Catatan Biasa Orang Biasa [9] Gelegar Bedil Karbit, Beduk Raib

Kabar hilangnya beduk tersebar, di antara lantunan suara takbir esoknya. Kami bertiga menjadi "tersangka". Rasanya mata orang sekampung tertuju pada kami.

Kamis, 8 Oktober 2020 | 07:09 WIB
0
263
Catatan Biasa Orang Biasa [9] Gelegar Bedil Karbit, Beduk Raib
Bedil lodong (Foto: bandung.co.id)

Satu atau dua hari menjelang puasa, dikenal sebagai "munggahan". Dalam bahasa Sunda munggah berarti naik. Dalam konteks ini munggah bisa dimaknai sebagai saat-saat untuk naik ke bulan Ramadan. Kata munggah juga sering dipakai untuk ibadah haji, dengan istilah munggah haji yang berarti naik haji.

Jika munggahan tiba, saya dan teman sebaya berangkat ke Sungai Citanduy yang berada sekitar 1 kilometer ke sebelah utara kampung kami. Bergabung dengan yang lain, menceburkan diri ke kali itu bertelanjang dada. Citanduy adalah sungai yang menjadi batas antara Tasikmalaya dan Ciamis.

Kebiasaan mandi di sungai seperti itu disebut “kuramas” (keramas). Sebagai simbol membersihkan diri dari segala kotoran, untuk menyongsong bulan suci Ramahan. Ratusan orang yang berada di tempat itu, membuka bekalnya masing-masing usai kuramas. Nikmat rasanya menyantap makanan setelah berbasah-basah di sungai.

Tidak jarang, terjadi keributan di sungai itu. Para pemuda kami saling ejek dengan pemuda di seberang sungai. Perang kata-kata menyulut emosi mereka, yang disusul saling melempar batu. Suasana begitu menegangkan. Di kedua belah pihak terdapat yang luka-luka, kepalanya diterjang batu. Menjelang sore, “konflik di daerah perbatasan” itu baru berhenti.

Selain kuramas, kami juga membersihkan kompleks pemakaman keluarga di Gunung Sumalintang. Warga ramai-ramai nyekar di tempat itu, mendoakan mereka yang sudah wafat. Saat Lebaran, tempat ini juga dikunjungi kerabat almarhum. Tradisi lainnya adalah mengantarkan makanan kepada kerabat, yang disebut "mawakeun".

Pada masa belajar berpuasa, Bapa sering membawa saya jalan-jalan ke Stasiun Kereta Api Tasikmalaya di Lengkong. Melihat kereta api hingga sore hari, supaya lupa rasa lapar dan tidak merajuk ingin batal. Melihat rangkaian kereta api dengan lokomotif hitam yang berasap, memang hiburan yang menyenangkan.

Setelah terbiasa puasa di usia SD, menunggu magrib alias ngabuburit menjadi acara mengasyikan. Kami biasanya berkumpul di jalanan, pinggir sawah atau berkerumun di gardu ronda. Ada yang bermain dam-daman (sejenis catur tradisional dengan bidak dari batu-batu kecil) atau bedil lodong (bedil karbit).

Bedil lodong adalah meriam tradisional, biasanya terbuat dari bambu dengan panjang kira-kira 1 meter atau 1,5 meter. Pada salah satu ujungnya, di bagian atas, dibuat lubang kecil untuk menyulutkan api. Moncong bedil ditaruh agak ke atas. Sedikit air dan sepotong karbit dimasukkan ke dalam bambu. Setelah lebur, api di diarahkan ke lubang kecil itu. Maka, “duaaarrr…..”

Di antara suara bedil lodong yang saling bersahutan, ada suara yang sangat kami tunggu setiap hari, yaitu gelegar bedil lodong milik Haji Suhada, di Kampung Bojongnangka. Ukurannya lebih besar dari biasanya, terbuat dari pohon pinang (jambe) yang bagian dalamnya sudah dibobok (dilubangi). Panjangnya juga lebih dari 2 meter dengan diameter sekitar 40 cm.

Bedil lodong itu dibunyikan setiap memasuki waktu imsak dan saat berbuka tiba. Bisa dibayangkan berapa banyak karbit yang dimasukkan untuk sekali sulut. Maka wajar saja kalau bunyinya jauh lebih hebat ketimbang bedil lodong dari bambu yang ukurannya kecil. Bersamaan dengan itu, menjerit sirene yang berasal dari Lanud Cibeureum.

Ngadu bedug

Hampir semua masjid di kampung dilengkapi beduk. Penanda datangnya waktu saalat itu biasanya terbuat dari batang kayu yang besar atau drum. Salah satu tepinya dipasangi kulit sapi atau kerbau. Sebelum azan berkumandang, beduk dipukul bertalu-talu. Suaranya dikombinasikan dengan pukulan kentongan (kohkol) yang terbuat dari kayu.

Pada bulan Ramadan, penggunaan beduk lebih sering lagi. Terutama sore hari menjelang Magrib. Anak-anak bergantian menabuhnya dengan pemukul dari kayu. Begitu pula selepas tarawih, suara beduk kembali bertalu-talu. Entah dari mana aturannya, di luar bulan puasa terlarang untuk menabuh beduk seperti itu.

Di kampung saya pada malam Lebaran ada tradisi "ngadu bedug". Ya semacam kejuaraan menabuh beduk, tapi tanpa hadiah. Hanya untuk mencari siapa yang paling kuat. Arena kontes berlokasi di pertigaan yang menghubungkan Sindangmulih, Bojongnangka dan Depok. Di situlah tidak kurang dari sepuluh beduk ditabuh menimbulkan bunyi gemuruh.

Kampung kami punya jago untuk urusan ini, namanya Mang Enuh, pegawai PT. Dahana. Mang Enuh kuat berlama-lama menabuh beduk, baik sambil duduk maupun berdiri. Pada sebuah malam Lebaran, saya dan dua teman berinisiatif membawa beduk ke luar masjid menuju lokasi “ngadu bedug".

Namun baru sampai di mulut jalan kampung, seorang teman lain memberi tahu acara Papiko (Persatuan Artis dan Penyanyi Ibukota) menyambut Lebaran sudah dimulai di TVRI. Kami sangat ingin melihat acara yang dikomandani artis senior Titik Puspa itu. Dengan terburu-buru kami simpan beduk di pinggir jalan dan berlari ke rumah tetangga untuk menonton TV.

Kami terlena dengan sajian hiburan itu. Ketika acara Papiko usai pada tengah malam, kami bergegas ke tepi jalan untuk menggotong beduk. Ternyata benda itu sudah raib. Sudut-sudut kampung di sisir, hasilnya nihil. Tentu saja kami panik. Para senior mengomel, kesal sudah pasti. Kontingen kontes beduk dari kampung kami pun batal berlaga.

Kabar hilangnya beduk tersebar, di antara lantunan suara takbir esoknya. Kami bertiga menjadi "tersangka". Rasanya mata orang sekampung tertuju pada kami. Saya menekuk wajah dalam-dalam di tengah jemaah salat Idulfitri. Dua bulan kemudian masjid itu baru memiliki beduk lagi, setelah Hari Raya Iduladha. Pengurus mesjid membeli kulit sapi kurban dari kampung tetangga.

***

Tulisan sebelumnya: Catatan Biasa Orang Biasa [8] Ingin Delman, Tua Setengah Tahun