Indonesiaku [3] "Indonesia Raya" yang Terdengar Makin Sayup

Jangan sampai kumandang lagu Indonesia Raya tergeser oleh lagu dengan semangat mengganti ideologi dengan yang baru, yang menganggap Pancasila sebagai ideologi thogut.

Selasa, 14 Mei 2019 | 14:28 WIB
0
569
Indonesiaku [3] "Indonesia Raya" yang Terdengar Makin Sayup
Wage Rudolf Supratman (Foto: Tribunnews.com)

Sebelum saya menulis lebih jauh tentang bahasan kebangsaan yang untuk sementara orang dianggap berat ini, izinkan saya memuat satu komentar rekan Unang Muchtar (kini sudah almarhum) saat mengomentari tulisan sebelumnya.  Begini komentarnya:

Kang Pepih, saya usul setiap ada konser kesenian apa pun jenis keseniannya didahului dengan menyayikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan lagu-lagu perjuangan yang lain. Jadi lagu-lagu ini jangan hanya agustusan saja di perdengarkannya. Jujur saja, waktu seorang Agnes Monica menyayikan lagu perjuangan (saya lupa judulnya) saya merinding. Dia begitu menghayati lagu itu. Jadi setiap ada acara “live” (band atau orkes melayu/dangdut) seluruh audience dan penyanyinya diminta untuk menyayikan lagu-lagu wajib (“Satu Nusa”, “Rayuan Pulau Kelapa”, “Hallo-hallo Bandung”, “Padamu Negeri” dll). Paksakan dan budayakan. Masak anak-anak sekarang lebih hafal lagu-lagunya Samson, yang nota bene adalah lagu pop komersial orang-orang dewasa. Harus dipaksa dan lama-lama terbiasa. Ini cuma salah satu saja lho, untuk lebih menggugah rasa nasionalisme kita. Tentunya masih banyak cara lain.

Mengapa saya postingkan kembali komentar rekan saya itu di sini, karena itulah tema yang mau saya tulis.

Saya teringat peristiwa malam Rabu, 23 Agustus 2006, saat di Bentara Budaya Jakarta diadakan konser tunggal penyanyi balada Iwan Abdulrachman. Bagi saya, ia adalah penyanyi sekaligus “trubador” pujaan ketika saya masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar di tahun 1970an. Lewat layar televisi hitam putih saat itu, saya masih ingat ketika Abah Iwan, pria berkepala plontos ini biasa dipanggil, bersama Grup Kalikautsar-nya mengalunkan senandung “Sejuta Kabut”.

Pun sampai sekarang, hati masih suka tergetar mendengar petikan gitar “tremolo” yang menggigil sepanjang syair lagu itu dinyanyikan. Nah, sebelum “Abah” Iwan menyanyikan lagu-lagunya di BBJ, hadirin diminta berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” untuk Ibu Pertiwi. Cara Abah Iwan ini sangat simpatik sebab akan mengingatkan hadirin kepada Ibu Pertiwi yang cantik ini.

Kelihatannya suasana saat itu ingin dibuat sepatriotik mungkin. Tetapi ternyata tidak juga, wong lagu-lagu Iwan lebih banyak baladanya. Itu sebabnya mengapa saya merinding menyanyikannya dan saat itu merasa bahwa saya sesungguhnya bangsa Indonesia, bangsa besar yang tidak cuma tertulis dalam buku sejarah!

Saya beranggapan, ini tradisi yang sangat baik untuk menggugah semangat keindonesiaan kita yang semakin tergerus oleh tsunami program-program televisi, nyanyian rap dan hip hop atau R&B yang datang dari negeri asing. Bukankah tidak sulit menyediakan waktu barang lima menit untuk berdiri sama-sama menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”?

Maksud saya, “Indonesia Raya” tidak hanya dikumandangkan saat upacara atau saat pertandingan tinju saja, tetapi bisa dalam acara-acara lain seperti pertunjukan masal atau pagelaran kolosal lainnya, sebagaimana dicontohkan “Abah” Iwan sebelum menggelar konser tunggalnya. Juga dikumandangkan sesaat sebelum acara publik semisal sebelum acara seminar.

Ah, itu mah thogut, "Indonesia Raya" kok dipuja-puja, bukankah lebih baik mengumandangkan kidung religi? Boleh jadi ada yang berpikir dan merasa seperti itu, mengingat adanya upaya pengasong khilafah yang sedemikian intens dengan semangat menawarkan ideologi barunya untuk menggantikan Pancasila. Lha, Pancasila dan "Indonesia Raya" 'kan kakak-beradik. Oke deh, Kakak...

Belajar menghormati Indonesia tercermin dari sikap kita saat menyanyikan lagu kebanggaan “Indonesia Raya” itu sendiri. Anda tidak perlu mengingat wajah penciptanya, Wage Rudolf Supratman yang mungkin tidak pernah Anda tahu, tetapi hayati dan jiwai makna yang muncul dari bait demi bait lirik lagu sakral itu.

Yang berjiwa patriotik, tentu saja menyanyikannya dengan sungguh-sungguh, penuh aksentuasi, suara lantang, dengan badan tegap dan pandangan lurus ke depan. Pebulu tangkis Susi Susanti saat menyabet medali emas pertama olimpiade sampai berderai air mata saat Indonesia Raya berkumandang di Barcelona, Spanyol.

Yang berjiwa cuwek saja alias berpikir “ada atau ga ada Indonesia sama saja”, menyanyikannya ya asal bunyi. Hapal liriknya pun tidak, seperti seorang menteri muda di televisi yang bersemangat mengajak publik sama-sama menyajikan "Indonesia Raya" namun dia sendiri gagap dan tidak hapal lirik. Kalau pun hapal, bisa jadi kebalik-balik.

Zaman Soekarno dulu, jangankan “Indonesia Raya” yang harus dikumandangkan, lagu-lagu wajib lainnya yang bernada patriotik pun wajib digelorakan. Sekarang kalau hal itu diberlakukan, mungkin hanya akan menjadi bahan tertawaan dan bisa jadi menerbitkan cemooh; “ah, nggak zaman!” atau “sok patriotis amat sih”, dan seterusnya.

Sampai di sini, satu penghormatan saya berikan pada penyanyi Kikan dari kelompok musik Cokelat yang masih sudi menyanyikan lagu-lagu patriotik. Saat pentas di Beijing beberapa waktu lalu, misalnya, Kikan menyanyikan “Tanah Airku”. Lagu berirama cadas pun ternyata bisa menyeruak hegemoni lagu-lagu bernada cinta, selingkuh, putus ada, kepedihan semata, dan religi.

Baca Juga: Indonesiaku [1] Mulailah dengan Bertanya pada Diri Sendiri

Bagi saya, Kikan dengan Cokelat-nya adalah anak-anak muda Indonesia masa kini yang berjiwa patriotik. Toh tidak ada orang yang melecehkan Kikan sebagai “sok patriotik”? Bukankah justru sikap seperti Kikan inilah yang harus ditiru anak-anak muda lainnya dalam berbagai kesempatan?

Benar, menumbuhkan rasa cinta Indonesia, rasa bangga karena ikut ambil bagian dalam bernegara, cinta Ibu Pertiwi, perlu terus ditumbuhkan agar anak-anak muda paham, bahwa bumi yang dipijak, air yang mengalir, dan langit yang dijunjung tinggi itu adalah Indonesia. Sekecil apapun usaha itu dilakukan, seperti lewat kumandang lagu kebangsaan “Indonesia Raya” itu.

Anda masih hapal syair lagu kebangsaan yang pernah kita banggakan itu? Jangan seperti saya yang sering lupa-lupa ingat atau ingat-ingat lupa!

***

Tulisan Sebelumnya: Indonesiaku [2] Sukuisme Mengemuka, Nasionalisme Turut Merana