Seburuk apapun sumbangan pemikiranmu, pastilah itu berguna sebagai penyemangat kerja dan Ibu Pertiwi tengah memanggilmu kembali ke pangkuannya.
Pertanyaan yang selalu menggelitik pikiran saya: ke mana gerangan para putra–putri terbaik negeri ini yang pernah meraih juara lomba karya ilmiah remaja LIPI yang bergengsi itu? Ke mana putra-putri terbaik Ibu Pertiwi ini yang pernah menyabet medali emas olimpiade matematika atau fisika? Apakah mereka ada di dalam negeri ini? Lalu apa kiprah mereka selama ini? Apakah mereka memilih lari dari Tanah Air dan berada di luar negeri demi masa depan yang lebih menjanjikan?
Serenceng pertanyaan semacam itu hadir seperti makhluk menyeramkan, menghantui pikiran saya, khususnya pertanyaan terakhir; apakah mereka memilih lari dari Tanah Air dan berada di luar negeri demi masa depan yang lebih menjanjikan?
Jika jawabannya “ya”, lalu apa yang kalian telah perbuat dan berikan buat Ibu Pertiwi dan Tanah Air tempat di mana kalian lahir, wahai anak bangsa?
Satu keyakinan saya, pastilah mereka ini anak-anak bangsa yang unggul dan hebat.
Apakah kemudian anak-anak terbaik bangsa ini telah menemukan kehidupannya yang jauh lebih baik di negeri asing (luar negeri) dan sama sekali tidak pernah terpikir untuk kembali ke pulang pangkuan Ibu Pertiwi?
Setiap kali saya pergi ke luar negeri karena tugas jurnalistik, mulai ujung utara Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Jepang, Korea, sampai Timur Tengah, selalu saya temukan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berotak encer, cerdas dan berwawasan luas. Setidak-tidaknya saat saya mengajak mereka berbincang-bincang.
Saat saya tanya mengenai orientasi mereka, rata-rata jawabannya: "Saya mau mencari pekerjaan di sini." Maksud "di sini" tentu saja di negara di mana mereka menimba ilmu.
Tanpa bermaksud menyepelekan kualitas pendidikan di Indonesia, kalau para pelajar dan mahasiswa berpikir seperti ini, dengan sumber daya manusia macam apa negeri ini dibangun jika mereka tidak mau kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi?
Sejatinya, para pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri adalah anak-anak terpilih, anak-anak yang kemampuan berpikirnya di atas rata-rata pelajar dan mahasiswa lainnya.
Mereka adalah pelajar dan mahasiswa yang mendapat beasiswa dari berbagai yayasan atau bahkan pemerintah sendiri, atau mereka yang orangtuanya mampu menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri.
Baca Juga: Indonesiaku [1] Mulailah dengan Bertanya pada Diri Sendiri
Selalu menggelitik pikiran saya: salahkah mereka jika tidak kembali ke Indonesia untuk berbakti? Salahkah anak-anak terbaik bangsa itu jika mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk bangsa dan negara lain sehabis mereka menyelesaikan kuliah? Pantaskah mereka dicap sebagai "tidak nasionalis" karena tidak mau kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi?
Jujur, tidak pada tempatnya jika saya terlalu menyalahkan mereka, para pelajar, mahasiswa, dosen, dan manusia-manusia berkeahlian tinggi yang tidak mau kembali ke Indonesia. Pasti ada sesuatunya dengan manajemen pendidikan negeri ini yang menyebabkan anak-anak terbaik bangsa itu tidak mau kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Pastilah ada yang salah urus sehingga Indonesia tercinta ini tidak cukup menarik bagi mereka untuk mencari penghidupan.
Kalau sudah begini: di mana nasionalisme atau semangat kebangsaan (berbangsa satu bangsa Indonesia) harus diletakkan? Apakah nasionalisme dan semangat kebangsaan hanyalah kisah masa lalu sebagaimana prasasti beku yang cukup diucapkan sekali saja pada Soempah Pemoeda dulu? Apakah cukup mengingat dan mengenang “Rayuan Pulau Kelapa” di negeri orang agar masih bisa disebut sebagai nasionalis dan mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia?
Mudah-mudahan tidak ada di antara kita yang tersinggung jika saya membuat ilustrasi mengenai kenyataan berikut ini:
Suka atau tidak dengan almarhum Presiden Soeharto yang menguasai negeri ini selama 32 tahun, saya pribadi salut dengan nasionalisme dan kebangsaan yang ditunjukkannya.
Lihatlah, Soeharto tidak mau kabur ke luar negeri seperti halnya Marcos, Pahlevi, atau Duvalier ketika rakyat yang marah dengan rangkaian hujatannya siap menghukumnya. Padahal untuk urusan kabur, mungkin ia bisa melakukannya dengan mudah.
Nyatanya, Soeharto lebih memilih mati di Tanah Air-nya sendiri. Soeharto lebih memilih diadili di sini, di negeri ini, negeri di mana dia dilahirkan dan mengabdi kepada bangsa di luar kelemahannya sebagai manusia. Anda mungkin bilang itu pengadilan bohong-bohongan. Apapun, dia menempuh risiko itu agar bisa mati di negeri sendiri, di tanah tumpah darahnya sendiri.
Soeharto juga lebih memilih "berhenti" (baca: mundur) sebagai Presiden agar di Tanah Air yang membesarkannya tidak berubah menjadi tanah tumpah darah anak bangsanya sendiri. Padahal, Soeharto bisa saja menjadikan halaman Gedung DPR sebagai Tiananmen berikutnya. Soeharto bisa saja membelah negeri ini, memecah militer, dan memecah anasir-anasir bangsa lainnya untuk menyempurnakan syahwat kuasanya. Dan, Soeharto tidak melakukannya.
Saya kurang tahu pasti, apakah keputusan Presiden Soeharto yang lebih memilih "menyelamatkan" negeri ini dari kehancuran total daripada memparipurnakan napsu kuasanya dilandasi jiwa patriotisme, nasionalisme dan kebangsaan yang tinggi, atau hanya kebetulan belaka? Saya tidak bisa mereka-reka. Anda mungkin punya pendapat yang berbeda.
Pepatah bilang: hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri asing. Tetapi maaf, jangan sekali-sekali tanyakan hal ini kepada Presiden RI lainnya, BJ Habibie, yang lebih memilih hidup tenang di luar negeri, karena mungkin jawabannya akan lain. Mungkin pepatah "hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri asing" ini terlalu ekstrem dan membuat kita pasif, mencintai Indonesia secara "ngasal" saja.
Sebenarnya kalau mau dan punya tekad, bisa saja pepatah itu kita ubah menjadi semacam adagium modern: hujan emas di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri asing.
Artinya, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak kembali membangun negeri ini. Jangan hanya cukup puas dan merasa diri nasionalis jika dari kejauhan merasa telah berbuat sesuatu dengan hanya mengingat dan mengenang Indonesia saja.
Negeri ini merana dari masa ke masa, tertinggal jauh dari negeri tetangga sekalipun yang lebih pantas jadi salah satu provinsinya, karena mungkin anak-anak terbaik bangsa hanya bisa mengenang Indonesia dari kejauhan tanpa berbuat sesuatu yang nyata.
Setetes keringat kalian yang menitik di negeri ini barangkali amat berharga sebagai perekat negeri daripada keringat yang tertumpah di negeri asing. Kecakapan kalian tidak sama dengan jutaan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan hanya mengandalkan ototnya. Biarlah mereka senang dan tenang dengan sebutan "pahlawan devisa" oleh pemerintah yang tidak berdaya karena tidak bisa menyediakan lapangan kerja bagi mereka.
Seburuk apapun sumbangan pemikiranmu, pastilah itu berguna sebagai penyemangat kerja.
Barangkali, Ibu Pertiwi sedang memanggilmu pulang...
***
Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [4] Berpikir Minoritas Itu Penting
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews