Gejolak Ekonomi di Balik Virus Corona

Salah satu langkah yang terus diupayakan adalah mengoptimalkan biaya APBN dan menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga daya beli masyarakat.

Jumat, 20 Maret 2020 | 15:55 WIB
0
327
Gejolak Ekonomi di Balik Virus Corona
Gejolak Ekonomi di Balik Virus Corona. (Sony Kusumo)

Pandemik virus corona seakan menjadi momok bagi dunia. Bagaimana tidak, kecemasan berbagai pihak tak hanya terpaku pada aspek kesehatan.

Virus corona juga menginfeksi berbagai aspek krusial di banyak negara. Ya, salah satunya adalah aspek perekonomian dunia yang diprediksi telah mengalami kerugian lebih besar dibanding perang dingin AS - China.

Beberapa dampak diantaranya adalah investor berbondong-bondong melepas saham. Hal ini mengakibatkan harga minyak mentah dunia anjlok hingga 20% dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpuruk.

Alhasil para investor malah berburu aset safe heaven. Pasalnya safe heaven adalah aset investasi yang mempunyai tingkat risiko rendah, terlebih saat perekonomian tengah bergejolak secara global.

Emas menjadi aset safe heaven yang nilainya terdongkrak berkat virus corona atau Covid-19. Dimana nilai emas tembus ke level US$ 1.700 per troy ons. Kondisi ini adalah kali pertama semenjak tahun 2012.

Dalam perhitungan Asian Development Bank (ADB), dampak global akibat virus corona mencapai kisaran angka US$77 miliar hingga US$347 miliar. Angka tersebut setara dengan 0,1% hingga 0,4% Produk Domestik Bruto (PDB).

Parahnya lagi sejumlah ekonom menilai virus corona bisa menjadi pemicu terjadinya resesi global. Keadaan itu bisa saja terjadi dalam jangka pendek.

Dan bila wabah ini belum berhenti hingga lewat bulan April dan perusahaan yang merugi lebih dari perkiraan, disinilah ekonomi global akan memasuki resesi. Akan tetapi diyakini para ekonom, resesi yang terjadi tidaklah sama dengan era krisis keuangan pada 2008.

Lantas bagaimana dengan kondisi perekonomian di Tiongkok, negara asal virus corona itu sendiri?

Tentu Tiongkok terpukul paling keras dalam kasus ini. Awal gejolak ekonomi ditandai dengan penurunan aktivitas industri manufaktur dan non-manufaktur ke level terendah pada Februari.

Bisnis pun berjalan melambat karena pemerintah Tiongkok fokus pada penanganan virus corona. Perlambatan juga dipicu oleh konsumen di Tiongkok yang lebih memilih dirumah.

Nilai ekspor di Tiongkok pun turun sampai 17,2%. Angka tersebut adalah penurunan terbesar sejak Februari 2019, yakni selama perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).

Tak cuma ekspor, nilai impornya pun turun sebanyak 4%. Sejumlah ekonom meramalkan kedua sektor tersebut, yaitu ekspor dan impor masih akan mengalami penurunan lebih tajam.

Tiongkok sebagai negara manufaktur raksasa dunia, tentunya ini berimbas pada terganggunya pasokan untuk banyak negara ataupun brand-brand besar. Misalnya saja Apple, Diageo, Jaguar, Land Rover, dan Volkswagen.

Terlebih kini dilakukan pembatasan sehingga pabrik hanya beroperasi 60% - 70% dari kapasitas mingguannya. Belum lagi soal ketergantungan pabrik terhadap 300 juta buruh yang sepertiganya dalam masa karantina.

Selama Tahun Baru Imlek dan di masa epidemi, 93% restoran di Tiongkok tutup. Sektor makanan itu diperkirakan merugi hingga 500 miliar yuan atau setara 1.000 triliun.

Wabah virus corona juga mengakibatkan pemerintah Tiongkok menunda pengumuman target seperti PDB ataupun inflasi yang biasa dilakukannya.

Lebih lanjut menurut Dana Moneter Internasional (IMF), perekonomian Tiongkok bisa mengalami kerugian sampai 1,38 triliun Yuan. Angka tersebut merupakan total dari beberapa sektor antara lain industri pariwisata, makanan dan minuman, belanja online hingga konsumsi rumah tangga.

Baca Juga: AS-China Berlomba Mencari Vaksin

Namun nilai tersebut belum mencakup angka penjualan mobil. Dimana penurunannya mencapai 20,5% dan diperkirakan oleh Asosiasi Kendaraan Penumpang Tiongkok penjualan mobil hanya akan mencapai angka 1 juta unit sepanjang 2020.

Melihat gejolak tersebut, lalu bagaimana dengan perekonomian di negeri kita sendiri, Indonesia?

Sektor pariwisata menjadi salah satu yang paling berdampak. Angka kerugiannya diperkirakan mencapai puluhan miliar per bulannya.

Hal ini dikarenakan penurunan jumlah turis dari Tiongkok. Soalnya jumlah pelancong asal Tiongkok ke Indonesia selama Januari sampai Juni 2019 yang paling banyak.

Penurunan impor sampai 2,71%, yakni pada komoditas buah-buahan. Kemudian berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2020, penurunan tajam juga terjadi pada sektor migas dan non-migas hingga 12,07%.

Kondisi tadi bisa terjadi karena Tiongkok adalah pengimpor minyak mentah terbesar dan Indonesia menjadi salah satu penyuplainya.

Bahkan sejumlah peneliti memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 hanya berkisar pada 4,5% hingga 4,8%. Menurut peneliti Institute of Development Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa ditelusuri lewat korelasi hubungannya dengan Tiongkok.

Yakni korelasi perdagangan dan investasi keduanya yang cukup besar. Sehingga bila digambarkan, jika terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok 1%, maka ekonomi Indonesia bisa terpengaruh sampai 0,3%.

Salah satu langkah yang terus diupayakan adalah mengoptimalkan biaya APBN dan menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga daya beli masyarakat. Bukan hanya APBN, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, APBD dan APBDes juga wajib dikawal demi menjaga perekonomian Indonesia.

Oleh: Sony Kusumo

***