Nendang Kenangan

Konsep Edward lainnya adalah: tidak mau franchise. Semua gerai ia miliki sendiri. Dengan demikian keseluruhan omset gerai menjadi omset perusahaan.

Senin, 3 Februari 2020 | 06:20 WIB
0
380
Nendang Kenangan
Saya dan Edward (Foto: Disway.id)

Saya suka sekali pada cara anak muda ini menentukan harga dagangannya. Logikanya begitu baik.

Nama anak muda ini: Edward Tirtanata.

Dagangannya: kopi.

Merknya: Kopi Kenangan.

Harga pergelasnya: Rp 18.000. (ditambah pajak menjadi 20.000).

Mengapa Rp 18.000?

Orang minum kopi itu kan tiap hari. Biasanya. Sehari tidak minum ada yang kepalanya pusing. Atau tidak bisa ke belakang. Ada pula yang mengaku tidak bisa mikir.

Maka kalau harga kopi semahal Rp 40.000/gelas bisa-bisa separo gaji habis untuk minum kopi. Itu kalau gajinya minimum.

Masak gaji dihabiskan untuk minum kopi.

Padahal harga kopi di warung pinggir jalan hanya Rp 3.000.

Maka Edward memilih kualitas kopinya setara yang Rp 40.000 tapi harganya hanya Rp 18.000.

Yang lebih penting lagi kualitas susunya. Unsur susu itu 60 dalam segelas kopi.

Maka susunya harus pula yang terbaik. Yang juga harus sama dengan yang dipakai di kafe asal Amerika.

"Karena itu susunya saya pajang di depan. Biar konsumen melihat sendiri susu apa yang dipakai di Kenangan," ujar Edward pada DI's Way Sabtu petang lalu.

Saya pun melihat merk susu itu: Greenfields. Sama dengan yang dipakai oleh kafe asal Amerika Serikat itu.

Dan gula merahnya harus pilihan. Harus yang dari Sukabumi.

Saya bertemu Edward di gerainya yang di sebelah rumah saya: mal Pacific Place SCBD Jakarta.

Saya tiba di situ lebih dulu. Yakni di lantai bawah --di pojok nylempit di depan supermarket Kem Chick.

Saya memesan menu unggulan di Kopi Kenangan: Kopi Mantan.

Tak lama kemudian Edward datang. Ia mengenakan kaus hitam, celana hitam. Rambutnya yang pendek tidak dirapikan. Badannya gempal.

Umurnya 31 tahun.

Begitu melewati counter Edward memesan kopi satu gelas. Membayarnya. Biar pun pemilik ia memperlakukan dirinya sebagai konsumen.

"Sekaligus kontrol kualitas. Kualitas kopinya maupun layanannya," ujar Edward.

Awalnya Edward hanya membantu orang tua di bisnis kayu. Yakni setelah ia tamat SMA Pelita Harapan Karawaci. Lalu Edward kuliah keuangan dan akuntansi di Northeastern University di Boston, Amerika Serikat.

Pernah juga bekerja sebagai karyawan di kantor akuntan internasional Ernst & Young Jakarta: enam bulan.

Ia coba juga bisnis kain dan pakaian. Tiap hari Edward ke Tanah Abang --pusat perdagangan tekstil di Jakarta.

Suatu saat Edward ke Bursa Efek Jakarta, di sebelah sononya Pacific Place. Ia melihat begitu banyak orang antre membeli kopi. Ia pun mulai berpikir bisnis kopi.

Apalagi ia punya teman baik. Yang sudah lebih dulu terjun ke situ. Kopinya enak. Merknya Toko Kopi Tuku.

Tapi si teman terlihat tidak punya keinginan mengembangkan Tuku-nya besar-besaran. Sejak dulu sampai sekarang gerainya hanya enam.

Tidak ada yang di mal atau di office building.

Maka muncullah gagasan Edward untuk membuat kafe dengan kopi seperti Tuku. Tapi jaringannya harus sangat luas.

Edward bicara kepada temannya itu. Untuk mengambil bahan baku kopi darinya. Lalu ia ciptakan resep sendiri. Yakni campuran kopi Arabika dan Robusta. Ia cari nama sendiri: Kopi Kenangan. "Semua orang kan punya kenangan," kata Edward. Termasuk kenangan pada mantan.

Maka salah satu menu yang disajikan di Kenangan adalah kopi mantan.

Kenapa harus ada campuran robustanya?

"Agar rasa kopinya nendang," ujar Edward --yang pertama kali bisa minum kopi ketika kuliah di Amerika.

Edward pun kumpul-kumpul uang. Ia mengajak dua temannya. Salah satunya adalah mantannya temannya.

Dengan modal awal Rp 150 juta Edward memulai Kopi Kenangan. Gerai pertamanya di Kuningan. Yakni di gedung perkantoran yang digunakan Standard Chartered Bank.

Setelah memiliki beberapa gerai Edward lebih pede. Apalagi dalam tiga bulan pertama usahanya sudah break even point.

Ia pun lantas bertekad mencari dana besar. Dengan target mendapat tambahan modal Rp 100 miliar. Alpha JWC Ventures pun memenuhinya dengan USD 8 juta. Dengan cara menggaet Roc Capital, perusahaan milik penyanyi rap JAY-Z.

Roc Capital menggeret dana berikutnya ke Kopi Kenangan. Besarnya USD 20 juta. Atau hampir Rp 300 miliar.

Baca Juga: Siti Maryam Rodja, Menebar Senyum dan Wangi Kopi Sembalun

Edward terus menjual prospek cerah Kopi Kenangan. Yang dalam tiga tahun akan memiliki lebih 1000 gerai di seluruh Indonesia. Akhir tahun depan sudah harus 1.500 gerai.

Ia juga merencanakan mengembangkannya sampai ke beberapa negara manca.

Uang bisa terus didapat. Dari investor luar negeri. Tidak terlalu sulit. Di bidang unicorn nama Indonesia sudah mulai dikenal di dunia investasi. Terutama sejak Gojek dianggap sebagai kisah sukses. Yang lain bisa ikut 'menjual' Gojek sebagai daya tarik masuk Indonesia.

"Kami ini harus berterima kasih kepada orang seperti Pak Nadiem Makarim," ujar Edward. Yang ia maksud adalah pendiri Gojek yang kini menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Yang Gojek-nya mendapat kepercayaan begitu tinggi. Dari investor internasional.

Setelah Gojek masih ada Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Semuanya sukses merebut investor dari negara maju.

Edward pun membuntuti di belakangnya.

Dalam dua tahun pertama Kopi Kenangan sudah mencapai 230 gerai. Sudah bisa jualan tiga juta gelas sebulan. Berarti sudah lebih Rp 50 miliar omset sebulannya.

Akhir tahun ini sudah harus 650 gerai. Bukan main. Kian hari kian cepat pertumbuhannya.

Di tahun 2019 Kopi Kenangan memang menorehkan sejarah baru. Berhasil memikat uang milik selebriti kelas dunia. Penyanyi rap terbesar di jagad ini ikut menaruh uangnya di Kopi Kenangan: Jay-Z tadi. Siapa yang tidak tahu Jay-Z --yang juga suami penyanyi besar Beyonce itu.

Petenis dunia Serena William pun ikut tertarik. Serena Ventures menempatkan uangnya di Kopi Kenangan. Serena memang punya lembaga keuangan. Namanya Serena Ventures tadi. Di lembaga itulah uang Serena ditaruh. Untuk diputar ke mana-mana.

Masuknya uang JAY-Z dan Serena menjadi berita besar di Singapura. Media di sana menulis panjang lebar tentang Kopi Kenangan Indonesia itu.

Edward pun bertekad terus mengembangkan Kopi Kenangannya. Sebelum akhirnya, kelak, melantai di pasar modal.

Meski bisa mendapat banyak dana Edward tetap teguh pada garis awalnya. Yakni membuat gerai sekecil mungkin. Dengan perabotan seminimal mungkin.

Gerai itu hanya boleh 50 m2. Harga sewanya pun dipatok: hanya 5 persen dari omset.

Tujuannya: menghindarkan diri dari investasi yang terlalu mahal. Yang akan berakibat pada harga jual kopi yang tidak akan bisa murah.

Misalnya gerai yang saya kunjungi itu. Hanya menyediakan enam meja kecil. Masing-masing dengan dua kursi. Tidak ada sofa. Tidak ada wifi.

"Konsep saya memang grab and go," katanya.

Karena itu Edward membatasi investasi. "Setiap gerai hanya boleh Rp 500 juta," katanya.

Dari nilai itu yang Rp 200 juta untuk membeli mesin kopi. Harus yang terbaik. Bikinan Italia. Keperluan lainnya dibatasi Rp 300 juta.

Konsep Edward lainnya adalah: tidak mau franchise. Semua gerai ia miliki sendiri. Dengan demikian keseluruhan omset gerai menjadi omset perusahaan. "Kalau franchise kan hanya fee-nya yang bisa menjadi omset perusahaan," katanya.

Bagaimana kalau kebetulan tempat yang disewa itu lebih besar dari enam meja kecil itu?

"Sisanya saya sewakan ke orang yang mau jualan makanan," katanya.

Baca Juga: Pahit Kopi, Matinya Raja "Starbucks" India

Karena itu Edward memiliki perusahaan lain. Namanya The Common. Kalau ada tempat yang melebihi 50 m2, The Common-lah yang menyewa.

The Common lantas menyewakan yang 50 m2 ke Kopi Kenangan. Selebihnya disewakan ke pedagang makanan.

Seperti yang di Pacific Place itu. Ada kios roti di seberang mesin kopi. Semula kios roti itu saya kira bagian dari Kopi Kenangan. Ternyata itu milik orang lain yang menyewa tempat ke The Common.

Saya melihat Edward ini anak yang sangat enerjik. Waktunya habis untuk mengurus Kopi Kenangan. Itulah pacar rielnya saat ini.

"Berarti Anda ini juga punya mantan," kata saya.

"Hahaha... Iya ya... Punya kenangan juga," jawabnya.

Dahlan Iskan