Indonesiaku [2] Sukuisme Mengemuka, Nasionalisme Turut Merana

Ada persoalan kebangsaan dan nasionalisme yang tergerus dari penerapan Otda ini, di mana warga negara dibenturkan dengan istilah “putra daerah” dan “pendatang”.

Kamis, 9 Mei 2019 | 22:16 WIB
1
602
Indonesiaku [2] Sukuisme Mengemuka, Nasionalisme Turut Merana
Ilustrasi PNS (Foto: Jatim Times)

Bukan bermaksud mengagung-agungkan sistem pemerintahan orde baru yang sentralistis itu lebih baik. Tidak juga ingin mengatakan bahwa sentralistis lebih oke daripada otonom. Tetapi, saya sekedar mamaparkan berbagai persoalan dari ekses buruk penerapan otonomi daerah. Untuk gampangnya, sebut saja Otda.

Pengaruh baiknya tentu saja ada dan bahkan banyak, tetapi ekses buruk ini harus menjadi perhatian kita bersama sebagai warga, khususnya para pemangku negara karena bersinggungan langsung dengan persoalan nasionalisme dan kebangsaan, meski dalam skala kecil dan mungkin tidak penting.

Kembali ke masa lalu, sewaktu bertugas di Makassar sebagai Kepala Biro Harian Kompas untuk Indonesia Timur tahun 2003, ada persoalan serius di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan itu, yaitu Kabupaten Bulukumba. Ini persoalan yang sebelumnya tidak pernah mengemuka, yakni mengenai proses penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) yang dianggap tidak transparan.

Tahu sendirilah, menjadi PNS pada sebagian besar masyarakat Indonesia adalah cita-cita dan bahkan harapan. Ada banyak faktor mengapa menjadi PNS demikian diminati meskipun gajinya, maaf relatif kecil, jika disbanding dengan gaji pegawai BUMN atau swasta nasional. Faktor mendapat pensiun, adanya jaminan hari tua, jam kerja yang lentur dan bisa diatur, serta bisa nyambi kerja lain, hanyalah beberapa pertimbangan mengapa seseorang ingin menjadi PNS.

Baca Juga: Takut Terjerat Hukum, ASN/PNS Ramai-ramai Lakukan "Taqiyah"

Di Bulukumba, empat jam waktu tempuh dari Makassar, sekan-akan menjadi cermin pertama ekses buruk dari penerapan otonomi daerah, meski hal itu sudah terjadi 10 tahun lalu. Waktu itu DPRD dan bupati mendapat protes warga yang datang bergelombang siliberganti. Alasannya serius: terjadi kolusi, korupsi dan nepotisme dalam proses penerimaan PNS.

Warga yang cermat mengamati, dari sekitar seratusan jatah PNS untuk kabupaten itu, tidak ada seorang pun warga biasa yang tersaring menjadi PNS. Mereka yang menjadi PNS adalah anak-anak dan kerabat bupati, anak dan kerabat para pejabat tinggi di kabupaten itu, dan ini…. anak dan kerabat anggota DPRD!

Sekali lagi, saya tidak mengagung-agungkan sistem pemerintahan Orba di bawah kendali Soeharto itu lebih baik. Setidak-tidaknya pada zaman Soeharto, ketika penerimaan PNS masih terpusat di Jakarta dan tidak diserahkan ke masing-masing kabupaten dan kota, tidak pernah muncul protes dugaan KKN dalam penerimaan PNS ini.

Dulu digunakan merit system di mana hanya mereka yang bisa lolos seleksi saja yang bisa menjadi PNS, tidak peduli dari daerah atau kabupaten dan kota mana dia berasal. Tidak perlu tahu sukunya apa, agamanya apa, kecenderungan partai politiknya ke mana. Tidak perlu. Semua dilakukan secara transparan dan penuh semangat berkompetesi. Itu zaman Soeharto.

Tidak bisa dipungkiri. Ada juga KKN dalam penerimaan PNS di masa Orba. Ada istilah titip-titipan dan jalan belakang. Tapi itu dilakukan dengan cara tidak merusak proporsionalitas. Bagian terbesar tetap jatah untuk publik.

Dengan fenomena yang muncul di Bulukumba, lebih tepatnya “anomali”, nyatalah bahwa yang cawe-cawe dan minta jatah PNS itu ternyata anggota Dewan!

Jelaslah, tidak mungkin jatah itu hanya diberikan pada satu anggota Dewan. Semua ya harus dapat jatah, begitu bukan? Jadi kalau kabupaten/kota terisi 45 anggota Dewan dan di provinsi 100 anggota (belum lagi di pusat yang 550), bisa kita bayangkan jatah PNS itu jatuh pada kerabat dekat anggota Dewan.

Jika dulu yang melakukan KKN itu Eksekutif, sekarang ditambah dengan Legislatif. Anda mungkin bertanya, apakah para pejabat yudikatif di kehakiman dan kejaksaan tidak minta jatah pula? Saya tidak bisa menjawab. Yang jelas, kasus penerimaan PNS di Bulukumba beberapa tahun lalu itu menjadi contoh kasus yang amat terang benderang dari ekses buruk berpindahnya kekuasaan dari pusat ke tangan daerah.

Apa yang terjadi dalam penerimaan PNS di beberapa kabupaten sekarang? Lebih memilukan lagi, ternyata para pentolan parpol setempat juga cawe-cawe, minimal jadi calo PNS. Motifnya sederhana. Kepada seseorang yang jelas-jelas dinyatakan lolos penerimaan PNS, didekati dan diminta menyerahkan uang Rp50 juta atau bahkan lebih dari itu, Rp100 juta sampai Rp200 juta. Ini kejadian di kabupaten saya sendiri, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, yang kebetulan menimpa kenalan saya.

Mengapa harus menyerahkan uang? Bukankah sudah ada pengumumannya di koran sudah diterima? Jawabannya: “Tidak akan ada pengangkatan kalau Rp50 juta belum turun!” Siapa yang meminta uang itu? Tidak lain dari calo dari kalangan partai politik, broker politik di lingkungan kabupaten dan DPRD. Menyesakkan sampai-sampai harus mengurut dada.

Baca Juga: Lebih Sejuta PNS Tak Melalui Seleksi!

Belum lama saya berbincang-bincang dengan seseorang yang bergerak di bidang charity dan bersedia membocorkan kebijakan intern yang diterapkan oleh satu kabupaten (tidak usah saya sebut nama kabupaten itu, tetapi mungkin terjadi di banyak kabupaten lainnya ) dalam penerimaan PNS. Kebijakan intern itu menekankan: semua PNS harus “putra daerah” kabupaten itu!

Alamak… boleh jadi Ibu Pertiwi meringis menyaksikan kebijakan ngawur ini.

Kalau Anda ingin menjadi PNS yang kebetulan domisili di kabupaten tetangga atau kabupaten yang jauh dari kabupaten yang sedang memproses penerimaan, jangan harap bisa menjadi PNS di kabupaten itu. Parahnya, kebijakan intern itu merembet ke soal-soal lainnya, yakni para teknokrat di level kabupaten juga harus putra daerah. Masya Allah, ini membuat Ibu Pertiwi benar-benar menangis.

Bagi saya, dalam skala kecil PNS itu “simbol” negara yang seharusnya dikelola oleh pusat, jangan menjadi “bancakan” para pejabat dan legislator daerah. Eksesnya terlalu banyak dan sudah sampai taraf memuakkan.

Iya kalau yang menjadi PNS itu  putra daerah yang berkualitas. Kalau dipaksakan dan hanya terisi oleh orang-orang kurang cakap tetapi bernasib baik karena dekat dengan para pemangku kebijakan, apa yang bisa diharap dari SDM daerah macam itu di masa mendatang?

Akhirnya saya mengambil  kesimpulan tergesa-gesa saja; ada persoalan kebangsaan dan nasionalisme yang tergerus dari penerapan Otda ini, di mana warga negara dibenturkan dengan istilah “putra daerah” dan “pendatang”. Di mana pikir dan tindak kebangsaan kalau semua pejabat daerah mendikotomikan “putra daerah” dan “bukan putra daerah” seperti itu?

Sekali lagi, saya hanya bisa mengurut dada meski tidak punya penyakit bengek.

*** 

Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [1] Mulailah dengan Bertanya pada Diri Sendiri