perawat pertama" dalam sejarah Islam. Ummu 'Athiyyah ikut serta dalam tujuh perang pada zaman Nabi, dan bertugas sebagai perawat yang mengurus para pasukan yang terluka.
Sekedar selingan kecil mengenai Ummu' Athiyyah. Ia, oleh al-Dzahabi, disebut sebagai "min fuqaha' al-shahabah", salah satu dari sahabat Nabi yang ahli dalam ilmu agama. Banyak hadis yang melaporkan bahwa dialah yang memandikan Zainab, puteri Nabi, saat yang terakhir ini wafat.
Ummu 'Athiyyah memandikan Zainab dengan dipandu langsung oleh Nabi. Ummu' Athiyyah-lah yang dikenal dengan sebuah riwayat/hadis yang malarang perempuan mengiringkan jenazah (نهينا عن اتباع الجنائز). Oleh banyak ulama, larangan ini dimaksudkan bukan sebagai "keharaman", melainkan kemakruhan saja. Artinya, bukan larangan harga-mati ('azimah).
Kembali ke sosok Hafsah: dalam sejarah pengumpulan hadis, Hafsah binti Sirin memiliki peran yang tak bisa diabaikan. Ia meriwayatkan sekitar tujuh belas hadis. Tentu ini bukanlah jumlah yang besar jika dibandingkan dengan, misalnya, hadis-hadis riwayat A'isyah, isteri Nabi, yang mencapai (dalam estimasi Imam al-Dzahabi dalam "Siyar A'lam al-Nubala'") seribu dua ratus sepuluh hadis. Walau jumlah hadis yang ia riwayatkan tidak besar, sosok Hafsah tetap dikenang dalam sejarah Islam sebagai seorang 'alim dan sufi yang penting.
Salah satu hadis riwayat Hafsah kita jumpai dalam Shahih Bukhari, yaitu hadis no. 937. Hadis ini ia riwayatkan melalui jalur Ummu 'Athiyyah, dan menggambarkan betapa sederhananya gaya hidup komunitas Islam pada masa awal. Di sana dikisahkan, seorang perempuan yang, mungkin karena kemiskinannya, tidak memiliki "jilbab" (jilbab di sini adalah semacam pakaian yang menutup tubuh bagian atas atau kerudung) untuk keluar ke tempat ramai, guna merayakan hari raya.
Ummu 'Athiyyah meminta izin kepada Nabi agar perempuan itu diizinkan tinggal di rumah saja, tidak ikut serta dalam perayaan. Nabi berkata: Hendaknya salah satu dari kalian meminjamkan kerudung kepada perempuan itu.
Kealiman Hafsah sangat dikenal pada zamannya. Setiap ditanya oleh murid-muridnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Qur'an dan tak mampu menjawab, Ibn Sirin, seorang tabi'in yang amat 'alim itu, selalu menyarankan agar "sowan" kepada saudarinya itu. Pada suatu kesempatan, Hafsah pernah terlibat dalam perdebatan dengan seorang "kiai" besar pada zamannya, Muwarriq ibn al-Musyamraj al-'Ijli. Muwarriq adalah seorang perawi hadis yang tinggal di Basrah. Dugaan saya, perdebatan ini mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hadis dan periwayatannya.
Bahwa seorang 'alim perempuan seperti Hafsah terlibat dalam perdebatan ilmiah dengan seorang ulama laki-laki seperti Muwarriq pada abad pertama Hijriyah, ini menandakan bahwa sebetulnya "intellectual sphere" atau ruang ilmiah pada masa awal Islam (sering disebut dengan "periode formatif") tidaklah "rigid" dan tertutup, sebagaimana dikesankan selama ini. Ruang itu cukup terbuka pada semua pihak, baik laki-laki atau perempuan.
Pada masa awal Islam ini, saya duga, pengaruh sosok besar seperti A'isyah (isteri Kanjeng Nabi) masihlah amat kuat. Seperti kita tahu, A'isyah bukan saja sosok yang secara keilmuan sangat menonjol, tetapi secara sosial-politik juga terlibat aktif dalam "public affairs", peristiwa-peristiwa besar pada zamannya. Ia bahkan memimpin sebuah pemberontakan politik melawan Ali, khalifah keempat -- sebuah "move politik" yang meninggalkan "luka sejarah" yang panjang. Ia mengingatkan saya pada sosok Cut Nyak Dien di Aceh.
A'isyah adalah figur yang amat "powerful," dan pengaruhnya dalam "imajinasi" Muslim awal jelas sangat besar. Ketokohan orang-orang seperti A'isyah ini, tentu saja, memberi "sense of confidence", rasa percaya diri yang besar pada perempuan-perempuan generasi awal.
Jika terhadap ini kita tambahkan kehadiran sosok-sosok perempuan lain yang juga besar pengaruhnya, seperti Ummu 'Athiyyah, guru dari Hafsah binti Sirin, akan makin terang betapa kaum perempuan di era awal Islam bukanlah "docile bodies", subyek lemah yang hanya tunduk pada otoritas laki-laki saja.
Amat disayangkan bahwa perkembangan peradaban Islam pada periode berikutnya, pada masa yang dikenal sebagai "periode klasik" dan pasca-klasik, menyaksikan pemandangan lain: merosotnya peran para "bunyai" ini.Lanskap intelektual Islam pada abad-abad belakangan makin ditandai dengan, jika memakai istilah sekarang, "all-male-panelists", pembicara yang laki-laki semua. Merosotnya peran perempuan dalam perkembangan belakangan ini jelas kontras dengan masa-masa awal Islam yang menyaksikan sosok-sosok perempuan yang lebih "assertive".
Fatima Mernisssi (1940-2015), seorang sosiolog perempuan dari Maroko, mencoba mengungkap kembali peran kaum perempuan yang gemilang di awal Islam ini, melalui bukunya yang sudah lama terbit: "The Forgotten Queens of Islam" (1993). Buku ini masih menjadi yang terbaik dalam temanya, dan layak dibaca oleh generasi sekarang untuk mengingatkan bahwa sejarah Islam, terutama dalam bidang keilmuan, bukanlah sejarah laki-laki semata.
Di sana, para ilmuwan dan sufi perempuan meninggalkan jejak yang dalam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews