Politik Dagang Agama

Masukkan agama sebagai pengendali hasrat politik, menjadi asketislah kita dalam politik karena mengamalkan ajaran agama.

Rabu, 15 Mei 2019 | 07:05 WIB
0
557
Politik Dagang Agama
Ilustrasi agama dan politik (Foto: Kompas)

Rivalitas pasca-pencoblosan masih begitu kentara, terlihat dari manuver yang dimainkan dari kedua kubu paslon capres-cawapres. Namun ada beberapa manuver yang isunya cukup meresahkan masyarakat dan berpotensi merusak iklim politik bangsa ini.

Kalau diperhatikan, belakangan arah konsolidasi politik pasca-pencoblosan justru nampak sporadis, distorsif dan tidak solid. Karena itu pula, arah konsolidasi pasca pemungutan suara di TPS semakin tidak jelas dan terkesan “menihilkan” jalur hukum, seperti isu people power yang dibungkus “jubah agama”.

Ada beberapa hal yang memantik keriuhan polarisasi isu agama dan manuver “tanpa hukum” dalam penyelesaian sengketa pemilu (dalam hal ini people power):

Pertama, dugaan tindak kecurangan. Ketidak puasan atas hasil pemungutan suara yang terpaut jauh sekitar 8-10 persen perolehan suara atau berjarak 10-15 juta pemilih, membuat pihak yang kalah (kubu 02) mulai melancarkan isu people power yang langsung digaungkan sendiri oleh Amin Rais sebagai salah satu pentolan capres-cawapres 02.

Selain Amin, ada juga Kivlan yang cekcok dengan demokrat dan Eggi Sudjana yang belakangan sudah mulai diproses oleh polisi. Padahal, sudah seharusnya segala ihwal kecurangan Pemilu diselesaikan lewat jalur hukum, lewat wadah ayng sudah tersedia baik Bawaslu maupun hingga ke tahap gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Sebagian langkah sudah dilakukan dengan melaporkan dugaan kecurangan, tapi di sisi lain diikuti pula isu dan tindakan kontra produktif menyoal people power.

Kedua, masifikasi “kedzaliman politik” yang dibalut narasi agama. Memang sudah nampak jelas sejak fase kampanye bergulir bahwa segala bentuk kedzaliman yang dialamatkan kepada paslon 01 kerap kali dibumbui narasi agama. Tak jarang viral rupa-rupa video yang mempertontonkan “doa-doa yang mengancam” seperti yang dilakukan Neno Warisman atau maklumat-maklumat dari Habib Riziq untuk melawan KPU dan Paslon 01 yang dituduh berkongsi.

Narasi-narasi kecurangan yang dibangun tersebut, dibalut dengan gema kalimat talbiyah; berkoar-koar politik sembari meneriakkan “Allahu Akbar”. Alhasil, yang terkonstruk dari sebuah gema takbir saat ini adalah “takbir politik”.

Orang-orang dengan enteng bertakbir, bersumpah dengan nama Allah, sembari diikuti ucapan nista. Ada yang berdoa mengancam Allah Allah bahwa tak ada lagi yang akan menyembahNya kalau sang kandidat jagoannya kalah. Ada pula yang bertakbir sebagai legitimasi tindakan onar.

Lihatlah, di ruang-ruang publik dan saluran media takbir tak lagi semerdu kumandang Bilal Bin Rabah, tak lagi menggetarkan hati yang iman. Jangan salahkan kami, mengutuk kami tak beriman, kalau takbirmu mengundang perpecahan. Takbir yang dulu dibawakan para ulama pewarta Tuhan, berubah bak raungan genderang kecemasan dalam kemajemukan Indonesia yang harmonis ini.

Takbir yang kudus itu, kini menjadi profan nilainya. Takbir hanya dijadikan barang dagangan dan alat negosiasi politik berjubah agama.

Kata Graham Ward, komodifikasi agama kerap berdekatan dengan kapitalisme. Mungkin juga menjadi sirkuit akumulasi kapital; money - commodity - and more money. pertukaran nilai-nilai agama menjadi lebih sedikit dibandingkan pertukaran uang. Dan rasanya ini ada benarnya bahwa agama kini dijajakan demi meraup untung kekuasaan.

Baca Juga: Alangkah Ribetnya Caramu Beragama

Para ulama yang semula menjadi juru bicara Tuhan, malah sibuk mereportasekan pilihan-pilihan politik. Bermunculan fatwa-fatwa agama yang menyulut kemarahan umat, juga ijtima-ijtima ulama yang dijadikan legitimasi penggebuk dalam kontestasi pemilu. Mencemaskan!

Politik kekuasaan menjelma rupa agama dan berpenampilan budaya, tampak melenggang manis di panggung pilpres dan pileg sembari menebar visi retoris. Kontestan sibuk memadu akting bak aktor-aktor kenamaan di panggung depan (front stage) dengan sajian tontonan hiperealitas yang menjebak pikiran dan keberpihakan kita.

Alhasil, kita yang turut dalam pesta demokrasi elektoral ini, sering bertikai menyoal perkara unsubstantial lantaran tersulut emosi; agitasi seputar isu sektarian, propaganda bermateri agama, dan memblokade kewarasan tentang kontestasi sebenarnya yakni perebutan kekuasaan para elite.

Benar kata JH Robinson bahwa kampanye politik dirancang dan dibuat menjadi pesta pora emosional yang berusaha mengalihkan perhatian kita dari masalah-masalah esensial, dan mereka benar-benar melumpuhkan satu-satunya kekuatan yaitu pikiran yang biasa kita gunakan.

Sekarang perhatikan, sudah berapa banyak yang diciduk polisi, lalu ujung-ujungnya meminta maaf dengan alasan khilaf? Padahal, saat mereka merekam video, nampak gahar dan seperti pembela sejati? Tapi menciut saat didatangi polisi. Indikasinya jelas, sebab mereka merasa bersalah namun bablas mengekspresikan kebebasan berbicara.

Siapapun kita, tak peduli apapun dukungan dan afiliasi politik kita, sebisa mungkin mengendalikan syahwat keganasan kita jikalau diprovokasi oleh manuver-manuver politik berbalut agama. Lantas, tak bolehkah berpolitik dengan agama?

Masukkan agama sebagai pengendali hasrat politik, menjadi asketislah kita dalam politik karena mengamalkan ajaran agama.

***