Ada 92 pulau terluar, 67 di antaranya bisa menjadi sengketa dengan negara lain dan 12 pulau dari jumlah itu rawan diambil negara lain. Tentu saja Pulau Miangas dan Natuna dua di antaranya.
Saya sepakat dan mencona berdamai dengan diri sendiri, lepasnya dua pulau terluar Sipadan dan Ligitan di ujung utara “paruh” Kalimantan dari pangkuan Ibu Pertiwi beberapa tahun lalu menjadi pengalaman berharga buat kita, buat pemerintah kita. Tidak perlu emosi, negeri jiran itu memang cerdik -kalau tidak dikatakan licik- dalam memanfaatkan keabaian pemerintah Indonesia.
Lepasnya dua pulau mungil tetapi menyimpan potensi raksasa pariwasata itu seperti menampar kita dari tidur lelap. Pengabaian dan pembiaran yang terlampau lama atas kedua pulau itu mengakibatkan pengadilan internasional memenangkan Malaysia. Pemerintah Indonesia, paling tidak saat itu, layak menjadi pecundang karena kalah dalam berdebat, keteteran dalam berargumen. Kita gigit jari.
Bahwa sejarah mengatakan kedua pulau itu pernah menjadi okupasi Belanda yang setelah Indonesia merdeka sejatinya milik Indonesia, itu benar. Tetapi argumen ini dikalahkan oleh “kepedulian” Malaysia yang memelihara dua pulau itu sehingga memenuhi standar peduli lingkungan. Sekali lagi, sedih melihat Ibu Pertiwi harus gigit jari.
Tulisan ini tentu saja bukan menggugah nasionalisme sempit dengan menggugat kembali kepemilikan dan bahkan merebut kembali kedua pulau itu dari Malaysia. Ah, itu cerita lama, sikap heroisme yang dangkal dan sempit, Kawan!
Seperti sudah saya katakan, ini pelajaran buat kita semua yang mencintai NKRI, kita semua yang hidup di atas tanah-air dan menghirup udara NKRI. Ini sungguh pelajaran berharga agar tidak ada lagi pulau-pulau terluar kita yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga lepas lagi dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Data menunjukkan, ada 6.702 pulau yang belum bernama. Itu berita yang saya baca beberapa tahun lalu di Harian Kompas. Sejak duduk di sekolah menengah, pelajaran geografi mengajarkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara berbentuk kepulauan, yang memiliki 13.000 pulau. Itu seingat saya.
Belakangan data tepatnya dirilis setelah menghitung ulang pulau-pulau besar maupun kecil. Sekarang, Indonesia memiliki 17.504 pulau yang tersebar di seluruh wilayah. Akan tetapi yang mengejutkan, 6.702 pulau di antaranya belum bernama atau belum dinamai.
Apa arti sebuah nama? Itu kata William Shakespeare. Tetapi bagi saya, khususnya untuk kedirian atau keberadaan sebuah pulau, nama sangat berarti. Ketika sebuah pulau tidak bernama, dikhawatirkan pulau-pulau yang belum bernama atau belum dinamai ini hilang begitu saja. Karena untuk pulau terluar, jika ia tidak bernama, bisa jadi pulau-pulau itu akan diakui sebagai milik negara lain, milik negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia yang jumlahnya 11 negara itu.
Dalam benak saya, apa sih susahnya menamai ke-6.702 itu. Kalau susah mencari nama, nama saya juga boleh dicatut tuh!
Saya perkirakan kebanyakan hampir 7.000 pulau tak bernama itu berada di pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga. Melayangnya Sipadan-Ligitan di ujung timur Kalimantan itu karena kita, pemerintah Indonesia, lalai dan melakukan pembiaran terhadap dua pulau itu.
Ibarat sebuah pulau kosong tak bertuan, ia dibiarkan merana yang hanya menjadi surga buat perdu dan rerumputan liar, meski menyimpan potensi keindahan tak terkira berupa pasir putih di sekelilingnya. Masih lebih baik bila dipakai menggembalakan kambing atau sapi sebagai pertanda pulau itu ada pemiliknya. Bayangkan, kambing atau sapi sebagai penanda NKRI. Bukan main.
Pulau terluar, meski belum bernama dan tidak terurus, mulai sekarang harus sudah diurus!
Baca Juga: Indonesiaku [5] Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang
Pemerintah harus menyediakan dana untuk sekadar menandai pulau-pulau terluar milik NKRI ini. Apa susahnya menancapkan kayu atau tiang bendera (tapi awas jangan sampai bendera Khilafah yang ditancapkan), mendirikan mercu suar, atau membangun tugu peringatan (prasasti) yang menandakan bahwa pulau-pulau kosong tak bernama itu milik NKRI.
Kalau bingung bikin nama saat mendirikan papan nama, “ngasal” saja boleh deh untuk memberi nama itu…. yang penting berbau dan bermakna, dalam bahasa daerah setempat atau bahasa Indonesia. Ingat sesuai United Nation Convention on Law of the Sea atau Unclos 1982, Indonesia diakui sebagai negara kepulauan yang dengan sendirinya pemerintah berkewajiban menamai, menandai, dan memelihara keseluruh pulau itu.
Sampai sekarang tercatat 92 pulau terluar. Sebanyak 67 pulau di antaranya bisa menjadi sengketa dengan negara lain dan 12 pulau dari jumlah itu rawan diambil negara lain. Tentu saja Pulau Miangas dan Natuna dua di antaranya.
Data menyebutkan, Kepulauan Riau yang memiliki 2.408 pulau, 394 pulau belum bernama; Irian Jaya Barat dengan 1.917 pulau 968 pulau belum bernama; Maluku Utara dengan 1.525 pulau 897 pulau belum bernama; Maluku dengan 1.399 pulau 631 pulau belum bernama; Nusa Tenggara Timur dengan 1.192 pulau 685 pulau belum bernama); dan Kepulauan Bangka Belitung dengan 950 pulau 639 pulau belum bernama.
Di era pemilu di mana para calon legislator “jual diri” dengan memasang poster diri besar-besaran, adakah satu di antara ribuan caleg itu yang peduli dengan pulau-pulau terluar kita, pulau-pulau terluar milik NKRI? Adakah partai politik peserta Pemilu yang platform partainya menggugah kebangsaan dan nasionalisme dengan satu butirnya memelihara pulau-pulau terluar Indonesia?
Jika ada, syukur karena itu yang kita harapkan. Jika tidak ada, ya tidak anehlah. Sudahkah pemerintah bergerak lebih maju dengan menandai dan kemudian memelihara pulau-pulau terluar yang belum bernama itu karena sejatinya pulau-pulau terluar itu bukan pulau-pulau liar?
Jika sudah, memang sudah seharusnya demikian. Tetapi andai belum, wah… keterlaluan namanya.
***
Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [16] Jangan Sakiti Ibu Pertiwi dengan Gerakan Pemisahan!
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews