Materi RUU yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti ini pastilah menimbulkan aksi dan reaksi. Dan justru inilah yang mestinya kita hindari dalam masa pandemi ini.
Demonstrasi menolak UU "Omnibus Law" Cipta Kerja marak di mana-mana. Kaum pekerja/buruh, mahasiswa dan pelajar ramai-rdamai turun ke jalan menyuarakan aspirasi rakyat yang menentang. Bahkan sampai di kota-kota kecil seperti Parepare dan Bone, Sulsel, kampung halaman saya.
Kombinasi antara kaum pekerja/buruh, mahasiswa dan pelajar di hampir semua urban centers, merupakan kekuatan yang dahsyat dalam sejarah pergerakan di negeri ini. Masalahnya, justru konsentrasi massa dalam jumlah yang besar inilah yang perlu kita hindari dalam masa pandemi ini.
Sejak awal Partai Demokrat telah mengingatkan pemerintah dan partai-partai pendukungnya di DPR agar menunda pembahasan RUU Ciptaker ini. Tidak ada urgensinya untuk terburu-buru membahas RUU yang sebelumnya disebut RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka).
Kita mestinya fokus pada upaya menangani pandemi dengan segala masalahnya. Apalagi dalam bentuk Omnibus Law yang meniscayakan perlunya konsultasi yang luas dengan berbagai stakeholder yang penting.
Hanya ada dua kemungkinan skenario. Yang pertama, pemerintah dan partai-partai pendukungnya tidak mengantisipasi bahwa UU Ciptaker ini akan menuai gelombang demonstrasi yang besar di mana-mana. Yang kedua, memang pemerintah telah memperkirakan hal itu, tapi pemerintah tidak peduli dan terus membuldozer proses pembahasan dan penetapan RUU Ciptaker ini.
Jika yang pertama, artinya pemerintah dan partai-partai pendukungnya terlalu naif, terlalu percaya diri dan tidak mampu menyelami realitas masyarakat. Kekuasaan telah membuat mereka terlena (entah dalam buaian siapa) dan menjauh dari rakyat.
Jika yang kedua, artinya pemerintah dan partai-partai pendukungnya memang tidak peduli dengan rakyat. Mereka tahu bahwa UU Ciptaker ini akan menimbulkan reaksi massa rakyat di mana-mana, dan mereka juga tahu konsentrasi massa yang besar akan juga memicu maraknya klaster-klaster baru Covid-19 di mana-mana.
Dan masalah pandemi kita akan terus merebak dan menanjak. Dan resesi ekonomi yang mengikutinya akan semakin dalam. Dan nasib rakyat semakin terpuruk. Tapi pemerintah dan partai-partai pendukungnya tidak peduli.
Bandingkan misalnya dengan antisipasi untuk mencegah merebaknya klaster-klaster baru dalam rangka penyelenggaraan pilkada serentak. Berbagai aturan disiapkan termasuk berbagai pembatasan kampanye untuk mencegah konsentrasi massa. Walaupun tetap banyak yang mengkritik dan ada berbagai pelanggaran, tetapi paling tidak ada antisipasi.
Saya tidak tahu apa dasar pemikiran pemerintah dan partai-partai pendukungnya untuk terus memaksakan pembahasan dan penetapan RUU Ciptaker ini. Terkesan mengejar target, entah dari siapa, dan tidak peduli dengan konsekuensinya.
Baca Juga: Demo Omnibus dan Tuntasnya Politik Pandemi
Padahal kita tahu, materi RUU yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti ini pastilah menimbulkan aksi dan reaksi. Dan justru inilah yang mestinya kita hindari dalam masa pandemi ini. Agar kita semua bisa fokus untuk survive melewati masa pandemi ini.
Sebenarnya masih ada satu jalan: Presiden Jokowi segera mengesahkan berlakunya UU Ciptaker ini, dan semenit kemudian menandatangani Perpu untuk membatalkannya. Toh, ini juga pernah dilakukan. Persoalannya, maukah dia?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews