Komplain Buruknya Wisma Atlet, Gugus Tugas Covid-19 Balas dengan Respon Cepat!

Memang kesiapannya belum maksimal, jumlah yang datang cukup banyak sampai 1000 orang, tempat belum siap 100 %, lift hanya berfungsi 2 dan petugas KKP-nya sedikit.

Rabu, 20 Mei 2020 | 14:49 WIB
0
190
Komplain Buruknya Wisma Atlet, Gugus Tugas Covid-19 Balas dengan Respon Cepat!
RS Darurat Wisma Atlet Jakarta. (Foto: Investor.id)

Ada cerita manarik dari Kunaifi, Awardee LPDP program Doktoral di University of Twente. Terpaksa pulang ke Indonesia di tengah corona bersama istri dan dua anak karena visa dan beasiswa hampir habis.

Kunaifi sekeluarga dari Belanda ke Indonesia pada Kamis, (14/05/20). Mereka mendarat di Bandara Soekarno Hatta, langsung dibawa ke wisma atlet kemayoran bersama rombongan TNI untuk dikarantina, meski rapid test menunjukkan hasil yang non reaktif.

Berikut petikan lengkap cerita Wisma Atlet yang disampaikan Kunaifi yang viral di media sosial dan Grup WA ini yang saya kirim kepada Letjen TNI Doni Monardo, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19:

Kami masuk ke Wisma Atlet Kemayoran hari Sabtu siang. Yang saya amati di gedung C2 Wisma Atlet Kemayonan bahwa social distancing tidak terlaksana sama sekali. Tidak ada yang perlu disalahkan tapi ada yang bisa dibenahi.

Pihak TNI dan petugas di sini terlihat telah berupaya semaksimal mungkin dengan segala daya yang mereka punya. Namun, penularan terus terjadi. Melalui berbagai pengumuman kami diberitahu bahwa penularan terjadi karena banyak warga wisma turun ke lantai 1.

Itu benar, tapi hanya salah satu penyebab. Yang juga penting digali adalah akar penyebab mengapa orang pergi ke lantai 1? Mengapa orang tetap berdesakan? Penyebabnya menurut saya sbb:

Satu. Distribusi makanan dan porsi makanan. Di hari Sabtu makanan dibagikan di lantai 1. Setiap orang mengambil makanan sendiri ke kantong-2 plastik di langai 1. Orang turun ke sana dan berdesakan tanpa jarak.

Hari Senin orang dilarang turun ke lantai 1. Makanan diantar ke setiap lantai. Tapi, jumlah makanan selalu kurang sehingga orang mulai berebut. Lagi-lagi, tak ada jaga jarak saat berebut makanan di setiap lantai.

Sahur tadi makanan datang setelah azan subuh. Kami berempat sekeluarga, tapi hanya dapat 2 kotak nasi. Malam ini keluarga saya malah tak dapat makanan. Kami puasa dan tadi sahur berempat dengan dua makanan. Malam ini saya terpaksa turun ke lantai 1 mesan makanan lewat gofood.

Mengapa jumlah makanan selalu kurang? Mungkin karena porsi setiap kotaknya terlalu kecil. Anak saya yang besar dan kawan-kawan ABK yang masih muda-muda dan kuat-kuat itu butuh porsi paling tidak 3x lipat dibanding yang dibagikan.

Walhasil mereka ambil lebih dari 1 kotak sehingga yang ingin jaga jarak tak kebagian jatah karena keduluan mereka yang 'kuat berebut.' Mereka tak salah mengambil lebih, karena porsinya memang kecil.

Jika cara membagikan makanan tidak diubah, orang tetap akan berdesakan dan berebut makanan. Jika porsi makanan tidak ditambah, orang tetap akan ambil lebih dan yang tak kebagian tetap akan mencari solusi ke lantai 1.

Mulai Senin malam orang dilarang pesan makanan lewat gofood. Pertanyaan: mereka yang tidak dapat makanan akan makan apa, bukankah makanan tidak cukup?

Dua. Penggunaan lift wajib dikontrol ketat. Di hari Sabtu sore, aparat TNI yang menjaga lift di lantai 1 malah berusaha memenuhkan lift. Di dalam lift, bahu ketemu bahu. Anak-anak saya ketakutan bersentuhan serapat itu dengan orang-orang yang baru datang dari negara-negara pandemi Covid, saya dan istri juga takut.

Sudah 2 bulan lebih kami di rumah saja di Eropa, sehingga agak ketakutan bertemu orang serapat itu. Tapi jika menunggu lift sepi, kami tak kan pernah sampai ke kamar di lantai 19. Koper kami 5 dan besar-besar, tak bisa diangkat lewat tangga walaupun kami ingin melakukannya.

Pak TNI juga tidak salah karena memenuhkan lift, sebab jika lift dibuat sepi, antrian di depan pintu lift akan sangat sangat panjang karena orang sangat ramai dan pendatang baru terus datang.

Lift juga sepertinya jarang (atau mungkin malah tidak pernah) dibersihkan. Bekas tangan dan jari amat jelas di tombol dan dindingnya. Berapa jari sudah menekan tombol-tombol di lift itu? Jari saya juga sering menyentuhnya. Saya alas dengan tissue tapi tentu tak sempurna terlindungi.

Tiga. Kami masuk Wisma Atlet tanpa protokol. Tidak ada aturan main di sini. Minimal kami tidak diberi tahu. Tak ada banner atau tanda-tanda penting di dinding. Orang seolah dituntut untuk cerdas sendiri.

Orang tak tahu apa yang dilarang sehingga tetap melakukan kesalahan dan membuat pak TNI marah-marah di mikrofon. Tapi, orang tidak tahu protokol kesehatan Covid yang benar itu seperti apa?

Masih ada yang keluar kamar tanpa masker. Tidak sedikit yang ngobrol bergerombol sambil berpelukan. Ada yang makan di tangga. Tidak semua warga wisma ini adalah para pembaca berita.

Profesi orang di sini beragam; ABK, TKI, pelajar, dll. Tak semuanya sudah paham sebelum datang ke sini. Perlu ada upaya untuk membuat orang paham dengan pesan2 yang gamblang. Bukankah ini adalah pusat pengendalian Covid di Jakarta?

Untuk promosi politik dan keberhasilan pejabat banyak infografis cantik, tapi di sini kok tidak ada? Jadi, segala bentuk ketidakdisiplinan dan pengabaian itu ada latar belakang yang mendorongnya terjadi.

Ada resiko besar di balik itu. Itulah yang harus dibenahi segera. Warga wisma ini kebanyakan hanyalah orang-orang yang tak tahu apa-apa saat dibawa ke sini. Kami sekeluarga begitu terkejut saat turun di Soetta langsung diangkut ke sini.

Kami tidak dikabari siapapun sebelumnya. Andai kami tahu, mungkin kami memilih tinggal dulu di Eropa yang jauh lebih aman dan nyaman. Hak kami untuk tahu tidak diberikan. Sekarang di sini hak kami untuk makan dan berjarak pun sedang terancam.

Tolong sampaikan ini kepada orang-orang di atas sana. Mungkin mereka belum tahu detail-detail berbahaya yang sedang berlangsung di sini. Jika tidak ada perubahan sistem, sebaiknya lepaskan saja kami.

Di luar sana kami punya ruang yang luas untuk jaga jarak, menjaga diri dan orang lain. Jangan sampai kami yang sehat saat berangkat dari luar negeri justru terjangkit di pusat pengendalian Covid ini. Jangan sampai Wisma Atlet menjadi pusat penularan Covid.

Pengelola wisma melihat masalah dari sudut pandang mereka. Saya melihat dari sudut pandang selaku warga wisma. Tidak untuk menyalahkan siapa-siapa, tapi andai kedua sudut pandang dipertemukan, mungkin kita lebih cepat membuat perbaikan.

Wakil Panglima Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) RS Darurat Wisma Atlet Brigjen TNI M. Saleh melaporkan ke Doni Monardo yang kemudian diteruskan ke WA saya.

Tentang masalah Repatriasi Doktor Kunaifi dari Inggris bahwa beliau masuk hari Sabtu 14 Mei gelombang 1 awal baru dibuka Tower 9 Wisma Atlet Pademangan bukan di RS Darurat Wisma Atlet.

Memang kesiapannya belum maksimal, jumlah yang datang cukup banyak sampai 1000 orang, tempat belum siap 100 %, lift hanya berfungsi 2 dan petugas KKP-nya sedikit.

Sehingga sampai Minggu baru bisa berjalan dengan baik. Sekarang masih ada perbaikan fasilitas tower 8, 9, dan 10 dan sistem manajemen pemeriksaan sampai dengan pengembalian sudah berjalan dengan baik, rata-rata perhari kemampuan lab 500 specimen.

Hari ini Rapat Evaluasi dipimpin Pangdam Jaya Mayjen TNI Eko Margiyono, MA dengan tindak lanjut sebagai berikut:

Yang Pertama. Melakukan peningkatan manajemen mulai dari sistem penerimaan di Bandara, pengamanan, dukungan logistik, kesiapan fasilitas dan pemeriksaan lab/Swab sampai dengan pengembalian.

Yang Kedua. Mengingkatkan koordinasi antar lembaga/tim kerja mulai dari KKP, Imigrasi, Otoritas Bandara & Pelabuhan, PUPR, BUMN, TNI dan Polri, sehingga semua kendala yang dihadapi dapat solusi yang terbaik.

Kendala Percerpatan kesiapan Tower khususnya Lift di Tower 8 dan 10. Demikian kami laporkan. Salam Tangguh. Salam Kemanusiaan.

Pada Selasa, 19 Mei pukul 20:13 saya kirim WA ke Doni; Rabu, 20 Mei pukul 00:56 Doni membalasnya.

***