Wiranto Itu Berkah atau Masalah

Bukan barang lawasan, yang semakin lamban, gampang salah berhitung, dan tidak efektif lagi. Ia butuh figur baru yang tak kenal ampun, tak ada negosiasi, tak ada impulsi, tak menyisakan residu.

Kamis, 10 Oktober 2019 | 20:48 WIB
0
480
Wiranto Itu Berkah atau Masalah
Wiranto (Foto: Suara.com)

Jahat ya judulnya kayak begini!

Saya mengakui, menuliskannya saja saya malah merasa tak lebih seperti buzzer. Tapi memahami permasalahan selama seminggu ini, atau tarik lebih ke belakang lagi sebulan terakhir tentulah tidak mudah.

Beberapa waktu yang lalu, saat di Jogja ada gerakan yang menurut saya bablas tanpa bekas #GejayanMemanggil. Seorang teman aktivis, tiba-tiba memunculkan ejekan yang menurut saya (waktu itu) tak ada hubungan dengan peristiwa itu. Maaf ya mas, aku gak enak harus tak menyebut namamu. Kalau baca statusku, ya maafkeun. Beliau bilang: Apa persamaan Soeharto dan Jokowi: Dijawab sendiri: Sama-sama percaya Wiranto!

Saya memahami kalau memakai kacamata penelitian atau framing menurut gaya media hari ini: fungsinya sama anjing penjaga. Spekulasi yang boleh juga, walau konteksnya tentu sangat menyedihkan. Wiranto sendiri, sekalipun ia dengan partainya yang ogah membesar itu, Hanura, adalah pendukung Jokowi sejak Pilpres 2014. Sesungguhnya, ia baru di tengah jalan diangkat Jokowi sebagai Menkopolhukam menggantikan Tedjo Edhy Purdijatno, setelah beberapa saat dijabat oleh Luhut Binsar Panjaitan.

Kenapa Tedjo diganti? Konon ia dianggap bukanlah representasi Partai Nasdem yang menjad platform politknya. Ia bukan orang yang sungguh-sungguh diusulkan, dia hanya dianggap lebih bersih di mata KPK. Cilakanya, ndilalahnya. Karena komentar miring dirinya pulalah terhadap KPK, akhirnya dicopot. Komentarnya yang legendaris: KPK itu didukung "rakyat yang enggak jelas".

Di akhir masa jabatan Jokowi periode pertama, kok statemen "ngawur"-nya itu justru terbukti! Emang enggak jelas kok...

Oh ya, lalu bagaimana kita membaca peristiwa "kriminal" yang menimpa Wiranto?

Sahabat penulis saya, Kajitow Elkayeni menganggap ini sebagai sikap putus asa kaum kelompok radikal. Radikal kok putus asa (hehehe... rasah nesu).

Seminggu atau lebih yang lalu, Ninoy Karundeng diculik, disekap oleh kelompok FPI di sebuah Masjid di Pejompongan. Sebuah tragedi kemanusiaan di satu sisi, tapi mungkin juga sejenis "penghargaan" dalam bentuk yang lain sesungguhnya. Penghargaan bahwa karya tulis itu juga bisa menyengat parah, menusuk ke jantung organisasi brutal seperti FPI! Karya pena bisa jadi jauh lebih tajam dari pedang, apalagi kalau sesungguhnya yang dituliskannya mengandung kebenaran.

Terakhir saya baca tulisan Ninoy, ia mengungkapkan bahwa apa yang terjadi belakangan ini sesungguhnya adalah preseden baik. Bahwa Jokowi berhasil mengobrak-abrik semak-semak ilalang, di mana ular-ular beludak pada keluar satu persatu menunjukkan batang hidungnya. Sebuah peta baru siapa kawan, siapa lawan!

Lalu apa pentingnya, kenapa mesti Ninoy?

Beberapa hari yang lalu, Kang Pepih Nugraha yang pernah menjadi bidan, sekaligus ibu asuh dan kakak pembina dari Kompasiana bercerita di sebuah blog-TV. Bahwa Kompasiana pernah akan diberedel, diberangus oleh pemiliknya sendiri. Gara-gara sebuah puisi Ninoy Karundeng. Sebuah cerita yang lucu, bagaimana tidak mudahnya menegakkan sebuah media jurnalisme warga. Dimana setiap figur diberi sebuah ruang bicara tanpa batas, yang jauh lebih lincah dari wartawan sesungguhnya. Nasib NInoy memang lain, suka bikin "wabah penyakit" dia. Kowe ya rasah nesu loh....

Kita tahu betul, "pendiri" FPI sesungguhnya adalah Wiranto! Ia bercikal bakal dari Pasukan Pamswakarsa, yang dibentuk dari warga yang tinggal di sekitar Slipi, Tanah Abang, Pejompongan, suatu kawasan beradius 5-10 km dari Senayan.

Pendirian Pam-Swakarsa sendiri menimbulkan "kontroversi memalukan" yang baru belakangan terungkap. Konon walau dapat uang dari Habibie, tapi Wiranto pernah menyuruh Kivlan Zen untuk mencari tambahannya. Duit yang menurut Kivlan tak pernah dikembalikan itu, hingga kita tahu jadi sengkarut perdata di pengadilan.

Hal ini, sekali lagi menunjukkan bahwa "keamanan negara" sudah lama jadi bisnis, atau sederhanakan barang dagangan semata.

Saya yakin, Timor Timur kalau saat itu tidak dijadikan "lahan bisnis keamanan", mungkin cerita sejarahnya akan lain. Demikian pua kasus Wamena, Papua, Aceh, Poso, Ambon, nayris semua konflik horizontal adalah bisnis keamanan semata. Semua-mua di dalamnya di luar konteks tragedi kemanusiaan-nya, di mata saya tak lebih bisnis security yang tarik menarik, tarik ulur. Tak heran, bila capres yang gagal itu, bersedia turun derajat asal dijadikan calon Menhamkam.

Dalam konteks inilah, kita semestinya memahami peran Wiranto, yang menurut sohib Joga saya ini, Jokowi memiliki kesepamahaman paham dengan Suharto. Wiranto adalah "the greatest bodyguard" di Indonesia. Hal inilah yang sedang coba dibongkar, diragukan, direndahkan, di-downgrade-kan....

Cobalah pikir, kenapa bisa seseorang sekelas Menkopolhukam diserang oleh pasangan suami istri yang kalau dalam jaringan terorisme pasti kelasnya paling bawah. Sehingga, kalau pun ia ditangkap, diinterogasi saya yakin cuma plonga-plongo. Kan pertanyaannya selanjutnya dimana peran intelejen, dimana pengawalan sekelas Menko. Kenapa sedemikian abai, ketika ia sudah berkali-kali dinyatakan sebagai target pembunuhan.

Apakah tujuannya membunuh? Pasti tidak! OK lah pisau kunai, yang katanya suka dipakai para Ninja. Tapi itu hanya maksimal mencederai, tak kan sampai menjadi alat membunuh di tangan teroris amatiran. Pasti tujuannya utamanya mencari sensasi! Lalu cara membacanya bagaimana? Lihatlah pesan yang ingin disampaikan pada Jokowi! Apa itu?

Jokowi butuh "bodyguard baru" yang bisa jauh lebih keras!

Bukan barang lawasan, yang semakin lamban, gampang salah berhitung, dan tidak efektif lagi. Ia butuh figur baru yang tak kenal ampun, tak ada negosiasi, tak ada impulsi, tak menyisakan residu. Semua harus cepat dan senyap. Nah kan, cepet ketemu bacaannya. Kemana arahnya!

Radikalisme itu nyata adanya, nyata bahwa itu barang dagangan yang tak pernah basi di hari ini. Ketika seseorang berhenti menjadi pembelinya. Ia akan berubah menjadi penjualnya. Di saat semua orang, entah itu yang menang atau yang kalah, yang petahana atau oposisi, semua sedang berupaya keras merajuk pada Jokowi.

Hukum paling konyol di abad modern politik Indonesia: Semua Jokowi pada akhirnya. Di luar itu itu adalah babak-babak sandiwaranya. Sesederhana itu...

***

Gak usah lebay, semua bisa jadi berkah, tapi di lain waktu juga masalah. Pun Wiranto!