Dua Simpul Kusut Nalar dalam Jawaban Capres tentang Pencegahan Korupsi PNS

Rabu, 23 Januari 2019 | 07:44 WIB
0
434
Dua Simpul Kusut Nalar dalam Jawaban Capres tentang Pencegahan Korupsi PNS
Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam debat capres perdana [Diolah dari Detik.com]

Dalam segmen ketiga Debat Capres-Cawapres 17 Januari lalu, pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendapat pertanyaan soal langkah-langkah mewujudkan birokrasi yang bebas dari korupsi.

Dalam memberikan jawaban pertama kali, dan saat menanggapi tanggapan Joko Widodo, tampak bahwa solusi yang ditawarkan Prabowo Subianto memiliki dua simpul kusut nalar. Yang pertama berubah-ubah jawabannya, tidak konsisten. Kedua, inkonsistensi antara program tersebut dengan program-program lain yang ia janjikan.

Simpul kusut nalar pertama, inkonsistensi jawaban pertama dan kedua.

Pada awalnya Prabowo Suianto menjawab akar masalah korupsi PNS adalah penghasilan PNS yang rendah, sehingga mereka cenderung korupsi. Untuk itu Prabowo janjikan menaikan gaji PNS.

Prabowo tidak menyebut berapa jumlah yang ia nilai pantas untuk para PNS. Namun ia menjelaskan untuk bisa membiayi gaji PNS, ia akan menaikan tax ratio dari saat ini 10 persen menjadi 16 persen.

Selain itu, Prabowo akan memperketat pengawasan dan penindakan terhadap PNS yang korupsi. Ia mewacanakan sistem hukuman seperti kerja paksa berupa menambang pasir di pulau terpencil. Prabowo juga menjanjikan pembentukan KPK di daerah-daerah.

Jawaban Prabowo ini dibantah capres nomor urut 01 Joko Widodo. Menurut Jokowi gaji ASN dan pNS sekarang ini sudah cukup sebab ada tujangan kinerja yang besar.

Karena itu bagi Jokowi, pendepatan terpenting untuk mencegah PNS korupsi adalah dengan perbaikan mekanisme perekrutan, penempatan, dan promosi jabatan melalui merit sistem sesuai kompetensi, integritas, prestasi, dan rekam jejak. Pendekatan kedua adalah peningkatan pengawasan internal (inpektorat) dan eksternal (oleh masyarakat, media, dan KPK).

Langkah-langkah Jokowi ini telah mulai diterapkan, terbukti dengan ketat dan fairnya penerimaan CPNS dan maraknya operasi tangkap tangan oleh KPK.

Menghadapi bantahan Jokowi, Prabowo tampaknya goyah. Jawaban Prabowo mengambang, membantah pernyataannya sendiri. Prabowo katakan, dari yang ia pelajari di kasus banyak negara, meskipun ada tunjangan macam-macam, para PNS tetap saja tergiur korupsi.

Lah? Itu berarti Prabowo berpandangan pemberian tujangan (perbaikan gaji) tidak bisa menjadi solusi yang efektif sebab demikian kenyataan menurut yang ia klaim pelajari dari banyak negara itu. Jadi rakyat mau pegang pernyataan Prabowo yang mana?

Apakah pernyataan pertama bahwa akar masalah adalah kesejahteraan dan karena itu solusinya peningkatan kesejahteraan melalui kenaikan gaji atau tunjuangan? Atau pernyataan kedua bahwa dari yang ia pelajari di banyak negara meski ada tunjangan macam-macam, PNS masih korupsi juga?

Simpul kusut nalar kedua, benturan antara satu program dengan lainnya.

Prabowo janjikan menaikkan tax ratio, yang berarti penerimaan negara dari pajak harus bertambah. Caranya bisa dengan menaikkan tarif pajak dan meluaskan objek pajak. Di sisi lain, Prabowo juga janjikan pemotongan pajak penghasilan (menurunkan tarif pajak), bahkan penghapusan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang merupakan langkah mempersempit objek pajak. Ini belum lagi jika ditambah janji PKS untuk menghapus pajak kendaraan bermotor.

Sementara menurut ahli perpajakan Yustinus Pranowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menaikkan tax ratio bukan perkara mudah. Dengan PDB 2018 yang sekitar Rp 14.745 triliun, untuk mencapai tax ratio 16 persen, Prabowo harus menaikan penerimaan pajak Rp 663 triliun. Satu-satunya jalan untuk mencapai itu dalam waktu singkat adalah dengan kenaikan tarif pajak, bukan malah menurunkannya.

Jadi, yang mana yang harus rakyat pegang? Prabowo akan tingkatkan tax ratio, entah melalui peningkatan pajak atau perluasan objek pajak atau sebaliknya Prabowo akan mengurangi tarif pajak (pajak penghasilan) dan mempersempit objek pajak (PBB)?

Jika membingungkan begini, kita jadi bertanya-tanya apa sebabnya.

Apakah kusut nalar dalam program-program ini, yang saling tumbuk dan meniadakan antara satu dengan lainnya terjadi karena Prabowo ngotot  menghubungkan semuanya dengan narasi ekonomi RI stagnan? Jadi demi menjelaskan itu, apapun persoalannya, mencegah ekonomi bocor dan dominasi asing solusinya?

Atau mungkinkah Prabowo memang tidak meniatkan program-program itu dari hati yang bening tulus dan nalar jernih sehingga tak peduli betapa silang sengkarutnya? Apakah semua janji lisan dan tertulisnya sekadar bunga-bunga kata hampa demi suara rakyat?

***


Sumber:

  1. Kumparan.com (25/09/2018) "Program Ekonomi Prabowo: Hapus PBB hingga Turunkan Pajak Penghasilan"
  2. Kompas.com (18/01/2019) "Prabowo Mau Naikkan "Tax Ratio", tapi Potong Tarif Pajak, Apakah Bisa?"
  3. Detik.com (17/01/2019) "Jokowi: PNS Kita Sudah Ada Tunjangan Kinerja yang Besar"
  4. Bahasakita.co.id "Transkrip Lengkap (6 segmen) Debat Pertama Capres -- Cawapres RI tanggal 17 Januari 2019 dan Analisa Konten Jalannya debat Capres - Cawapres"

Mirroring dari Kompasiana.com/tilariapadika