Kisah Sukses Susi Pudjiastuti [1] “My Name Is Susi, But There Is No Susi Air.”

Susi yang juga aktif di LSM-LSM, termasuk di bidang lingkungan hidup, bertekad bisnis sektor kelautan yang ia pilih adalah bisnis non-aqua culture dan non chemical.

Jumat, 5 Juli 2019 | 08:28 WIB
0
803
Kisah Sukses Susi Pudjiastuti [1] “My Name Is Susi, But There Is No Susi Air.”
Susi Pudjiastuti (Foto: Kompas.id)

Sebelum wawancara dimulai, Susi menyodorkan sebuah majalah terbitan Jerman. Entah apa nama majalah itu, lupa. Susi memperlihatkan tulisan tentang profile dirinya. Di majalah itu, tulisan tentang Susi dibuat dalam dua bagian. Bagian pertama, kalau diterjemahkan kurang lebih artinya: Jangan Ikuti Susi! Bagian kedua: Sekarang Ikutilah Susi!

Satu lagi yang diingatkan Susi sebelum wawancara, bahwa tidak benar sebelum sukses jadi pengusaha, dia menjual ikan di bakul, menawarkan ikan jualannya dari satu pintu penginapan ke pintu penginapan lain di Pangandaran.

“Tidak seperti itu,” kata Susi.

Memang, mengenali sifat sosok pengusaha perikanan dan penerbangan ini agak sulit. Apakah dia itu seorang pengusaha, sosialita, atau pemberontak? Hingga kini, setelah sukses dalam berbisnis, sifat-sifat original Susi tidak luntur sedikitpun. Tajam melihat peluang, kritis memahami persoalan.

Berjalan Tanpa Rencana

Bisnis perikanan dan penerbangan yang ditekuni Susi Pudjiastuti seperti berjalan tanpa rencana. Mungkin, dalam menjalani hidupnya pun, Susi tidak punya rencana. Susi tidak pernah membayangkan bisnis yang digelutinya akan berkembang seperti sekarang. Per tahun 2008, turn over bisnis Susi diperkirakan tidak kurang dari US$30 juta per tahun.

“Saya tak punya rencana dari awal akan seperti ini. Kebayang saja tidak,” kata perempuan kelahiran Pangandaran, Ciamis 15 January 1965 ini.

Susi adalah tipikal perempuan pantai yang jenius. Sejak duduk di kelas satu Sekolah Dasar sampai lulus SMP di Pangandaran Susi selalu menempati ranking pertama di kelasnya. Tapi seperti umumnya anak jenius, banyak hal yang didapatnya dari keluarga maupun sekolah, tidak bisa memuaskan pikirannya. Susi melanjutkan sekolah ke tingkat SMA di Yogyakarta. 

Seperti halnya di SD dan SMP, Susi selalu mampu menjadi peringkat satu di kelasnya. Namun sekali lagi, semua itu tidak membuat nyaman pikirannya. Sampai pada suatu hari di tahun 1982, tanpa sepengetahuan orang tuanya di Pangandaran, ia memutuskan untuk berhenti sekolah.

“Alasannya sederhana, saya tidak happy. Sekolah tidak bisa mengakomodasi pemikiran-pemikiran dan keinginan-keinginan saya,” kata Susi dengan enteng.

Berkaitan dengan pendidikan Susi yang SMA pun tidak tamat, ada cerita menarik ketika suatu hari pemenang hadiah Nobel bidang Ekonomi tahun 2001, Joseph E. Stiglitz datang ke Jakarta. Pada salah satu acara, Stiglitz mengundang sejumlah pakar, professional, akademisi dan pengusaha untuk makan malam dan berdiskusi.

Pada acara itu semua yang hadir memperkenalkan diri, dengan menyebut nama, pekerjaan, jenjang pendidikan dan gelar akademiknya. Ada yang master, doktor atau professor. Ketika giliran Susi harus menyebutkan jenjang pendidikannya, awalnya dia agak ragu. Tapi akhirnya dengan percaya diri, dia memperkenalkan diri bahwa pendidikannya hanya sampai kelas dua SMA. Setelah diskusi usai, professor dari Columbbia University itu memuji Susi.

“Anda cuma sampai kelas dua SMA. Tapi (pemikiran) anda tidak kalah dengan mereka,” kata Stiglitz pada Susi sambil menunjuk peserta lain di situ.

Setelah tidak bersekolah lagi, ia kembali ke kampung halamannya, Pangandaran. Begitu tahu bahwa Susi sudah tidak bersekolah lagi, orang tuanya marah besar. Selama berhari-hari Susi didiamkan oleh orang tuanya, disapa pun tidak. Lalu, selama empat bulan dia benar-benar nganggur. Tinggal di rumah, sekali-kali berjalan-jalan ke pantai bermain ombak. Sendirian.  

Baru kemudian, untuk mengisi waktu Susi ikut berjualan berbagai macam barang dan hasil laut bersama ayahnya. Tapi selain berdagang, Susi juga aktif mengikuti berbagai kegiatan lembaga swadaya masyarakat, LSM, termasuk membuat dan menjual kaos yang bertuliskan ajakan golput pada pemilu tahun 1982. Tidak heran kalau waktu itu Susi sering berurusan dengan aparat keamanan, karena sikapnya yang menentang berbagai kebijakan Pemerintah Orde Baru.

Gambaran tentang Susi seperti itu, relevan dengan ingatan kawan-kawannya di SMA. Iwan Qodar Imawan, salah satu teman lama Susi ketika masih sekolah SMA di Yogyakarta, yang juga mantan Pemimpin Redaksi majalah Gatra mengatakan, Susi adalah sosok yang ulet dan sulit diduga. Sulit membayangkan seorang pedagang kain dan ikan tiba-tiba menjadi pengusaha penerbangan. Selain itu, dalam ingatan teman-temannya, Susi adalah anak yang sangat cerdas.

“Untuk seorang yang tidak selesai SMA mampu bernegosiasi dengan banker atau pabrikan pesawat, itu sangat hebat,” kata Iwan.

Mulai Berbisnis

Tahun 1984 Susi mulai berbisnis sendiri. Ia berjualan bed cover, kain pantai, hasil bumi, ikan, sarang burung walet, udang, lobster dll. Tahun 1985 ia mendapat pinjaman uang Rp5 juta dari seorang mitra bisnisnya di Tanjung Priok, Jakarta, untuk modal kerja. Itu adalah quantum leaf bisnis Susi yang pertama. Dengan modal Rp5 juta itu berkat ketekunan dan kegigihannya, bisnis Susi berkembang. Karena ia berbisnis komoditas hasil alam, maka naik-turunnya bisnis itu sangat ditentukan musim. Tahun 1991-92 sempat anjlok.

Namun musim segera berganti. Tahun 1995 adalah musim lobster yang sangat melimpah. Saat itu dia mengirim lobster dalam jumlah besar ke perusahaan-perusahaan perikanan di berbagai kota besar. Tapi, Susi menilai, perusahaan-perusahaan besar itu sering kali tidak fair dalam berbisnis, sering mempermainkan harga.

Kecurangan itu juga yang memotivasi Susi hingga memutuskan menyewa sebuah pabrik di Cicurug Sukabumi, Jawa Barat untuk dijadikan gudang penampungan lobster hidup. Setahun kemudian, tahun 1996 ia mendirikan PT Andhika Samudra International, karena untuk mengekspor lobsternya, ia harus punya perusahaan sendiri. Jadilah ia pengekspor terbesar lobster saat itu.

Peruntungan bisnisnya terus membaik. Tahun 1996 Susi bertemu dengan pengusaha Korea dan Jepang yang mengajaknya kerja sama untuk membangun pabrik pengolahan ikan di Pangandaran.

Mereka, kata Susi, berjanji akan menyediakan modal, mesin, dan sebagainya. Namun setelah dilakukanlah MoU dan pabrik sudah berdiri, pengusaha dari Korea dan Jepang itu tidak muncul-muncul. Padahal Susi membangun pabrik itu dengan dana cashflow untuk bisnis lobsternya di Cicurug.

“Akibatnya, pabriknya jadi tapi tidak beroperasi karena kehabisan uang. Akhirnya bisnis saya kembali ke skala lokal, karena tidak mampu untuk ekspor,” kenang Susi.

Tapi akhir tahun 1996 itu juga, seorang pengusaha Jepang lainnya, yang sebelumnya sudah menjadi buyer hasil laut Susi, membuka letter of credit yang kemudian dijadikan jaminan ke bank untuk menarik pinjaman. Beroperasilah pabrik pengolahan ikan di Pangandaran. Agustus 1997, Susi melakukan ekspor perdana dari pabriknya sendiri di Pangandaran. Lalu pengusaha Jepang itu membantu lagi dengan memberi red close L/C. Padahal saat itu bank-bank Indonesia tidak dipercaya oleh perbankan international.

“Saat itu Bank Exim tidak punya stok US dollar, akhirnya mereka memberi pinjaman dalam Rupiah. Padahal red close L/C harus bisa dicairkan dalam US dollar,” kata Susi.

Ketika krisis moneter mulai melanda dan ekonomi nasional terpuruk, mulai akhir 1997, pendapatan Susi justru menjadi berlipat-lipat karena penerimaannya dari ekspor dalam US dollar. Saat itu omset bisnis Susi berkisar US$5 juta sampai US$10 juta per tahun.

Susi yang juga aktif di LSM-LSM, termasuk di bidang lingkungan hidup, bertekad bisnis sektor kelautan yang ia pilih adalah bisnis non-aqua culture dan non chemical. Dia bercerita, saat itu banyak orang yang menertawakan.

“Tapi saya bilang sama buyer, lebih baik kalian makan bakteri daripada makan bahan kimia seperti chlorine. Saya percaya hasil laut dari Pangandaran cukup bagus, karena nelayan di sana menangkap ikan secara harian. Tidak ada hasil laut yang tersimpan lama. Jadi tidak perlu dicuci pakai zat kimia segala. Dan lagi, zat kimia itu bisa merubah rasanya,” kata Susi.

Tahun 2001 Susi mendapat pinjaman dari KFW, sebuah lembaga keuangan Jerman (yang khusus menyalurkan kredit kepada perusahaan UMKM) untuk pengadaan mesin-mesin yang lebih modern. Susi sengaja memilih refrigerator yang tidak memakai freon atau amoniak agar ramah lingkungan.

(Bersambung)

***