Pelantikan Sobat Ambyar

Itulah formalisme berfikir, salah satu cabang dari aliran kebatinan soehartoisme, yang sampai kini masih nempel di abad digital ini.

Rabu, 9 Oktober 2019 | 14:32 WIB
0
325
Pelantikan Sobat Ambyar
Foto Presiden dan Wapres (Foto: Detik.com)

Karena car free day dan ibadah minggu pagi, pelantikan Presiden (Minggu, 20 Oktober 2019) akan diundur jam 16.00 WIB. Adat sabennya sih jam 10.00 WIB. Untunglah, pilpres cuma 5 tahun sekali. Kalau tiap minggu, kan ngganggu car free day?

Betapa kasihan bukan, sudah prestasi olahraga buruk, car free day aja kok diganggu pelantikan Presiden. Bayangkan. Nanti tudingannya bisa dikira mengeksploitasi pelantikan Presiden lho. Coba tanya KPAI dan LPAI, apakah Bloomberg ditulis dengan huruf latin atau huruf gedrik.

Belum pula alasan Ketua MPR-RI yang baru, karena dirasa mengganggu yang beribadah minggu pagi, maka digeser sore hari.

Lha yang beribadah minggu sore gimana? Ya, biar adil mestinya pelantikan Presiden dilaksanakan pada tengah malam, jam 00.00. Sambil ndengerin lagu 'Lingsir Wengi' sobat ambyar si Godfather of The Broken Heart itu lho.

Untung tanggal 20 Oktober nggak jatuh hari Jumat. Kalau jatuh hari Jumat, mungkin sakitnya hari Sabtu. Kasihan yang mau demo to? Wong hari Jumat kok dipakai pelantikan, nanti dikira otoriter, ngalangin yang demo. Mending tetapkan, demo tiap Jumat, meringankan tugas korlap ngumpulin massa. Apalagi sekarang orang bisa dibawa ke rumah ibadah, untuk sekedar dianiaya.

Besok lagi, kita mestinya nggak usah pakai Pilpres, apalagi pelantikan Presiden. Cuma akan mengganggu rutinitas warga negara saja 'kan? Emang ambyar deh, si Lord Didi itu! Kempot pula!

Sementara KPU berkukuh pelantikan Presiden tanggal 20 Oktober itu karena demikian bunyi konstitusinya, dengan menghitung hari pas 5 tahun persis. Padahal, kalau mau persis banget, kan mentoknya sampai tanggal 20 Oktober jam 24.00, yang tinggal sedetik kemudian sudah di luar konstitusi karena masuk ke tanggal 21 Oktober? Mangkanya, pelantikan Presiden cukup se-detik saja!

Belum lagi sekarang dikembangkan stigma baru; Buzzer pro-pemerintah dinilai bisa merusak dukungan publik ke Jokowi. Ada pula malah yang pro Pemerintah dianggep buzzer. Busyet deh! Analoginya, buzzer yang anti-pemerintah bisa memperbaiki dukungan publik ke Jokowi? Ah, kameradpret Pret!

Itulah formalisme berfikir, salah satu cabang dari aliran kebatinan soehartoisme, yang sampai kini masih nempel di abad digital ini.

Setengah hidup = setengah mati. Hidup berarti = mati 'kan?

***