Pak Amien Kok Semakin Bengis Aja, Sih?

Jumat, 18 Januari 2019 | 07:31 WIB
0
202
Pak Amien Kok Semakin Bengis Aja, Sih?
Amien Rais dengan pengetahuannya semestinya bisa menjadi pembaca cahaya daripada menebarkan kekeruhan pikiran - Foto: Tirto

"Awas kalau sampai KPU curang, ya, kita, kita gempur bersama-sama!" Itulah sederet kalimat yang keluar dari figur ternama, Amien Rais. 

Itu diungkapkan olehnya saat berbicara di Seknas Prabowo-Sandiaga di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (15/1/2019). Alasan yang dikemukakan olehnya, bahwa pihaknya lebih pandai dari pemerintah. Sambil, ia juga mengetengahkan isu KTP elektronik yang dibuang di tong sampah, di semak, di sawah.

Ada kesan seolah isu tersebut adalah sebuah fakta sahih, dan pelakunya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Apa yang ditampilkan dengan telanjang olehnya dengan narasi itu adalah bagaimana ia menurunkan kelas berpikirnya. Seorang profesor, berpikir seperti ini. Siapa pun yang memilih berpikir jernih, terlepas berada di kubu mana saja, akan trenyuh, kok bisa-bisanya seorang profesor yang notabene terbiasa dengan budaya berpikir berkelas, berkualitas, bisa memamerkan pikiran seperti ini.

Ini mengingatkan saya pada pesan guru ngaji di kampung, bahwa ilmu itu adalah cahaya. Cahaya itu tidak akan punya arti apa-apa jika kebencian, kedengkian, dendam kesumat, telah membuat hati dan pikiran hitam legam. 

Saya pribadi berusaha tidak menuding bahwa Amien Rais sudah kalap dan gelap mata. Apalagi kalau mengintip cerita anak-anaknya di media, digambarkan bagaimana ia adalah figur yang rajin salat, rajin tahajud, dan senantiasa berzikir alias menyebut nama Tuhan.  

Semestinya ia adalah orang yang teramat dekat dengan Tuhan. Jika meyakini Tuhan Mahabaik, semestinya jejak baik itu akan terlihat dari sikap atau paling tidak dari bagaimana ia berpikir. 

Bahkan yang lebih menonjol dari pernyataan-pernyataannya akhir-akhir justru lebih mirip dengan tindak-tanduk makhluk yang konon adalah musuh Tuhan. Ya, saya tidak tega menyebut kata setan, walaupun kata ini juga ada di kamus dan buku-buku agama untuk menceritakan tabiat buruk pada manusia yang konon lahir karena mengikuti makhluk tersebut.

Tidak habis pikir. Sebab, mengingat lagi bagaimana reputasinya yang acap digadang-gadang sebagai tokoh nasional, tetapi tidak menunjukkan sikap selayaknya seorang bapak bagi anak-anak republik ini yang membutuhkan panutan. 

Tetapi dia juga adalah seorang Ketua Dewan Kehormatan PAN (Partai Amanat Nasional). Terbayang, bagaimana ia bisa menjaga kehormatan partainya? Apakah sikap dan pernyataan-pernyataannya itu memang mewakili bagaimana nasib kehormatan partai itu sendiri?

Atau, jangan-jangan memang PAN itu sendiri adalah partai yang mempersetankan kehormatan, hingga kalau bisa, setan pun tetap akan dipercayakan untuk menjadi ketuanya. 

Sebab jika ditilik-tilik, sikap-sikap yang menjurus pada upaya menciptakan kegaduhan, sangat tidak tepat dilakukan oleh seorang tokoh nasional. Apalagi ketokohan itu sendiri bukanlah sesuatu yang tidak menuntut tanggung jawab. Di sana ada efek-efek yang dapat ditimbulkan, karena apa yang dipikirkan, diucapkan, dan dilakukan seorang tokoh cenderung menjadi model atau acuan bagi sebagian pengagumnya.

Di sini saya tercenung, dengan sepak terjang Amien akhir-akhir ini, apakah figur seperti ini benar-benar bisa menjadi model atau acuan kalangan "anak kemarin sore" atau mereka yang sering disebut masih hijau dan miskin pengalaman?

Kalau figur dengan karakter seperti ini menjadi model dan acuan dalam cara berpikir dan bersikap, hampir dapat dipastikan, alih-alih dapat membantu negeri ini semakin kuat dan tetap utuh, justru bisa runtuh.

Lha, bagaimana tidak akan runtuh jika sebuah negara yang memang sangat beragam dengan berbagai latar belakang agama hingga suku, mendapatkan pengaruh dari figur yang lebih mementingkan kepentingan politiknya daripada risiko-risiko yang ditimbulkan.

Kalau itu ditunjukkan satu dua kali, mungkin dapat dikatakan sebagai ketidaksengajaan. Namanya manusia, bisa saja khilaf. Tetapi ketika itu dilakukan berkali-kali, dan tiap kali tampil lebih sering melemparkan narasi kebencian dan ancaman, tampaknya ini memang sudah merupakan sebuah kesengajaan. 

Dengan pemandangan ini, sekilas kita memang masih pantas bersyukur, karena demokrasi terlihat sudah tumbuh sangat baik. Suara-suara berbeda hingga sumbang dan tidak penting pun bisa mendapatkan tempat setara. Hak-hak untuk bersuara cenderung lebih terjamin. 

Kalau saja demokrasi masih sekadar basa-basi, dapat dipastikan pemerintah bisa saja memainkan jurus tangan besi. Ada figur-figur yang tidak berhenti memainkan narasi kebencian dan permusuhan, tinggal libas dan sikat habis! Ini yang dulu pernah dipamerkan di era Orde Baru. 

Namun pameran kekerasan itu memang sudah seharusnya hanya berada di masa lalu. Bukan sesuatu yang pantas dirindukan lagi, sebab demokrasi itu sendiri tetap saja jauh lebih baik, karena di sinilah kebebasan untuk bersuara dan berpendapat akan lebih terjamin.

Masalahnya, ketika keran demokrasi sudah terbuka, kok yang kental terjadi belakangan justru merendahkan demokrasi itu sendiri. Seolah dengan demokrasi siapa saja bebas menyuarakan apa saja, dan soal risiko bukan suatu hal yang mesti dipusingkan. 

Padahal dengan kekeliruan dalam menafsirkan demokrasi hingga melahirkan tren kebablasan, yang terjadi justru tidak sehat. Sebab narasi-narasi jahat yang dekat dengan ancaman hingga kekerasan pun jadi terkesan punya tempat setara dengan nilai lainnya yang lebih baik yang dapat membantu publik lebih akrab dengan kebiasaan-kebiasaan baik. Juga, agar terbiasa berpikir jernih, sehingga kalaupun melemparkan kritik maka kritik yang muncul adalah kritikan membangun, bukan yang merangsang keinginan menghancurkan atau keinginan berperang.

Senada halnya yang disampaikan oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam menanggapi fenomena Amien Rais. Menurutnya, apa yang diperlihatkan Amien lebih mirip jurus mabuk. 

"Belum-belum sudah mau melengserkan. Siapa yang bisa berhadapan dengan kekuatan rakyat," katanya saat berbicara di Posko Cemara, Menteng, Rabu (16/1/2019).

Hasto berpandangan jika apa yang ditampilkan oleh Amien sangat kontras dengan budaya masyarakat Yogyakarta, yang notabene merupakan tempat tinggalnya.

"Masyarakat di Yogyakarta itu masih begitu toleran dengan Pak Amien, meskipun apa yang Pak Amien sampaikan jauh dari nilai-nilai Yogyakarta," kata Hasto, melansir Detik.com. "Pak Amien (mestinya) bersyukur karena masyarakat Yogyakarta toleran. Coba beliau tinggal di luar, di daerah lain, pasti (pernyataannya) sudah membikin marah."

Menanggapi tren yang ditampilkan sosok Amien akhir-akhir ini, Hasto yang berasal dari partai yang berseberangan dengan PAN, PDIP, menanggapinya enteng. "Orang Jawa itu percaya, becik ketitik, olo ketoro (bagus kelihatan, jelek juga kelihatan). Jadi apa yang disampaikan Pak Amien mari nanti kita lihat waktu yang akan membuktikan, becik ketitik, olo ketoro," sebutnya.

Respons Hasto ini memang lebih mendekati pernyataan lainnya yang juga diungkapkan Amien saat berbicara di Seknas Prabowo-Sandi. Amien menyebut dengan kalimat bernada ramalan bahwa tanggal 17 April nanti, kira-kira magrib, pihaknya sudah bisa syukuran--karena meyakini pihaknya sudah pasti menang.

Bahkan kalimat yang dilontarkan Amien terbilang jauh dari kepantasan jika melihat bahwa ia seorang tokoh. "Dari 17 April sampai Oktober itu nanti Pak Jokowi namanya presiden bebek lumpuh. Nggak boleh buat yang macem-macem karena sudah lumpuh."

Jika mencermati kalimat dan logika Amien di balik pernyataan-pernyataannya tersebut, memang bisa dipastikan bukan cerminan seorang akademisi. Bukan pernyataan seorang profesor. Itu sepenuhnya murni seorang politikus,  yang sedang bekerja berdasarkan roadmap atau peta jalan yang sekadar digulirkan untuk menciptakan perbincangan publik, dengan harapan dapat mengusik keyakinan sebagian publik terhadap lawan politik.

Sekilas, ini wajar-wajar saja. Namun apakah pernyataan-pernyataan Amien yang notabene juga seorang pendidik sudah cukup mendidik? Ya, ngapain juga menanyakan ini, toh ia memang sedang tidak bergerak sebagai pendidik, namun hanya menjalankan peran sepenuhnya di ranah politik di mana terkadang membenarkan trik, intrik, hingga cara-cara licik. 

Bahwa dengan tren dibangunnya itu justru membuat seorang Amien Rais justru dianggap sebagai orang licik, bisa jadi baginya itu adalah pengorbanan. Toh, di banyak kesempatan pun ia terbiasa memainkan narasi berbau agama. Bisa jadi pengorbanan dengan kelas seperti ini pun di matanya setara dengan jihad. Ah, suka-suka Pak Amien sajalah!

Pesan "Anak Kemarin Sore"

Saya pribadi, sebagai "anak kemarin sore" cuma mau menitipkan pesan kepada seorang bapak yang berusia senja, coba deh, Pak bantu ajarkan kami untuk bisa lebih elegan dalam menuliskan wasiat. Ya, ini bukan memastikan bahwa Anda akan lebih dulu mati, namun benar-benar sekadar wasiat, walaupun Anda kelak pergi seribu tahun lagi. Paling tidak masih bisa diingat dan dijadikan pelajaran bagi anak-anak kemarin sore lainnya lagi.

Apakah tidak ada cara berpikir yang lebih memuat pesan persatuan, pesan cinta, pesan kasih sayang? Sebab, ini baru sekadar urusan perbedaan pilihan politik, kok mesti bermain kata-kata yang lebih pantas disebut keji.

Lihat deh, Pak. Sekarang di mana-mana sudah bertaburan dan bertebaran narasi-narasi kebencian, kemarahan, hingga ancaman. Taruhlah itu terjadi karena mereka tidak mengerti, tidak memiliki pengetahuan luas, kurang pengalaman, paling tidak Anda sebagai figur yang sudah sepuh dan kenyang makan asam garam kehidupan, bisa menampilkan sesuatu yang lebih baik.

Jika masih ada, cobalah berikan kata-kata yang bisa membantu menjernihkan pikiran anak-anak kemarin sore, supaya tidak tenggelam dalam kegelapan jika sudah malam, dan supaya perjalanan negeri ini pastilah akan lebih baik.

Kenapa tidak memilih menjadi cahaya saja dengan segala pengetahuan yang ada? Supaya tidak ada yang terjerembab karena sulit menaklukkan kegelapan. Supaya jadi jelas apa saja kelebihan orang yang berpengetahuan dengan yang tidak.

Apalagi, ini bukan sekadar urusan politik, tetapi juga ini adalah urusan nasib bangsa. Nasib baik pastilah lahir dari pikiran baik, hingga mengakrabkan dengan sikap baik, kebiasaan baik, sampai melahirkan karakter baik, bukan? Jadi, apa baiknya melemparkan pikiran-pikiran yang keruh dan gelap dengan kalimat mengancam hingga merusak nalar? 

Jika Pak Amien masih bersikukuh melihat pesta demokrasi sebagai pertarungan dan perang, sama artinya Anda sedang membawa negeri ini ke masa lalu. Masa lalu itu sudah berada di belakang. Membawa ke sana, sama saja Anda tega menjadikan negeri ini dan rakyat di sini terbelakang. 

Semestinya kalau berbicara ingin maju, langkah kaki pastilah ke depan. Pikiran pun mestinya mengarah ke depan. Supaya selaras antara gerak dan pikiran. Tetapi, jika berbicara tentang mimpi ingin maju, namun tidak merasa berdosa mengajak untuk selalu ke belakang, sama saja ini dengan mengajak menuju ketidakwarasan. 

Kalaupun Anda sempat tergila-gila dengan kekuasaan, setidaknya janganlah menularkan kegilaan kepada orang-orang. Apalagi Anda adalah seorang tokoh berpengetahuan dan berpengalaman, pasti tahulah bagaimana kegilaan jika menular. Baik dan buruk akan sama saja.

Politik sudah membuat banyak pikiran keruh hingga gaduh. Jika Anda pun saat ini sedang dalam kekeruhan pikiran, cobalah jangan sampai satu samudera ikut keruh karena Anda memilih membiarkan air keruh itu mengalir ke mana-mana. 

Sudahlah, Pak Amien. (@zoelfick)  

***