Oleh : Andi Kurniawan
Wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menuai dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat. Dukungan dan apresiasi sangat tinggi tersebut, termasuk juga datang dari dua organisasi Islam terbesar di Tanah Air, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menyatakan apresiasi dan dukungan terhadap langkah pemerintah dalam memproses pemberian gelar tersebut.
Kedua organisasi itu menilai bahwa Soeharto merupakan tokoh yang termasuk penting dalam sejarah Republik Indonesia yang telah memberikan kontribusi besar bagi perjuangan kemerdekaan, pembangunan nasional, serta stabilitas negara selama masa kepemimpinannya.
Dukungan pertama datang dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui Dr. Makroen Sanjaya, Pimpinan Majelis Pustaka dan Informasi. Ia menilai bahwa Soeharto sebagai figur dengan jasa yang tidak dapat diabaikan dalam perjalanan bangsa ini.
Dalam pandangannya, Soeharto bukan hanya berperan sebagai pemimpin pembangunan saja, tetapi juga menjadi bagian penting dari pejuang kemerdekaan. Ia menegaskan bahwa Soeharto ikut terlibat langsung dalam perang gerilya dan memiliki peran penting dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, sebuah peristiwa yang menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Indonesia di mata dunia.
Makroen menilai, kiprah Soeharto selama memimpin Indonesia juga mencerminkan keberhasilan dalam menjaga arah pembangunan nasional. Melalui kebijakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), Soeharto berhasil membawa Indonesia menuju era pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Keberhasilan swasembada beras pada 1980-an, program Keluarga Berencana (KB) yang efektif, serta stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan yang terjaga selama masa pemerintahannya disebut sebagai bukti nyata kepemimpinan Soeharto.
Ia juga menegaskan bahwa Muhammadiyah memandang gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi dan pengabdian panjang seorang pemimpin terhadap bangsa.
Menurutnya, tidak seorang pun dapat memungkiri jasa besar Soeharto terhadap Indonesia. Pandangan itu sejalan dengan sikap Muhammadiyah pada tahun 2012, ketika organisasi tersebut juga mendukung pengusulan Presiden pertama, Soekarno, sebagai Pahlawan Nasional.
Dalam pandangan Muhammadiyah, baik Soekarno maupun Soeharto memiliki kontribusi besar dalam dua fase penting perjalanan republik, yakni fase perjuangan kemerdekaan dan fase pembangunan nasional.
Makroen juga menyinggung pandangan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya menghormati jasa para pendiri dan pemimpin bangsa. Ia menyebut, semangat penghargaan terhadap jasa tokoh bangsa menjadi bagian dari pendidikan moral kebangsaan yang harus terus dipelihara.
Makroen bahkan mengingatkan tentang kedekatan historis antara Soeharto dan Muhammadiyah. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh pada 1995, Soeharto pernah menyebut dirinya sebagai “bibit Muhammadiyah”, sebuah pernyataan yang menunjukkan keterikatan historis antara dirinya dan gerakan Islam modernis tersebut.
Dalam pandangan Makroen, keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah. Namun, mayoritas masyarakat dinilai mendukung penuh usulan agar Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Sikap tersebut dianggap sebagai bagian dari penghormatan terhadap jasa besar yang telah ditorehkan dalam perjalanan bangsa.
Sementara itu, dukungan serupa juga datang dari kalangan Nahdlatul Ulama. KH Arif Fahrudin, tokoh NU yang juga menjabat Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), menilai Soeharto layak menerima gelar Pahlawan Nasional karena kontribusinya yang besar terhadap pembangunan dan stabilitas nasional.
Menurutnya, masa kepemimpinan Soeharto menjadi fase penting dalam sejarah Indonesia ketika negara berhasil menegakkan fondasi ekonomi, menjaga keamanan, serta mengangkat nama Indonesia di kancah internasional sebagai salah satu kekuatan ekonomi baru di Asia.
Arif menilai bahwa keberhasilan Soeharto tidak hanya terbatas pada bidang ekonomi, melainkan juga meliputi kontribusinya dalam memperkuat nilai-nilai sosial dan keagamaan di masyarakat.
Ia menegaskan, bangsa Indonesia harus belajar menghargai jasa pemimpinnya tanpa terus-menerus mengungkit sisi kelam masa lalu. Dalam pandangannya, tidak ada manusia yang sempurna, dan setiap pemimpin memiliki kelebihan serta kekurangannya masing-masing.
Selain itu, Arif juga menyampaikan bahwa semua mantan presiden Indonesia memiliki jasa besar dan layak dihormati tanpa terkecuali. Dalam konteks tersebut, ia mendukung langkah Kementerian Sosial yang telah mengusulkan nama Soeharto sebagai calon penerima gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, langkah tersebut menunjukkan sikap kenegarawanan Prabowo yang berusaha merangkul semua elemen bangsa dan meneguhkan semangat persatuan nasional.
Ia menilai, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sekaligus dapat menjadi momentum rekonsiliasi sejarah bangsa. Penghargaan terhadap jasa pemimpin masa lalu, dalam pandangannya, tidak berarti melupakan masa lalu, tetapi menjadi bentuk kedewasaan bangsa dalam menempatkan sejarah secara objektif dan proporsional.
Apresiasi yang disampaikan oleh tokoh-tokoh dari NU dan Muhammadiyah mencerminkan sikap besar dua ormas Islam terbesar di Indonesia dalam melihat sejarah secara utuh. Dukungan tersebut memperkuat pandangan bahwa penghargaan terhadap jasa para tokoh bangsa harus ditempatkan di atas perbedaan politik masa lalu.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan sekadar penghormatan terhadap individu, tetapi juga pengakuan terhadap era pembangunan yang telah membentuk arah perjalanan bangsa.
Dalam konteks yang lebih luas, apresiasi dari NU dan Muhammadiyah menjadi cerminan kedewasaan bangsa dalam menilai sejarahnya sendiri—bahwa menghargai jasa masa lalu merupakan langkah penting menuju masa depan yang lebih bersatu dan berdaulat. (*)
)* Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews