Mengapa Saya Jengkel Permadi Arya alias Abu Janda Dilaporkan?

Masalah-masalah sepele seperti hinaan pribadi tidak dilebarkan menjadi isu rasis dan dibesar-besarkan demi mencapai kericuhan dan kesan 'benar' bagi kelompoknya.

Minggu, 31 Januari 2021 | 19:32 WIB
0
225
Mengapa Saya Jengkel Permadi Arya alias Abu Janda Dilaporkan?
Permadi Arya a.k.a Abu Janda (Foto: viva.co.id)

Saya mengikuti berita-berita tentang Permadi Arya yang dilaporkan ke polisi karena telah menghina salah satu tokoh dengan jengkel. Kejengkelan subyektif, karena dipengaruhi alasan subyektif: saya lebih percaya pada aura Permadi Arya dibanding orang yang dianggap dihinanya.

Mungkin belum ada penjelasan ilmiah tentang aura, sehingga pandangan saya yang berdasarkan aura yang saya tangkap, dan gesture keduanya bisa jadi sangat emosional dan belum tentu benar. Ini masih ditambah saya kenal pribadi dengan Permadi, meski hanya via chatting. Ia terasa humble dan lebih jujur bagi saya. Sedang yang satunya terasa berangasan, mengada-ada, dan punya motif politis yang tak sekadar menjatuhkan Permadi.

Ini menjengkelkan saya, meski belum tentu pendapat saya benar. Lebih lagi ketika saya melihat hinaan pribadi dibawa-bawa menjadi rasis. Ibarat saya kecil dihina 'bego' sama seorang teman, lalu mengadu sama teman sekelas bahwa kami sekelas dihina bego. Lalu terjadilah perkelahian tak perlu melibatkan anak sekelas akibat mulut 'comberan' saya.

Intinya, saya membenci 'hyper sensitivitas' si tokoh dan sekelompok orang atas hinaan Permadi, disamping sedikit berprasangka: pasti ada motif politis. Bisa jadi saya sama hyper sensitifnya sama mereka.

Begitulah, kasus menyebalkan itu tanpa sengaja membuat saya mengaitkannya pada buku yang kebetulan sedang saya baca: Pergulatan Demokrasi Liberal 1950-1959. Sebuah buku sejarah yang berawal dari edisi khusus Tempo tahun 2007. Buku itu saya beli sebab saya selalu teringat wawancara majalah Matra dengan almarhum Adnan Buyung Nasoetion. Si Abang, demikian panggilannya, selalu terkesan pada masa demokrasi parlementer itu, hingga menjadikan Sidang-sidang Konstituante sebagai disertasi doktornya.

Saat membaca wawancara itu, saya masih kuliah, masih era Orde Baru. Di masa Orba, pelajaran sejarah membahas demokrasi liberal itu sebagai masa gagal karena tak sesuai dengan kepribadian bangsa. Bebas sebebas-bebasnya, tak menghiraukan keadaan dan kepentingan orang lain.

Ternyata apa yang ditulis di buku itu menunjukkan fakta yang berbeda dari pelajaran sejarah era Orba itu. Pemilu 1955 memiliki tingkat partisipasi tinggi hingga 91 persen, dengan jumlah suara sah mencapai 88 persen. Padahal tingkat melek huruf masih rendah saat itu. Bahkan di Jakarta, 80 persenpenduduk masih buta huruf. Tidak heran saat pencoblosan, bamyak pemilih cukup bingung dengan lambang partai yang berjumlah 100. Sering terdengar teriakan dari bilik suara:

-lambang banteng PNI yang mana?
-lambang Masyumi yang mana?

Petugas pun tergopoh-gopoh datang untuk memberi tahu. Dan mereka cukup dapat dipercaya.

Baca Juga: Mata Genit Abu Janda

Suasana pun cukup aman. Tak ada laporan kerusuhan apapun. Yang ditugaskan mengamankan Pemilu hanya polisi, itupun kontrolnya sambil lalu, karena jumlah polisi masih sedikit. Dan hanya dengan mengendarai sepeda ontel!

Hal menarik lainnya adalah saling cerca di panggung politik. Dalam suatu kampanye di lapangan Banteng, juru kampanye PKI membakar semangat massa dengan mengatakan, "Jika Masyumi menang, lapangan ini akan berubah menjadi lapangan Onta..."

Di hari lainnya, jurkam Masyumi berkata, "Jika PKI menang, Lapangan Banteng akan berubah menjadi lapangan Merah seperti di Kremlin, Moskwa." Jurkam tersebut juga mengejek Partai NU sebagai Partai Nasi Uduk. Demikian yang diceritakan Alwi Shahab, pengamat budaya Betawi.

Di Jakarta, Masyumi keluar sebagai pemenang. Lapangan Banteng ternyata tidak berubah menjadi Lapangan Onta. Menarik disimak juga peran kartun pada era demokrasi parlementer itu. Masa itu kartun sangat vokal, bebas menyerang lawan, baik kebijakan maupun tokohnya.

Situasi penuh perseteruan di media, karena kekuatan berbagai pihak nyaris berimbang. Seperti peran media sosial masa kini, masa itu untuk merebut opini, setiap kelompok menggunakan media massa. Masing-masing kelompok memiliki korannya sendiri. Seorang tokoh politik dapat diopinikan sebagai pahlawan di suatu koran, sekaligus pecundang di koran lain.

Menggunakan hewan sebagai kiasan pun bebas dilakukan. Golongan Islam digambarkan sebagai onta, nasionalis sebagai banteng, dan komunis sebagai beruang. Namun seperti juga Pemilu 1955 yang adem, keriuhan dan perang opini hanya ada di media. Tak sampai turun ke jalan, tak sampai mengganggu kehidupan sehari-hari.

Keseharian di parlemen juga menarik untuk diamati. Perseteruan hanya ada di ruang sidang. Di luar sidang mereka saling ngobrol, ngopi dan akrab. Ketua Masyumi, Natsir ngopi dengan Ketua CC PKI, DN Aidit. Natsir pula terkenal dengan persahabatannya dengan Ketua Partai Katholik, IJ Kasimo. Mereka berdua sering jalan-jalan dan nongkrong bersama sampai ke Braga.

Yang menarik tentu saja penggambaran koruptor. Masa itu koruptor digambarkan sebagai kucing, dan bukan tikus seperti saat ini. Konon karena koruptor masa itu tidak semenjijikkan tikus, seperti koruptor masa kini. Masih ada manisnya.

Menarik disimak, era demokrasi liberal sempat membangkitkan semangat pemberantasan korupsi. Tanpa harus membentuk badan khusus seperti KPK, jaksa-jaksa masa itu sangat kukuh, tidak menyisakan sedikitpun ruang untuk berkompromi. Demikian juga para hakim di pengadilan. Indonesianis, Daniel S. Lev memberikan gambaran, era 1950an dunia hukum Indonesia masih memiliki integritas. Ketua MA memiliki kewibawaan tinggi, dan menempatkan diri sederajat dengan presiden.

Semua kisah itu membuat saya terpana dan semakin jengkel pada kisah pelaporan Permadi, sesuatu yang banyak terjadi masa kini. Keributan tak subtansial di ranah politik. Meski bisa jadi masyarakat akar rumput 1950an tidak sedamai para elite-nya yang dikisahkan dalam buku ini. Paling tidak para tokoh memberi contoh positif.

Buku itu juga tak melulu menceritakan hal-hal indah tentang masa demokrasi liberal. Di bagian kolom, Nono Makarim menulis 'nostalgia adalah gejala lumrah dalam kehidupan orang'. Masa lalu selalu menang dalam perbandingan masa kini. Kita selalu mengenang masa lalu sebagai menyenangkan. Kita mengingat 1950an sebagai gambaran ideal tentang civil society: mereka yang berdiskusi politik dengan kalem, tenang dan damai sembari minum teh.

Di masa kabinet Sukiman, di era itu, ada kekonyolan luar biasa yang terjadi. Saat itu M. Yamin sebagai menteri kehakiman jalan sendiri membagi amnesti pada 950 tahanan. Tanpa memberi tahu pihak militer yang menahan mereka. Beberapa hari kemudian amnesti dibatalkan dan 950 orang yang sudah keluar dari penjara dikejar lagi untuk dijebloskan dalam tahanan. Upaya pengejaran gagal. Kejahatan meningkat, keamanan merosot.

Nostalgia adalah gejala lumrah dalam kehidupan orang, tulis Nono Makarim lagi. Bentuk nostalgia yang paling menonjol saat ini adalah keinginan munculnya pemimpin yang tegas. Bagi Nono, setelah hampir 40 tahun kita diperintah diktator, gejala ini menakutkan.

Antropolog dan psikolog kognitif membagi penduduk dunia dalam dua kubu: yang memiliki tradisi oral atau lisan, dan yang bertradisi tulis. Orang Indonesia umumnya bertradisi lisan, sehingga memiliki keterbatasan dalam menggali memorinya tentang masa lalu.

Memori mereka juga bersifat segmental dan fragmentaris. Memori tentang Soeharto bagi pendamba nostalgia seringkali hanya sebatas kepemimpinan yang tegas saja, sebatas subsidi minyak yang membuat hidup terasa ringan. Tidak menyerap seluruh aspek rezimnya yang korup dan sarat kekerasan.

Alih-alih paham efek subsidi, korupsi dan kekerasan dalam jangka panjang bagi institusi sosial dan negara. Di titik ini saya teringat seseorang yang bercerita pada saya tentang karma komunal yang buruk dari masa itu belum bisa selesai hingga saat ini.

Tentang pemimpin yang tegas itu saya teringat kutipan pendapat Indonesianis, Herbert Feith di awal buku. Dalam disertasinya ia menyebut pembagian tipe pemimpin di Indonesia pada 1950an. Ada dua tipe, yaitu administrator (ahli pemerintahan) dan solidarity maker (pemimpin massa). Yang masuk kategori administrator adalah orang yang memiliki kemampuan hukum, teknis pemerintahan, dan kecakapan untuk menjalankan pemerintahan modern. Mereka sangat mengutamakan pembangunan ekonomi.

Sedang solidarity maker adalah mereka yang memiliki keahlian menghimpun dan menggelorakan massa, memberi harapan muluk tentang masa depan Indonesia, tetapi tidak memiliki kecakapan untuk mewujudkannya. Menurut Feith, makin hari Indonesia dikuasai para pengorganisasi massa yang pemikirannya sentimental dan tak rasional.

Baca Juga: Seberapa Bersalahkah Abu Janda?

Di titik ini saya terdiam. Buku ini ditulis tahun 2007. Saat media sosial belum marak, dan apa yang didengungkan sebagai post truth belum terlalu berasa. Para demagog yang gemar berdemo rusuh dengan modal nasi bungkus belum marak. Masalah-masalah sepele seperti hinaan pribadi tidak dilebarkan menjadi isu rasis dan dibesar-besarkan demi mencapai kericuhan dan kesan 'benar' bagi kelompoknya, serta mendiskreditkan kelompok yang tak disukainya.

Tak ada tanggung jawab sosial dari setiap aksi yang dilakukan: apakah efeknya akan buruk bagi keutuhan bangsa. Politisi, selebriti, pesohor, semua mendadak menjadi kompor. Tak hendak mengajarkan tentang maaf dan rekonsiliasi. Kita bahkan mundur dibanding politisi jadul era 1950an itu.

Di titik ini saya teringat pandangan subyektif saya tentang aura seseorang tadi. Bisa jadi prasangka subyektif saya tak seratus persen salah. Bisa jadi yang seperti itu banyak.

#vkd

***