Binatang Politik

Dalam situasi krisis, seorang pemimpin yang buruk, kehancurannya semakin cepat; krisis akan mempercepat ke arah yang negatif karena krisis memiliki kecenderungan melebihkan.

Rabu, 22 April 2020 | 20:59 WIB
0
333
Binatang Politik
Socrates (Foto: Qureta.com)

Socrates adalah seorang filsuf kondang. Ia lahir pada tahun 470 SM di Alopeca, sebuah dusun di Attica, Athena, Yunani.

Salah satu yang menarik dari Socrates adalah kisah kematiannya. Kematiannya mengungkapkan penghormatan klasik terhadap negara. Kepentingan negara nomor satu, melampaui kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan golongan, dan kepentingan apa pun.

Pada tahun 399 SM, ia diadili. Ada dua tuduhan yang dijatuhkan padanya: tidak menghormati dewa-dewa tetapi malah memperkenalkan dewa baru dan merusak kaum muda.

Akhirnya Socrates dijatuhi hukuman mati. Sebelum eksekusi mati dilaksanakan, teman-temannya menyarankan agar dia melarikan diri dengan menyogok sipir.

Ia menolak. Menurut Socrates, menyuap sipir dan melarikan diri bertentangan dengan hukum dan prinsip kota. Ia tidak peduli akan nasibnya. Walau, hidupnya harus berakhir dengan kematian.

Akhirnya, ia meminum racun, sesuai keputusan pengadilan. Dan, mati! (Stephen Law; 2007).

Keputusan Socrates—mengacu pada  pendapat Aristoteles (384-322 SM) bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang politik—telah menegaskan perbedaan antara manusia (binatang politik) dan binatang lainnya. Manusia mampu menyingkirkan kepentingan diri demi kepentingan yang lebih besar, yakni negara dan hukum (aturan).

Hal lain, yang membedakan “binatang politik” dengan binatang lain--selain kemampuan kita berbicara—adalah kemampuan  untuk membedakan apa yang adil dan tidak adil, yang baik dan jahat, jujur dan tidak jujur, dan tentu saja, “binatang politik” memiliki hati nurani.

Di kala negara menghadapi situasi krisis seperti sekarang ini, akan mudah menunjukkan “apa yang benar-benar membedakan ‘binatang politik’ dan binatang lain.”

Yang dibutuhkan negeri ini—sekarang ini--adalah “binatang-binatang politik” (manusia-manusia) yang memiliki hati nurani, memiliki rasa kemanusiaan, memiliki rasa compassion, bela rasa, terhadap penderitaan orang lain, yang mau menyingsingkan lengan bajunya untuk berkerja bahu-membahu, gotong royong dengan orang lain melawan dan menghentikan rantai penyebaran virus Covid-19.

Sebab, Indonesia adalah rumah kita bersama; bukan rumah dia, bukan rumah mereka, bukan rumah kami, apalagi rumah saya!

Kebersamaan dan semangat persaudaraan menjadi sangat penting, dan bahkan kunci dalam mengahadapi krisis saat ini. Orang selalu mengatakan, seorang pemimpin diuji pada saat menghadapi krisis.

Dalam situasi krisis, seorang  pemimpin yang buruk, kehancurannya semakin cepat; krisis akan mempercepat ke arah yang negatif karena krisis memiliki kecenderungan melebihkan baik dalam arti positif maupun negatif.

Tetapi, yang diuji, sebenarnya, tidak hanya pemimpin! Melainkan juga  semua anggota masyarakat, tentu termasuk juga para politisi, para awak media, penggiat sosial media atau apa pun istilahnya, dan juga mereka yang senang serta memiliki hobi bermedia sosial. Pendek kata, seluruh warga negara diuji.

Ujian tersebut akan membuktikan apakah persatuan dan kesatuan bangsa ini hanya sebatas  slogan atau benar-benar nyata?  Dalam budaya politik Indonesia dikenal tiga hal penting yakni gotong-royong, musyawarah, dan mufakat. Ketiganya dapat dijadikan sebagai dasar untuk kerekatan dalam berbangsa dan bernegara. Ketiganya menunjukkan adanya persatuan dan kesatuan.

Namun,  tidak bisa dipungkiri bahwa ketika begitu banyak orang, banyak pihak, dari pemimpin dalam berbagai strata hingga rakyat jelata, berbagai profesi, tengah berjuang untuk memutus rantai penyebaran pandemi Covid-19, dengan segala cara, masih juga ada orang-orang, pihak-pihak yang justru melakukan hal sebaliknya.

Barangkali orang akan berdalih: ini negara demokrasi. Negara yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat. Benar. Tetapi, kebebasan pertama-tama adalah menyangkut soal kemampuan memilih dan menentukan diri sendiri. “Egomet sum mihi imperator,” begitu kata Plautus (205 - 184 SM) seorang penulis zaman Romawi, yang artinya kurang lebih, “Akulah yang menjadi pemimpin bagi diriku sendiri.”

Di sini sekali lagi menegaskan apakah “aku” itu “binatang politik” yang memiliki tenggang rasa, solidaritas pada sesama, tidak beroritentasi pada diri sendiri, berhati nurani, atau bukan?

Sebab, saat ini yang dibutuhkan adalah kebersamaan, persaudaraan, saling mendukung, solidaritas, yang akan membuahkan ketenangan bukan kegelisahan, kesabaran bukan malah bertindak membabi-buta dan menyalahkan pihak lain, nyinyir tanpa dasar kecuali kebencian.

Bukankah, mengutip pendapat Ibnu Sina—seorang filsuf, ilmuwan, dan ahli di bidang kedokteran kelahiran Bukhara Uzbekistan (980-1037)—kegelisahan, kepanikan adalah separuh dari penyakit; ketenangan adalah separuh obat; dan kesabaran (tentu sambil terus mencari penyelesaian krisis dan berani mengambil kebijakan politik bagi kesejahteraan, kebaikan bersama) menghadapi masalah ini adalah awal dari kesembuhan. 

Trias Kuncahyono

***