Indonesia Memanggil atau Cuman "Gejayan Memanggil"?

Siapa saja di belakangnya? Kita bisa menduga-duga, tentu saja, yang tak suka Jokowi jadi Presiden, atau yang dirugikan karena Jokowi Presiden.

Senin, 23 September 2019 | 08:44 WIB
0
525
Indonesia Memanggil atau Cuman "Gejayan Memanggil"?
Tagar Gejayan Memanggil (Foto: Tribunnews.com)

Adagium "Indonesia Memanggil" saya pakai pertama kali 2004, yang saya tabalkan dalam novel politik saya, "Anonim, My Hero!" (Galangpress, Februari 2004, h. 372).

Tokoh utama dalam novel itu, Anonim, lari ke Pulau Selayar, karena merasa kaki-tangan Soeharto mengejar-kejarnya. Apalagi, pacar gelap Kapten Haddock, seorang jenderal Orba, ternyata tersangkut cinta pada Anonim.

Situasi memang gawat. Soeharto memang sudah turun, tapi bagaimana jika Mbak Tutut dan Prabowo kembali menguasai Golkar? Anonim balik ke Makasar. Di sebuah hotel, dia membuat situsweb dengan nama "Indonesia Memanggil". Seluruh Makassar gempar waktu itu, karena Anonim nge-ban semua jaringan game online. Di warnet-warnet seluruh Indonesia blank. Logo Ragnarock yang lagi hits waktu itu, berganti dengan top up "Indonesia Memanggil":

"Anak-anak muda Indonesia, jangan percayai para elite politik, birokrat, budayawan, tokoh publik, jurnalis, reporter televisi, host dan presenter infotainment, demonstran, pengacara, LSM, politikus busuk dan tidak busuk,..." (Anonim, h. 372).

Demikian saya tulis dalam novel itu, kala itu, 2004. Tapi, kenapa dengan hal itu sekarang? Itu lantaran ketika membacai isian medsos tadi pagi (kemarin seharian libur bermedsos), saya menemukan istilah "Gejayan Memanggil".

Aduh, kok Gejayan sih yang memanggil? Ada apa? Siapa nih yang berada di Gejayan yang memanggil itu?

Dalam kajian, sikap dan press release aliansi rakyat bergerak, kita tidak menemukan nama-nama. Sebuah gerakan tak bertanggung jawab, memakai nama aliansi rakyat tapi tak ada nama person yang disebut. Bagaimana kita percaya dengan ajakannya yang gagah, agar mengosongkan kelas, turun ke jalan, untuk datang suarakan dan lawan?

Dalam kajian mereka, tak ada yang salah secara logika atau nalar akademik. Bukankah itu kesimpulan umum, yang jadi persoalan kita bersama? Persoalannya kemudian adalah pada ajakan untuk menyikapi hal itu. Mengapa mesti turun ke jalan, bukannya masuk ke gedung pemerintah dan parlemen, untuk membicarakannya?

Seruan aksi damai boleh saja dicanangkan. Tapi tak ada aksi turun ke jalan yang berlangsung tidak berisik. Pada sisi keberisikan itulah, eskalasi sosial, politik, dan tentunya ekonomi, akan terusik. Dan akibatnya?

Mengapa Gejayan yang memanggil? Siapa Gejayan ini? Kenapa bukan Bulaksumur? Kok banyak pakai poster dengan dasar item? Apakah ini warna ideologinya, yang suka item-item kayak bendera yang dibilang tauhid itu?

Hingga 20 Oktober 2019 kelak, seruan demo, turun ke jalan, dengan memainkan isu-isu yang sexy, bisa jadi akan banyak. Targetnya, bisa macem-macem, tapi antara lain bisa diduga; Penghadangan atas pelantikan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia 2019 - 2024.

Siapa saja di belakangnya? Kita bisa menduga-duga, tentu saja, yang tak suka Jokowi jadi Presiden, atau yang dirugikan karena Jokowi Presiden. Bukan sesuatu yang susah bukan?

Semoga rakyat tidak bodoh, dan tidak mudah diprovokasi oleh pihak yang menyebut nama dirinya saja tidak berani. Jangan hanya Gejayan Memanggil, yang kayaknya kok tendensius banget. Mendingan Indonesia Memanggil, mari kritisi Indonesia dengan cinta dan ketulusan nan sejati, demi Indonesia.

***