Sebagai bangsa, penulis menilai membawa-bawa agama ke dalam politik praktis, cenderung memberikan peluang adanya perpecahan. Apalagi, jika pandangan dari masing-masing agama yang berbeda itu selalu dipaksakan. Namun, bukan berarti kita tak bisa memasukkan nilai-nilai agama yang dianut ke dalam negara. Itulah pemahaman 'The Founding Fathers' kita dahulu ketika merumuskan negara ini!
Tudingan Felix Siauw pada pernyataan "Jangan bawa Agama dalam Politik" atau "Jangan Bawa Politik dalam Agama" sebagai pernyataan sekuler tidak sepenuhnya bisa dibenarkan.
Sebagai bangsa yang sudah menyepakati Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara, kita menempatkan segalanya berdasarkan konstitusi yang kita anut, dan semua itu jelas tidak melanggar agama yang dianut oleh mayoritas bangsa kita, yakni Islam.
Justru, di negeri inilah, Islam benar-benar bisa menjalankan fungsinya sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
Ketika ada sebagian masyarakat yang begitu ngototnya membawa agama, khususnya Islam ke dalam politik praktis, lantas bagaimana mereka melaksanakannya? Apa yang ditampakkan justru sebaliknya!
Ambil saja kesimpulan bahwa pasangan Prabowo-Sandiaga merupakan pasangan yang diusung para ulama yang dikomandoi oleh Habib Rizieq Shihab (HRS), setidaknya ini yang diakui para pendukungnya.
Pertanyaannya, benarkah Prabowo-Sandi adalah pasangan capres dan cawapres hasil Ijtima Ulama?
Bukankah, sebelumnya yang diusung Ijtima Ulama, yaitu Prabowo sebagai bakal capres, dan dua nama lainnya sebagai bakal cawapres, yaitu Ustadz Abdul Somad dan Salim Segaf Al-Jufri dari PKS?
Dengan kata lain, nama Sandiaga Uno sebagai bakal cawapres Prabowo, kemunculannya memang penuh dengan kecurigaan di antara partai pendukungnya sendiri, sehingga ketika itu muncul istilah "mahar politik" segala.
Pengusungan nama Prabowo dan Sandiaga Uno, diakui atau tidak, sepertinya menjadi hak prerogatif dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, bukan semata hasil dari ijtima ulama. Dengan kata lain, Prabowo adalah sosok yang justru mengendalikan ulama yang mengusungnya.
Pandangan bahwa HRS melalui Ijtima Ulama lebih memilih Prabowo Subianto sebagai bakal capres yang didukung untuk menghadapi Presiden Petahana Joko Widodo (Jokowi), tak terlepas dari begitu ngototnya Prabowo mengunjungi HRS di Mekkah, Arab Saudi.
Hal ini pula, yang membuat beberapa anggota, bahkan termasuk penasehat Persaudaraan Alumni 212 Usamah Hisyam mengundurkan diri karena tidak menyepakati keputusan yang dianggap sepihak itu.
Menurutnya, gerakan PA 212 sudah tidak sesuai dengan semangat awal, yakni aksi bela Islam yang berangkat dari esensi Al Maidah 51.
Bahkan, Prabowo bisa dikatakan sebagai orang yang lebih dekat dan lebih memahami ajaran agama yang dianut keluarga besarnya, yaitu Kristen.
Seperti kita ketahui, Prabowo dilahirkan dari seorang ibu Kristiani. Dua kakak dan juga adiknya Hashim Djojohadikusumo bukanlah penganut Islam. Dengan kata lain, sejak kecil Prabowo memang sudah dididik dari keluarga dan disekolahkan yang jauh dari ajaran Islam.
Dan, Prabowo belakangan baru disebut beragama Islam ketika mengawini putri Presiden ke-2 Soeharto, yakni Siti Hediati Hariyadi atau lebih dikenal dengan Titiek Soeharto pada 8 Mei 1983 silam.
Oleh karena itu, jika ada anggapan bahwa Prabowo Subianto adalah capres yang mewakili mayoritas umat Islam Indonesia, dan diusung untuk menghadapi Jokowi yang dianggap "musuh Islam" adalah sebagai pandangan yang keliru, bahkan justru menyesatkan.
Bukankah keputusan Jokowi yang menggandeng KH Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya, yang tak lain adalah Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai langkah Jokowi menghormati ulama, dan mengajak Sang Kiai yang ahli ekonomi syariah itu untuk membangun Indonesia kedepan secara Islami?
Segalanya, akan kita ketahui jika kita mau melihat rekam jejak masing-masing calon. Pilihlah yang taat beribadah, itu jika Anda benar-benar memilih karena Islamnya!
Salam dan terima kasih!
sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews