Tengoklah saudara-saudara kita para transmigran yang minoritas di tanah rantau yang mayoritas. Sejarah telah membuktikan, sebagian besar dari mereka berhasil.
Sekali-kali, cobalah berpikir minoritas!
Barangkali kalimat itu masih terlalu menohok. Apa maksudnya? Ya begitu itu; cobalah berpikir minoritas. Tak ada yang bisa menggantikan kalimat yang sengaja saya miringkan itu.
Saya tidak tahu persis apakah berpikir minoritas dalam konteks survival itu sudah diteliti atau belum. Akan tetapi, kata-kata atau kalimat itu saya peroleh saat berbincang-bincang santai dengan seorang rekan saya, Bestian Nainggolan, saat kami makan siang di Warung “Ceuceu” di dekat kantor tempat saya bekerja di suatu siang yang panas. Hidangan wajib saat itu telor bebek goreng plus sayur asem panas pedas.
Mengapa saya teringat percakapan sambil makan siang itu?
Salah satu sebabnya adalah begitu banyak telaah dan tulisan mengenai kehebatan atau keunggulan Israel sebagai suatu bangsa. Begitu banyak kita dihadapkan pada kenyataan suksesnya saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa Indonesia yang merajai perekonomian dan perputaran uang di negeri ini. Tidak terhitung banyaknya saudagar-saudagar India di berbagai belahan dunia yang menjadi pengusaha sukses, dan seterusnya.
Saya sampai pada satu kemungkinan: jangan-jangan kita sebagai bangsa Indonesia yang (katanya) besar ini harus sudah mulai berpikir minoritas!
Mari kita tengok sejumlah contoh kecil di sini, suatu kehidupan yang pernah saya rasakan dan alami sendiri, atau sekedar menyelami peristiwa di pangkuan Ibu Pertiwi ini dari apa yang pernah saya baca dan saya lihat.
Baca Juga: Indonesiaku [1] Mulailah dengan Bertanya pada Diri Sendiri
Satu pertanyaan kecil itu misalnya, mengapa para transmigran asal tanah Jawa di pulau-pulau lainnya di luar Pulau Jawa cenderung berhasil mengatasi penduduk setempat dari segi perekonomian? Di berbagai daerah, kadang keunggulan para transmigran ini memantik api kecemburuan sosial penduduk lokal. Contoh berhasilnya orang Bali di Lampung atau dulu orang Madura di Sampit dari sisi ekonomi. Mengapa mereka bisa berhasil?
Jujur, saya mulai berpikir, jangan-jangan para transmigran asal Bali atau Madura itu, sekadar menyebut contoh, secara tidak sengaja sudah berpikir minoritas. Mereka berpikir dan merasa harus berhasil di tanah dan air baru yang mereka garap di tempat yang jauh dari lokasi di mana mereka dilahirkan. Karenanya, mereka bertekad harus berhasil dibanding penduduk lokal.
Ada semangat kompetisi sehat yang secara tidak sengaja mereka tanamkan pada diri masing-masing, lalu setelah berhasil ditularkan pada anak-cucu mereka.
Kenyataannya adalah, mereka memang bekerja keras tanpa kenal lelah. Tanah yang gersang dan tandus mereka sulap menjadi lahan pertanian dan perkebunan yang subur. Mereka bangun pukul empat pagi untuk bersiap menggarap sawah ladang, pulang nanti sore ketika matahari tergelincir di ufuk Barat. Begitu seterusnya setiap hari. Bagi mereka, tidak ada hari libur di sini, di tempat baru ini.
Baca Juga: Apa Penting dan Perlunya Berpikir Minoritas?
Kontraskan dengan penduduk lokal yang dalam konteks kewilayahan merupakan mayoritas. Untuk bangun saja mereka baru bisa pukul 10 pagi atau bahkan lebih, leyeh-leyeh dulu sambil ngerumpi tentang usaha pendatang yang kian hari kian maju. Berangkat ketika matahari hampir berada di atas ubun-ubun, lalu pulang cepat sebelum ashar. Setelah itu makan dan leyeh-leyeh lagi. Begitu seterusnya.
Memang tidak semua mental penduduk lokal seperti itu. Akan tetapi di beberapa wilayah, bahkan penduduk lokal masih menganut pola ladang berpindah-pindah. Itu kenyataan. Di beberapa wilayah pula, mereka terpaksa menjual tanah miliknya kepada pendatang (transmigran) sekadar bertahan hidup.
Lama-kelamaan tatkala harta benda sudah beralih tangan kepada penduduk pendatang, mulai tumbuhlah rasa iri yang mendalam, rasa tersisihkan dan tersingkirkan, yang kemudian memantik api kecemburuan sosial yang tajam.
Bisa saja keliru ketika saya ambil contoh yang ekstrem di atas; bahwa para transmigran berpikir minoritas. Sebaliknya, penduduk lokal berpikir mayoritas.
Itu hanya contoh kecil saja dan sekali lagi tentu tidak semua penduduk lokal seperti yang saya gambarkan tadi berethos kerja seperti itu . Sebaliknya, tidak jarang transmigran yang gagal dan minta dikembalikan karena mereka sudah “kalah sebelum berperang”. Besar kemungkinan mereka ini bukan karena tidak betah, tetapi karena mereka masih berpikir mayoritas seperti di tanah asalnya di Pulau Jawa atau Bali.
Ada berapa persen dari 7,9 juta (2012) penduduk Israel yang terpencar dan berdiaspora ke seluruh dunia itu? Mungkin lumayan besar jika ditarik sebagai bangsa Yahudi yang hidup di Rusia, Amerika, atau Eropa Timur lainnya. Tetapi pertanyaannya, mengapa mereka boleh dikatakan unggul di segala bidang mengatasi bangsa-bangsa mayoritas di mana mereka tinggal?
Lagi, jangan-jangan mereka berpikir minoritas.
Lantas, ada berapa perantau etnis China di luar negaranya yang berhasil secara ekonomis yang bahkan mengatasi perekonomian tanah air bangsa yang didiaminya sendiri?
Lagi-lagi, jangan-jangan mereka juga berpikir minoritas!
Singkat kata begini; kalau Anda bekerja di sebuah perusahaan yang didominasi para karyawan dari kota, etnis, atau negara tertentu yang menjadi mayoritas, mengapa tidak berpikir minoritas jika mau berhasil dan mengungguli mereka yang mayoritas?
Maksud saya, motivasi Anda untuk survive dan bahkan sampai mengatasi mayoritas itu harus lebih besar ketimbang karyawan lainnya yang mayoritas. Artinya, Anda harus bekerja lebih keras, lebih giat, lebih inovatif, dan lebih melihat peluang di mana Anda berpikir seolah-olah tidak ada seorang pun yang akan menolong Anda.
Jujur harus saya katakana, diam-diam keharusan berpikir minoritas itu secara tidak sengaja merasuk pula pada diri saya di tempat kerja yang didominasi etnis, kota, dan bahkan agama tertentu yang semuanya berbeda dengan etnis yang sudah melekat, kota dari mana saya berasal, dan bahkan agama yang saya anut.
Kesadaran bahwa saya menjadi minoritas di tengah mayoritas suku, kota, dan agama, diam-diam menggugah kesadaran bahwa saya harus lebih survive karena tidak ada seorang pun yang bisa menolong saya jika saya tertimpa kemalangan. Saya harus bekerja lebih cerdas dan lebih ulet ketimbang karyawan lainnya di perusahaan saya, meski itu harus saya lakukan diam-diam.
Bukan maksud saya melawan mayoritas, tetapi sebagai minoritas di perusahaan, saya harus memiliki lebih tenaga dan pikiran. Saya harus punya personal branding yang kuat agar orang lain, dalam hal ini perusahaan sendiri, tidak mudah mengenyahkan saya.
Baca Juga: Minoritas yang Menjadi Kebanggaan Negaranya
Pendeknya, saya membangun sendiri “posisi tawar” di mata perusahaan hanya karena saya berpikir minoritas, bahwa saya memang minoritas. Sekarang kita tarik berpikir minoritas itu ke sebuah wadah atau ikatan yang lebih besar lagi: Indonesia, kebangsaan Indonesia.
Sekali-kali, cobalah berpikir minoritas sebagai suatu bangsa yang harus lebih kerja keras untuk survive di manapun Anda berada. Anda pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri; para guru, karyawan, teknokrat yang berkerja di negeri jiran atau negara lain; para usahawan yang membuka ladang bisnis di negara-negara lain, mulailah berpikir minoritas.
Anda adalah minoritas di antara mayoritas di mana Anda tinggal. Jangan pikir kalau untuk makan ada orang yang memberi makan dan kalau tidak punya uang ada teman yang meminjamkan uang. No, no one. Berpikirlah seakan-akan tak seorang pun ada di sekitar Anda yang bisa memberi pertolongan. Anda sendirian. Anda minoritas.
Sebagai bangsa Indonesia, bagaimana kalau Anda, juga saya, mulai berpikir minoritas, bahwa kita sesungguhnya adalah bangsa minoritas di tengah bangsa-bangsa besar di tataran global.
Siapa tahu dengan berpikir minoritas, Indonesia menjadi bangsa yang jauh lebih tangguh, lebih mau bekerja keras, lebih bisa survive, lebih tahan banting, lebih unggul dan lebih berhasil mengatasi bangsa-bangsa lainnya di dunia di bidang ekonomi maupun pengaruh yang menyertainya.
Atau kalau terlalu jauh mencontoh, tengoklah saudara-saudara kita para transmigran yang minoritas di tanah rantau yang mayoritas. Sejarah telah membuktikan, sebagian besar dari mereka berhasil.
***
Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [3] "Indonesia Raya" yang Terdengar Makin Sayup
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews