Cerpen | Bukit Gundul dan Bayang - bayang Sono Keling

Di lereng itu ratusan manusia terkubur hidup-hidup bersama mimpinya meraih surga tetapi lupa bahwa alam perlu dirangkul bukan dipunggungi, bukan dipantek dengan cor-cor semen.

Minggu, 17 Mei 2020 | 21:11 WIB
0
360
Cerpen | Bukit Gundul dan Bayang - bayang Sono Keling
POhon sonokeling (Foto rimbakita.com)

Seorang anak kecil tertatih tatih menyusur bukit gundul. Di tangannya menggenggam bibit sono keling. Tiga bibit Sono keling itu ia pegang erat -  erat takut terlepas. Ia datang karena seminggu beruntun seorang kakek datang mengunjungi mimpinya. Kakek itu menceritakan tentang hutan, bebukitan dan betapa damainya hidup di tengah rindangnya pohon- pohon besar.

Ia adalah korban tanah longsor. Ayah ibunya mati tertimbun tanah. Ia sendiri  tidak mempunyai rumah. Hidupnya kini menumpang paman yang rumahnya seberang bukit. Sewaktu longsor  ia lolos karena tidak ada di lokasi. Ayah ibunya tengah sibuk membangun rumah permanen di bibir lereng. Dia dititipkan sementara sampai rumahnya selesai.

Yang mempunyai mata bathin, anak kecil itu  tengah berjalan beriringan bersama  kakek tua. Sepanjang jalan kakek  terus  menyapa apa saja yang berada di depannya. Anak kecil itu sampai di atas bukit.  Ranting kering    ia gunakan untuk melobangi tanah lalu memasukkan bibit sono keling,  dilumuri sedikit air yang ia bawa dari bawah.  Tiga buah tanaman sonokeling itu tegak berdiri di atas longsoran bukit yang hancur akibat hujan deras.

Tiadanya akar yang menyangga tanah menyebabkan bukit itu runtuh dan memakan korban ratusan orang serta bangunan- bangunan permanen  sepanjang lereng.  Mata anak kecil itu memandang jauh penuh harap  tiga bibit pohon itu bisa tumbuh agar akarnya bisa mencengkeram tanah. Sebuah harapan tulus dari banyaknya manusia yang sudah tidak peduli pada alam, mereka lebih sibuk untuk berkumpul, berdemo, dan melakukan kegiatan aneh atas nama agama, sibuk berderma namun lupa menyapa alam, sibuk membangun lupa memelihara.

***

Sonokeling di perbukitan tampak gagah dalam lukisan Mbah Lantip. Tiga pohon Sono keling berjajar, dibelakangnya ada beberapa pohon yang sama kuatnya mencengkeram tanah bebukitan seperti pohon nangka, pohon mindi, angsana. Ia terkagum – kagum oleh usia sonokeling  yang sudah lebih dari 100 tahun.  Akar- akarnya sudah merambat ke mana- mana.  Daunnya  seperti lidah dengan lekukan- lekukan membulat sering digunakan Mbah Lantip bila ia sakit perut, mual.

Jika kebanyakan makan santan dan gulai kambing Mbah Lantip menggunakan daunnya untuk melancarkan peredaran darah. Kolesterolnya seperti tercuci dan darahnya menjadi bersih.  Sonokeling yang tinggi menjulang cenderung tidak banyak rantingnya.

 Yang tertinggi mirip penghuninya adalah genderuwo. Sebelah kanannya Kuntilanak dan satu pohon lainnya dihuni wewe gombel. Kok Mbah lantip tahu?Sejak kecil Mbah lantip selalu duduk di bawah  pohon itu. usia renta Mbah Lantip masih tidak sebanding dengan usia pohon itu. Konon katanya di belakang pohon sering dipergunakan oleh  Kyai Gringsing dari Pajang untuk bertapa.

Ia akrab dengan Genderuwo, Wewe dan Kuntilanak yang menghuni sonokeling. Gendruwo itu sering melambaikan tangannya di tengah terpaan angin besar. Ia asyik menggeraikan rambut gimbalnya yang sesekali tertiup angin kencang dari arah pegunungan.  Kecuali Mbah lantip, hampir semua penduduk takut lewat di perbukitan tersebut. Mereka sering melihat penampakan gendruwo, bahkan gendruwo sering iseng menyamar menjadi suami mereka atau istri mereka saat pasangannya pergi jauh.

Wewe gombel lebih sering menggoda manusia saat mandi di pancuran. Saat sepi tidak ada siapa- siapa, wewe sering melintas. Terkadang  tiba tiba ada yang melihat malam – malam makhluk bertelanjang mandi sendirian. Bentuk wewe menakutkan karena payudaranya bisa memanjang menjuntai sampai tanah. Kejadian- kejadian menakutkan itu yang membuat beberapa warga berembug untuk melenyapkan pohon sono keling.

Dari bisik- bisik beberapa orang  gosip bahwa warga akan melenyapkan pohon yang sudah berumur 100 tahun lebih itu sampai ke telinga Mbah Lantip. Mbah Lantip tentu berang dengan pikiran picik warga. Mbah Lantip yang paling ngotot mempertahankan pepohonan besar tetap tumbuh di lereng – lereng desanya. Ia tahu struktur tanah di situ. Agak ringkih jika tidak ditopang oleh akar- akar yang kuat, bisa longsor dan muncul bencana- bencana lain jika tiga pohon Sono keling itu ditebang.

“Jangan menjadi sumbu pendek, Saudaraku. Pohon itu menolong manusia. Ia  bisa menyesap air dan mengalirkannya ke rumah- rumah kalian. Pepohonan yang berbaris di bukit itu bukan tanpa fungsi?”

“Tetapi pohon tua hanya membuat warga ketakutan, sedikit- sedikit muncul genderuwo, kuntilanak. Atau wewe. Warga menjadi resah. Mbah!”

“Tetapi apakah mereka mengganggu kalian.”

“Ya kebetulan saja ada yang melihatnya, tetapi cerita- ceritanya khan membuat anak anak  kecil menjadi takut bermain malam- malam takut di culik wewe, atau diisengi si Kunti.”

“ Ah,penakut kalian, Mbah sudah biasa ngobrol dengan mereka.  sama seperti kalian mereka punya kehidupan normal. Meskipun hidup dalam dimensi lain tetapi mereka  mengerti bagaimana hidup bersama alam.”

“Itu teori lama Mbah, sekarang zamannya beda. Simbah punya HP tidak. Tahu internet tidak. Zamannya sudah canggih. Memangnya mau hidup dengan nostalgia masa lalu?”

“Heh! Kau siapa anak muda yang nyinyir terus  dari tadi.”

“Aku, Broto Mbah…”

“Tahu apa tentang alam”

“Alam ya untuk dihuni dimanfaatkan untuk membangun rumah. Bukit- bukit itu pohonnya bisa ditebang dan ditanami padi atau jagung yang cepat menghasilkan. Demi ketahanan pangan.”

“Teori dari mana?”

“Dari sekolah Mbah?”

“Sekolah mana yang tidak mengajari melestarikan alam?”

“Tapi pepohonan tua berbahaya. Mbah. Nanti bisa rubuh”

“Kau tahu jenis- jenis pohon yang mudah tumbang?”

“Tidak mbah?!”

“Makanya jangan sok tahu?!”

Mbah Lantip paling tidak suka pada orang yang sok pinter. Baginya sekolah bukan berarti membodoh- bodohkan. Semakin pintar semakin merasa bodoh itulah pendidikan yang baik. Pohon yang baik semakin  menjulang akarnya semakin dalam dan melebar. Manusia yang bijak bukan semakin besar kata- katanya tetapi yang  sedikit bicara banyak kerjanya.

Mbah Lantip termasuk manusia aneh bagi sebagian warga. Kesehariannya  ngobrol sendiri, senyum senyum sendiri. Tangannya  sering menengadah dan seperti memanggil sesuatu. Kata orang pintar Mbah Lantip bisa berdialog dengan binatang, pohon- pohon, makhluk astral penghuni pohon dan sering diminta untuk mengambil keris di dalam pohon.

Ada kesejajaran antara makhluk berpikir dan makhluk bertumbuh. Meskipun tidak mempunyai pikiran pepohonan mampu merespon perhatian manusia. Ia akan dengan senang hati bersahabat dengan manusia bila ia memperlakukan teman layaknya sahabat. Sahabat yang baik mampu mengerti apa yang dimaui temannya. Sayangnya semakin pintar manusia semakin lupa bahwa ia adalah bagian dari alam yang sama- sama mencari perhatian.

“Apakah harus kukatakan kegelisahanku padamu, Lantip?”

“Kau ingin ngobrol denganku?”

“Perlu kau ketahui, banyak tanda- tanda alam buruk yang akan terjadi!”

“Apakah kau menangkap tanda- tanda itu?”

Ketika manusia lupa  bahwa bohong itu sebuah kesalahan dan menganggap ada saatnya manusia harus bohong demi sebuah kemenangan politik. Saat itulah pagebluk mulai bermunculan, gunung meletus, banjir bandang, kebakaran, penyakit- penyakit sosial, seperti pemerkosaan, penyimpangan perilaku.

***

Eyang Ronggowarsito meramalkan akan terjadi wolak- waliking Zaman, Sing jahat bejo sing bener kojur. Sing sugih tambah sugih sing kere tambah kere ( yang jahat beruntung yang benar sial, Yang Kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin). Nasihat itu mulai tampak ketika berbagai kisruh desa berawal dari pendatang yang mengobrak- abrik budaya yang semula dipelihara untuk menjaga harmoni manusia dan alam semesta.

Mereka datang dengan pemikiran modern datang dari pemikiran cepat saji. Pelan- pelan namun pasti adat kenduri, wiwitan menghilang. Berganti dengan cara cara asing. Ini adalah zaman di mana kebohongan tidak lagi dipandang dosa, Kebohongan adalah sarana untuk menang, sarana untuk meraih tujuan. Tidak peduli dengan bohong mereka dibenci atau disanjung. Bodo amat.

Mereka datang dengan simbol- simbol baju- baju khusus untuk menegaskan mereka adalah barisan suci pemilik surga. Mbah Lantip tampak kesal. Sudah lupakah mereka pada warisan budaya nenek moyangnya yang adiluhung.

***

Mbah Lantip terbaring lemah. Sejak seminggu lalu hanya tiduran, tidak mau makan apapun yang disajikan tetangganya. Kadang kepalanya seperti terkena sengatan, kaget dan tiba – tiba teriak kesakitan. Ia dikelilingi oleh makhluk- makhluk halus yang sedang bingung. Mereka sudah tidak mempunyai tempat tinggal yang tenang. Pohon- pohon sono keling telah tumbang tinggal akar- akarnya, Hampir semua tanaman di lereng bukit telah tumbang. Ada investor dari ibu kota membeli lahannya untuk dijadikan villa. Lereng yang semula teduh menjadi terang, matahari begitu perkasa, tanpa teralingi pepohonan.

Kering kerontang bebukitan mulai membuat suasana teduh berganti panas menyengat. Mata air pelan- pelan mengering dan masyarakat mulai mengeluh kekurangan air bersih. Sebelumnya tidak ada keluhan tentang air bersih karena dari bukit itu mata air deras mengalir ke pedusunan. Kini mereka harus mencari mata air agar kualitas kehidupan terjamin. Satu persatu lereng bermunculan bangunan- bangunan mentereng. Villa- villa dengan arsitektur modern.

Mbah Lantip  seperti sedang berdialog dengan ruang kosong, matanya nanar menatap bintang- bintang di langit gelap. Awan gelap berarak menyusur langit. Petir bersahutan seperti membelah angkasa. Awan gelap itu mulai berubah menjadi rintik- rintik hujan, mula – mula pelan  kemudian berubah deras, seperti jatuh dari langit dengan kerasnya membentur tanah- tanah gundul di lereng bukit.

Deras air membelah tanah, menusuk bumi. Tiba tiba seperti ada rekahan di pucuk bukit dari kecil membesar hingga akhirnya seperti aliran air tanah- tanah itu bergerak turun. Dalam hitungan detik segera rumah- rumah dibawahnya tertimbun. Tanpa kata - tanpa permisi ratusan orang hilang sekejab, rumah- rumah segera bercampur dengan gundukan tanah dan air lumpur.

Lereng – lereng yang longsor itu seperti bayangan manusia rebah  dan tidak sengaja wajah muram Mbah Lantip tergambar di atas bukit. Jerit tangis penduduk yang kehilangan sanak saudaranya tak terbendung. Mereka mengutuk, menyesal dan berbagai rasa bercampur menjadi satu. Penyesalan itu datangnya belakangan. Mbah Lantip lenyap hilang tertelan bumi dan yang selamat akhirnya sadar apa yang dikatakan Mbah Lantip dulu tidak salah. Mereka saja yang sudah terlalu keminter untuk dinasehati.

Mentang- mentang sudah pernah belajar di bangku sekolahan lalu lupa untuk melestarikan adat leluhur. Leluhur dengan segala kecerdasan alaminya sebetulnya ingin mengingatkan bahwa harmoni manusia dan alam harus dijaga. Sebab bila alam telah marah tidak ada yang bisa dilakukan manusia kecuali menyesal dan menyesal. Makhluk dari dunia lain yang diceritakan Mbah Lantip hanya memberi simbol bahwa manusia tidak boleh mengambil lebih dari batas. Jika melanggar pagebluklah akibatnya.

Saat malam bayang – bayang Mbah Lantip serta kesiur angin dari dedaunan Sono Keling masih sering terdengar, suara dialog- dialog kecil sering menggema di saat orang melintas bukit itu. Tidak ada lagi sono keling yang umurnya ratusan tahun sudah terbawa  dan dijadikan mebel orang kaya raya yang mau mencalonkan diri sebagai wakil rakyat sebentar lagi. Orang orang hanya melihat mirip pohon Sonokeling dalam awan yang berarak di atas bukit yang kini gundul.

“Orang – orang cerdas, para pemilik surga yang memperlakukan bumi secara tidak beradab. Mengharap surga tetapi tidak pernah mencintai alam seperti pungguk merindukan bulan, seperti memantik api dengan air. Di lereng itu ratusan manusia terkubur hidup- hidup bersama mimpinya meraih surga tetapi lupa bahwa alam perlu dirangkul bukan dipunggungi, bukan dipantek dengan cor- cor semen dan ide- ide nyeleneh.”

Selesai.

***