Gerakan Politik Radikal Sayap Kanan, Sebuah Ancaman Peradaban NKRI

Minggu, 13 Januari 2019 | 18:16 WIB
0
296
Gerakan Politik Radikal Sayap Kanan, Sebuah Ancaman Peradaban NKRI
Ilustrasi NKRI (Foto: Universitas Abulyatama)

Gerakan politik radikal di Indonesia bukan hal baru, paska berdirinya NKRI berbagai gerakan radikal bersenjata dari berbagai aliran berusaha menjungkalkan pemerintahan baru seumur jagung. Pemerintahan Orde Lama berhasil memadamkan lewat operasi-operasi militer dan pembukaan keran demokrasi pada Pemilu 1955 untuk menampung aspirasi berbagai berbagai aliran politik, Indonesia berhasil melewati masa-masa sulit tersebut.

Memasuki Orde Baru gerakan politik radikal bersenjata hampir tak mendapat ruang gerak, pemerintah Soeharto sangat ketat mengawasi dan menindak dengan tegas dengan kekuatan militer. Saking ketatnya, baru sebatas saja inisiasi radikalisme sudah dipadamkan, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan intelektual muda dari kampus-kampus pada saat itu.

Kampus pada masa Orde Baru menjadi laboratorium ideal untuk menyemai radikalisme dan kaderasisasi aliran-aliran politik termasuk aliran politik radikal sayap kanan yang melahirkan anak-anak ideologis setelah reformasi, mereka itu pembentuk parpol dan ormas. Setelah Reformasi aliran politik sayap kanan radikal mendapat ruang gerak yang dijamin UU, aliran politik ini bertransformasi menjadi Parpol dan Ormas.

Tak ada yang salah pada gerakan radikal selama sebatas "isme" bukan tindakan politik yang memaksa kehendak dengan aksi melawan siapa yang berseberangan dengan pandangan politiknya.

Radikalisme adalah keniscayaan jaman dan bisa tumbuh untuk membawa kemajuan sebuah peradaban, menjadi persoalan lain saat gerakan ini menimbulkan ekses sosial, menyemai kebencian terhadap sesama yang memiliki latar belakangan Suku, Etnis dan Agama (SARA) berlainan, pada akhirnya justru bisa meruntuhkan peradaban.

Kebencian SARA dipakai untuk menciptakan musuh bersama dan membangun ikatan kebersamaan ideologi dan psikologi simpatisan dan pendukung, platform ini umum dipakai gerakan radikal di mana pun di dunia ini untuk membangun kekuatan politik. Kebencian kepada kelompok lain melahirkan sikap sosial tidak menghargai dan menghormati (intoleran) kepada penganut agama, suku adan ras lain yang sudah hidup di negara ini sebelum Indonesia merdeka.

Bila melihat peristiwa-peristiwa politik belakangan ini kecenderungan makin menguatnya sikap intoleran bakal semakin kuat di tahun politik ini, mengingat ada kelompok kepentingan sengaja menfaatkan militansi pendukung kelompok ini untuk menyerang pihak lain yang berseberangan dalam pandangan politik.

Dua kepentingan menyatu, pada satu sisi kelompok radikal sayap kanan butuh dukungan logistik untuk bertahan dan kelompok kepentingan butuh pasukan militan untuk menyerang. Modus dan dampak aksi gerakan politik radikal dapat dilihat di beberapa negara Timur Tengah, seperti di Suriah, Irak, dimana benturan kepentingan antara kelompok sekuler dan organisasi sayap kanan radikal menimbulkan kerusakan sosial dan peradaban.

Intoleransi adalah turunan dari aksi gerakan politik radikal, tidak semua orang bisa menerima klaim sebagai pendukung gerakan politik radikal meski beberapa survei telah membuktikannya.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sempat berang dan mempertanyakan metodologi hasil penelitian Setara Institut tahun 2018 yang menyimpulkan indeks kota toleran di DKI Jakarta rendah, bahkan menempati urutan 10 besar terendah dari 94 kota yang disurvei. DKI Jakarta senasib dengan 10 kota lainnya yang indeks toleransinya rendah, yakni :Tanjungbalai, Banda Aceh, Jakarta, Cilegon, Padang, Depok, Bogor, Makassar, Medan, dan Sabang.

Sebelumnya, Kementerian Agama tahun 2018 pada laporan 4 tahun pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla menyimpulkan Indeks Kerukunan Beragama di Indonesia turun dibandingkan tahun - tahun sebelumnya. Penyebabnya, menurut laporan itu antara lain 2 (dua) yaitu, pertama: pengaruh Pilkada serentak tahun 2017, kedua: pengaruh perkembangan informasi HOAX dan Kebencian di media sosial.

Tak berlebihan bila Kemenag RI berkesimpulan seperti itu, drama politik pada Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 telah membuka secaranya nyata keberhasilan gerakan politik sayap kanan dalam menyemai bibit radikalisme yang melahirkan sikap intoleransi sosial dan politik.

Tak berlebihan bila hasil penelitian Setara Institut menempatkan DKI Jakarta dalam 10 kota dengan Indeks Tolenransi Rendah, secara tidak langsung merupakan cerminan dari peristiwa politik penuh haru biru kebencian Agama dan Ras pada Pilkada 2017 di DKI Jakarta

Gerakan politik radikal sayap kanan dan politik identitas mendapat angin segar untuk berkembang setelah 10 tahun rezim SBY memelihara kelompok ini untuk mendukung mendukung eksistensi politiknya. Tercatat, Hizbut Tahir Indonesia (HTI) adalah gerakan politik radikal sayap kanan yang berkembang pesat pada era SBY, cabang - cabang berada di seluruh Indonesia dan sukses membangun jaringan efektif untuk mendukung gerakan politik mereka.

HTI dalam retorikanya selalu menyatakan organisasinya tidak membahayakan NKRI, faktanya dalam manifesto politiknya tersurat ingin menggantikan ideologi Pancasila dangan ideologi mereka. Artinya HTI tidak akan mentoleransi kelompok - kelompok berbeda pandangan politik, apalagi terhadap pemerintah sebagai penjaga ideologi pemersatu bangsa, yaitu Pancasila.

Bila saat ini HTI terlihat bisa bekerjasama dengan kelompok di luar garis ideologinya sebatas aksi taktis untuk bertahan dan berlindung dari pihak - pihak yang mengancamnya. Ketika pemerintah JKW-JK tak lagi memperlakukan HTI secara istimewa seperti pemerintah SBY, HTI kehilangan patron politik meski mempunyai massa signifikan tapi kehilangan daya tawar politik.

Dalam kontestasi politik Pemilu 2019, aliran politik terbelah ke dalam dua kubu Paslon 01 dan Paslon 02, secara kasat mata JKW - Amien didukung oleh kelompok nasionalis, sayap kanan moderat dan masyarakat sipil (civil society), di pihak Paslon 02 berkumpul bersatu juga kelompok - kelompok politik aliran sayap kanan yang dulu pernah menjadi peliharaan pemerintahan SBY dan patron Prabowo dalam membangun kepentingan politiknya sejak jaman Orde Baru.

Kubu Paslon 02 terus membantah pihaknya didukung kelompok sayap kanan radikal dan menuduh pihak Paslon 01 didukung radikalis, seperti diungkapkan Hidayat Nur Wahid salah satu timses Paslon 02. Pentolan PKS ini adalah pembela sejati kelompok politik sayap kanan radikal, bahkan ketika BIN merilis ulama-ulama bergaris politik radikal, Hidayat berusaha mengaburkannya dan menuduh BIN sembarangan mengumbar data rahasia ke masyarakat.

Sebenarnya tak mengherankan, PKS tempat bernaung Hidayat menolak Pancasila sebagai asas tunggal dalam RUU Ormas. Sikap ini aneh,  PKS berdiri dibawah ranah hukum positif NKRI tapi tak mengakui Pancasila dengan segala alasannya. Bahkan pihak PKS menawarkan klausul asas lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila, tentu saja usulan PKS ditentang kelompok Islam tradisional yaitu PKB. Lewat Wakil Sekjen PBNU Sulton Fatoni pernah mempertanyakan niat politik PKS ini.

“Kalau tidak mau Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara, agenda apa lagi yang sedang disusun untuk masa depan negara ini?” ucap Fatoni kepada duta.co (8 Mei 2917)

Faktanya, aksi radikal di pihak Paslon 01 masih dalam tataran untuk membangun NKRI lebih baik, bukan bertujuan untuk meruntuhkannya dan membangunnya dengan ideologi baru. Masyarakat umum pasti akan bingung dengan perdebatan soal gerakan radikal politik sayap kanan ini, sebab memang dibuat membingungkan oleh mereka agar mudah disamarkan aksinya dalam meruntuhkan peradaban NKRI yang sedang giat kita bangun.

***