Indonesiaku [18] Tega-teganya Melego Tanah Air Sendiri

jika pulau-pulau terluar sudah terjual, lama-lama ia akan merangsek ke dalam. Siapa tahu, pulau-pulau yang ada di dalam pun ikut dijual pula. Pantaskah kita hanya berdiam diri?

Rabu, 16 Oktober 2019 | 18:27 WIB
0
242
Indonesiaku [18] Tega-teganya Melego Tanah Air Sendiri
TNI menjaga pulau terdepan (Foto: Nuswantara.com)

Pulau terluar? Saya lebih setuju jika menyebutnya dengan pulau terdepan, ibaratnya pulau-pulau itu pagar yang ada di depan rumah kita. Ini bukan hanya masalah konotasi, tapi tentang cara berpikir. Jika kita berpikir mereka “terdepan” maka akan masuk prioritas untuk dipikirkan ibarat pagar halaman rumah kita yang melindungi penghuninya. Berbeda jika kita menyebutnya sebagai “terluar”, maka sama saja dengan memarjinalkan. Sudut pandang mengubah “mind set”.

Demikian komentar yang disampaikan Arif Rahadian atas tulisan saya sebelumnya berjudul Terluar, Tapi Bukan Berarti Pulau Terliar.

Enaknya tukar pikiran di blog sosial Kompasiana, masukan, koreksi dan kritik membangun langsung bisa didapat. Contoh mengenai istilah “Pulau Terluar” yang saya gunakan, ternyata rekan Arif mengusulkan istilah yang lebih tepat, “Pulau Terdepan”. Saya sependapat dengan usulan penyebutan “Pulau Terdepan” untuk mengganti istilah “Pulau Terluar” yang sudah telanjur dikenal itu. Bahkan saat saya jalan-jalan ke Toko Buku Gramedia yang terdekat dengan pemukiman, Plaza Bintaro, saya menemukan buku tebal dan ekslusif tentang 92 Pulau Terluar. Jelas-jelas masih menyebut istilah “Pulau Terluar”.

Lagi-lagi sebuah ironi yang dibikin anak-anak negeri ini. Istilah apapun namanya, “Pulau Terluar” maupun “Pulau Terdepan”, tetap saja sebagian dari pulau-pulau itu dibiarkan merana tanpa nama, penanda, apalagi penghuni. Lebih menyedihkan, ada pulau yang hilang dari peta karena pasirnya terus-menerus dikeduk dan dijual ke negara tetangga. Ada yang air bersihnya disedot untuk digelontorkan kepada negara jiran. Ada pula yang menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya.

Ada pulau yang disewakan kepada orang asing atau mungkin dijual kepada pihak asing, lalu oleh pihak pembeli dibangun resor yang mewah khusus tempat berjudi. Di beberapa perairan seperti yang saya baca, nelayan yang biasa mencari ikan di perairan di mana pulau-pulau itu disewakan atau dijual ke pihak asing, diusir agar menjauh seperti pedagang ikan tongkol di pasar mengusir lalat.

Alangkah menyedihkannya prilaku sebagian kecil anak-anak Ibu Pertiwi dalam urusan jual-beli pulau-pulau terdepan, seakan-akan pulau-pulau itu milik nenek-moyang mereka sendiri. Jangan-jangan, NKRI pun lama lama bisa bisa disewakan atau dijual kepada pihak asing yang berduit.

Beberapa tahun lalu Pulau Galang Baru di Provinsi Riau Kepulauan yang berbatasan langsung dengan Singapura, dipenuhi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari negara tetangga itu. Limbah B3 yang masuk ke pulau itu berjumlah 1.762 kantung atau 1.149,4 ton. 

Singapura menolak pengembalian (reekspor) limbah yang diklaimnya sebagai material organik atau media tanam itu. Sementara pihak Indonesia saat itu bersikeras bahwa limbah B3 berpotensi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. Kemasan limbah dalam karung itu bisa rusak yang berakibat limbah merembes dan meresap kemana-mana.

Dari mana datangnya limbah B3 yang berbahaya dari Singapura itu? Sangat tidak mungkin kalau berton-ton limbah tiba-tiba ada di Pulau Galang Baru, Batam. Kalau Singapura mengklaim bahwa itu kompos, mengapa tidak dimanfaatkan sendiri di negerinya untuk penyuburkan tanaman, bukan malah dibuang ke wilayah Indonesia?

Usut punya usut, yang mengekspor limbah B3 itu tidak lain dari perusahaan Indonesia bernama PT Asia Pasifik Eco Lestari. Saya tidak tahu, apakah perusahaan yang bermarkas di Batam itu masih ada atau hanya tinggal nama.

Ada lagi kisah Pulau Sebaik yang hampir rata dengan tanah karena pasirnya dikeduk dan diangkut ke Singapura. Tentu saja yang menangguk keuntungan dari penjualan pasir itu hanya segelintir orang.  Orang Indonesia lho! Lantas bagaimana reaksi pemerintah daerah setempat? Wah, kalau tidak ada izin Pemda, bagaimana mereka bisa leluasa beroperasi. Aparat keamanan di laut? Pasti adalah. Tapi haraf maklum, kenyataannya pasir bisa aman lolos sampai di Singapura.

Negera kecil ini memang sedang giat-giatnya mereklamasi pantainya untuk memperluas pulaunya, sehingga Pulau Singapura menjadi menjorok ke laut, menusuk perairan Indonesia. Aparat keamanan di laut dan pemda di darat tentu tahu praktik illegal ini. Tapi, tutup mata saja karena pihak asing sudah lebih dulu menutup hati nurani para pejabat itu dengan konsensi. Asyik bener.

Alhasil, ironislah yang didapat: pulau Singapura bertambah luas, sementara pulau-pulau Indonesia seperti Pulau Sebaik lenyap dari peta, tenggelam ditelan laut. Semua itu dimungkinkan karena terjadinya kongkanglikong di antara sesama anak negeri untuk menjual pulaunya sendiri.

Ada pulau pasir yang berdekatan dengan Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur, yang diklaim Australia, padahal di sana terdapat kuburan nenek moyang orang Rote. Lihatlah, betapa kuburan bisu pun bisa menjadi penanda eksistensi kepemilikan sebuah pulau.  Pulau Tatawa, juga di NTT, yang merupakan pulau kosong tetapi memiliki taman bawah laut yang indah, diduga telah dijual kepada pihak asing, sebagaimana yang diributkan media.

 Di Nusa Tenggara Barat, Pulau Panjang dan Pulau Meriah ditengarai telah dijual kepada pihak asing. Pulau Bawah di dekat Natuna, disinyalir telah dijual kepada pihak asing untuk dijadikan resor. Seperti yang telah saya singgung tadi, nelayan dari Kepulauan Anambas sering diusir jika mendekat ke pulau Bawah untuk menangkap ikan. Ini namanya terusir dari negeri sendiri.

Di Karimun Jawa, Jawa Tengah, ada tujuh pulau yang sudah dijual ke pihak asing, yakni pengusaha Inggris, Ketujuh pulau yang dijual itu adalah Bengkoang, Geleang, Kembar, Kumbang, Katang, Krakal Kecil, dan Krakal Besar. Kalau data-data hilangnya pulau dirinci satu persatu, mungkin tidak akan pernah ada habisnya.

Apa yang terinci itu tentu saja penjualan Tanah Air milik NKRI yang muncul ke permukaan. Barangkali yang tidak terekspos jumlahnya jauh lebih banyak. Saya tentu saja tidak bercerita tentang adanya beberapa pulau di Papua yang disewakan, jangan-jangan malah sudah dijual kepada pengusaha asing.

Bisa dibayangkan, jika pulau-pulau terluar sudah terjual, lama-lama ia akan merangsek ke dalam. Siapa tahu, pulau-pulau yang ada di dalam pun ikut dijual pula. Pantaskah kita hanya berdiam diri?

***

Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [17] Terluar, Tapi Bukan Berarti Pulau Terliar