KPK Lembaga yang Tak Pernah Dewasa

Bukti bahwa di luar tanpa prestasi, para komisoner KPK yang menyerahkan mandat ini pengecut dan cuma sejenis beban baru bagi negara ini. Kok bisa jadi lempar handuk baunya ke Jokowi.

Selasa, 17 September 2019 | 07:25 WIB
0
622
KPK Lembaga yang Tak Pernah Dewasa
Fahri Hamzah (Foto: law-justice.co)

Saya sampai detik ini, gak bisa paham dengan cara berpikir orang-orang pinter yang mendukung KPK secara membabi buta itu. Pakai kacamata kuda, yang seolah mendudukkan KPK sebagai lembaga yang paling bersih, suci dari segala dosa, tak tersentuh, dan tak boleh dikoreksi.

KPK seolah lembaga yang "sudah selesai", berprestasi paling tinggi, dan berisi malaikat-malaikat yang diturunkan Tuhan langsung dari langit. Padahal prestasi KPK itu terlalu biasa-biasa saja, bila dilihat dari kewenangan dan kesuperbodian yang diamanatkan negara kepada dirinya.

Orang lupa bahwa sesungguhnya ia hanya berbentuk komisi yang bersifat ad hoc, sebuah lembaga penunjang yang sifatnya kelas dua. Ia diadakan karena lembaga yang lebih berwenang dianggap "sedang mandul", Kejaksaan dan Polri khususnya. Lembaga seperti ini sesungguhnya juga hanya tiru-tiru lembaga sejenis yang ada di Luar negeri. Di negara yang kasus korupsi juga sudah sangat parah dan nyaris mustahil disembuhkan.

Di sinilah, kadangkala jadi aneh: harusnya ketika KPK sudah ada, kasus korupsi makin sedikit. Lama-lama kehilangan fungsi, lalu dibubarkan dan tugasnya dikembalikan ke lembaga yang menjadi pengampu aslinya.

Nah, yang terjadi ada KPK justru korupsi makin banyak dan merajalela. Ribuan kasus yang dilaporkan publik, tak sampai 5% yang ditangani. Bahkan lebih sedikit lagi persentase yang sampai pengadilan dan diputus bersalah.

Ironisnya, setiap kali muncul kasus, seolah KPK sedang merayakan kemenangan dan disoraki oleh fans club-nya. Seolah itu kemenangan bagi lembaga ini. Mereka hanya menang dalam pertempuran, tapi sesungguhnya tetap kalah dalam perang. Just win in battle, not in war!

Situasi ini berjalan dari tahun ke tahun, nyaris 17 tahun sejak didirikan tahun 2002. Dan prestasinya semakin buruk, KPK bukannya menangani kasus-kasus kelas kakap, namun justru ikut masuk kasus yang makin ecek-ecek. Tupoksi kasus yang mustinya bernilai di atas 1 M, sudah lama lenyap. Menurun jadi hanya sekelas Kejaksaan Negeri di angka puluhan atau seratusan juta.

Baca Juga: Ketua KPK Sebaiknya Dipimpin Seorang Akuntan

Kasus OTT, yang membuat DIY akhirnya pecah telur sebagai provinsi terbersih menguatkan sinyalemen itu. Kasus yang sesungguhnya super memalukan, bagaimana bisa seorang Jaksa yang sesungguhnya bertugas berkoordinasi dengan KPK dan Inspektorat Daerah justru menjadi target. Sejenis jeruk makan jeruk!

Kasus ini jadi makin aneh dan membuat publik Jogja heboh karena akhirnya KPK mau juga masuk juga ke daerah ini. Padahal rakyat juga tahu, Jogja tidaklah lebih baik dari provinsi lain. Korupsi juga tumbuh subur, hanya saja berjalan jauh lebih rapi dan kelasnya kecil-kecilan.

Hal yang makin aneh, yang terjadi kemudian seolah salah tingkah. Beberapa hari kemudian KPK mengumumkan pemberian hibah rumah sitaan milik Joko Susilo (terpidana kasus Simulator SIM). Sebuah dalem sederhana di lingkungan Jeron Beteng kepada Pemprov DIY untuk dikelola Pemkot Yogyakarta. Sejak kapan KPK bagi-bagi aset sitaan mereka?

Dari kasus ini, saya makin yakin bahwa memang ada yang salah pada diri KPK. Bagaimanapun saya harus setuju dengan Prof. Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Unpad Bandung yang sedemikian gemes, jengkel dan muak terhadap KPK. Ia sebagai bidan pembentukan KPK, sedemikian tidak tahan dengan melencengnya sedemikian jauh KPK dari marwah dan semangat asli dibentuknya lembaga ini. Bahkan ia merasa sebagai pendirinya sudah tidak dianggap lagi! How come?

Saya tidak kunjung mengerti, dengan logika para pembela KPK itu. Bagaimana mereka bisa tutup mata bahwa lembaga ini sudah menjadi semacam ATM bagi kelompok Islam radikal. Bagaimana Serikat Pegawai mereka sudah jauh lebih berkuasa daripada para Komisioner-nya. Bagaimana mereka membutakan diri terhadap realitas kasus brengsek Novel Baswedan bisa terjadi?

Dalam konteks ini, sebetapa pun tidak adilnya, saya haqul yakin bahwa sampai kapan pun kasus ini tidak akan pernah tuntas. Bukan karena tidak ada keadilan di sana, tapi saking menjijikkannya!

Sebetapa pun brengsek dan tidak suka-nya saya dengan figur Fahri Hamzah, ia tidaklah salah-salah amat saat bilang betapa sangat tebang pilihnya KPK terhadap para targetnya. Bagaimana Gubernur SI A yang kasusnya lebih banyak dan besar dibiarkan, bagaimana Gubernur Si B yang justru "cuma terindikasi" justru langsung ditangkap.

Bagaimana mereka memainkan kasus untuk mempengaruhi elektabilitas Jokowi. Untuk menaikkan? Ya jelas tidak. Jelas untuk menjatuhkan!

Sebetapa pun menjengkelkannya gaya dan tampang Romi, Si Ketua PPP termuda itu, ia berhak bilang bahwa ia merasa sangat dikerjai. Karena nilai uang "jarahannya" yang diperoleh sesungguhnya bukanlah segmen untuk KPK!

Singkat cerita KPK, sudah berubah menjadi alat politik untuk sekelompok kepentingan. Mana penuntasan Kasus Century yang sesungguhnya berujung pada SBY itu? Pun E-KTP? Pun Hambalang. Memble dan nonsens!

Di tengah situasi brengsek dan beroma busuk itulah, situasi ini dimanfaatkan oleh DPR yang memang memiliki intensi melemahkan KPK. Suka tidak suka memang DPR-lah yang paling banyak menjadi korban KPK. Walau sesungguhnya jumlahnya terlalu sedikit dibanding mungkin kasus riilnya. Jika pun ada mereka yang terkena, kemungkinan cuma dua: mereka memang dianggap musuh karena berbeda ideologi atau gank. Atau memang lagi sial saja!

Dan saat usulan revisi ini diangkat, Jokowi, sudah memberi jalan tengah: ia menyetujui revisi walau dengan banyak catatan. Ingat catatan, dengan menghilangkan hal-hal yang melemahkan dan memastikan hal-hal baru yang menguatkan!

Dan sehari ini, saya melihat betapa lebay dan arogansi-nya para pimpinan dan pegawai KPK, saat mensikapi Firli Bahuri terpilih sebagai Ketua KPK! Dengan Saut Situmorang sebagai simbol potret paling menyebalkan.

Sebetapa pun buruk rekam jejak atau kecurigaan terhadap keempat pimpinan baru KPK (satu orang petahana toh). Setidaknya ia memberi harapan baru untuk membersihkan KPK dari virus-virus kelompok radikalis. Ia memiliki kesempatan mengembalikan fungsi KPK sesuai tracknya: bukan saja memberantas tapi terutama mencegah terjadinya korupsi. Bagi saya itu jauh lebih penting!

Konon mulai hari ini, mereka serentak mundur dan menyerahkan mandat kepada Jokowi. Bukti bahwa di luar tanpa prestasi, mereka ini pengecut dan cuma sejenis beban baru bagi negara ini. Kok bisa jadi lempar handuk baunya ke Jokowi. Kok malah jadi yang salah justru Jokowi.

Wahai KPK, jangankan makin dewasa dirimu. Malah semakin kayak anak PAUD saja!

***