Dulu, akibat peristiwa G30S PKI, anak keturunannya tidak bisa menjadi TNI/Polri PNS. Bahkan yang sudah menjadi tentara atau polisi bisa dipecat . Padahal ortunya hanya ikut-ikutan saja.
Tak diragukan lagi, media Sosial seperti Facebook itu sarana untuk escaping yang menyenangkan, tetapi terkadang kejam menghujam. Ibarat rumah dengan pintu terbuka lebar, siapapun siap merisak, mengkuliti dan merajam kepada siapa pun sampai tinggal tulang belulang tanpa kenal ampun. Begitulah kiasannya.
Seperti yang terjadi pada diri Enzo Zenz Allie yang menjadi taruna Akademi Militer atau Akmil. Ia dirisak dan dirajam di media sosial karena dituduh menjadi bagian dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah dibubarkan.Bukan hanya Enzo,tapi ibunya juga dikuliti oleh netizen karena terkait dukungan kepada 02 dalam pilpres dan juga membawa-bawa simbul HTI.
Enzo dituduh terpapar paham radikal karena pernah membawa bendera khilafah yang identik dengan bendera HTI. Bahkan menuduh lembaga TNI kecolongan dan kurang ketat seleksinya.
Tentu tuduhan semacam ini berbahaya dan seperti mengajari bebek berenang. Untuk masuk menjadi taruna Akmil harus melalui proses yang sangat ketat dan berjenjang. Bahkan dari pendaftar ratusan ribu yang diterima hanya beberapa ratus saja. Semua akan ditelusuri rekam jejaknya baik data yang sifatnya intelijen atau data yang sifatnya adminitrasi. Tentu data intelijen tidak untuk konsumsi umum atau publik.
Seolah-olah masyarakat media sosial lebih tahu daripada institusi TNI itu sendiri. Netizen berbekal foto-foto dan video dan langsung menyimpulkan tanpa konfirmasi atau klarifikasi. Yang penting viralkan dulu. Urusan belakangkan. Sedangkan TNI berdasarkan data-data primer atau data tambahan dari sumber lain.
Memang benar, paham HTI atau khilafah sangat membahayakan untuk keutuhan NKRI. Akan tetapi juga jangan ketakutan yang berlebihan.
Apakah tunas muda seperti Enzo itu akan dimatikan sebelum tumbuh mengejar cita-citanya untuk menjadi tentara? Apakah tunas muda yang kelak bisa jadi pemimpim dalam TNI itu harus dipangkas habis? Bukankan masih bisa diluruskan kalau benar ia terpapar paham HTI atau khilafah?
Terkadang sejarah bisa terulang dalam bentuk lain. Dulu, akibat peristiwa G 30 S-PKI, anak keturunannya tidak bisa menjadi TNI, POLRI, PNS atau BUMN. Bahkan yang sudah menjadi TNI, POLRI,PNS bisa dipecat atau digugurkan. Padahal ortunya hanya ikut-ikutan saja.
Saya di kampung punya tetangga sebelah rumah persis, dulu waktu era Suharto tetangga itu mendaftar polisi dan diterima. Tapi karena ada perangkat desa yang membuat surat kaleng kepada institusi bahwa bapaknya terlibat organisasi terlarang, akhirnya digugurkan dan tidak jadi polisi. Padahal ia anak orang tidak punya yang ingin mengubah nasibnya.
Nah, apakah Enzo ingin diperlakukan semacam itu? Kalau iya-berarti kita tidak ada bedanya dengan rezim terdahulu dan saling membalas karena dendam sejarah masa lalu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews