Pilihan Prabowo; Rekonsiliasi atau Tetap Oposisi

Pilihan terbaik buat Prabowo adalah tetap menjadi oposisi, biar pemerintah mendapat masukan yang sehat dan konstruktif.

Kamis, 27 Juni 2019 | 10:19 WIB
0
497
Pilihan Prabowo; Rekonsiliasi atau Tetap Oposisi
Prabowo Subianto (Foto: Kompas)

Banyak hal mengejutkan jelang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sengketa pilpres 2019 yang rencananya diumumkan 27 Juni 2019 hari ini. Salah satunya kemunculan isu soal kesepakatan politik yang konon sedang dibuat oleh kedua kubu yang disebut-sebut sedang berseteru saat ini, yaitu Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Adalah Wakil Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Faldo Maldini si pelempar  bola panas yang kemudian menjadi isu berkategori "fresh from the oven" ini. Faldo bilang, tak menutup kemungkinan Prabowo Subianto mendapat jabatan selaku Dewan Pertimbangan Presiden di pemerintahan Joko Widodo di periode 2019-2022.

Belum lagi isu ini sampai pada inti perdebatan, juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga mengatakan belum ada keputusan secara resmi soal kesepakatan jabatan Wantimpres untuk Prabowo. Namun demikian, namanya juga "ngompol" (ngomong politik), Arya tak menampik kemungkinan itu. Ia merujuk pada pembicaraan-pembicaraan informal yang dilakukan kubu Jokowi dan Prabowo.

"Itu bisa saja terjadi. Sangat wajar Pak Prabowo ditempatkan di Wantimpres. Beliau punya kecintaan terhadap bangsa Indonesia, akan sangat bisa membantu Pak Jokowi," kata Arya sebagaimana diberitakan CNNIndonesia, Selasa 25 Juni 2019 lalu.

Arya memperkirakan koalisi Jokowi-Ma'ruf akan dengan terbuka dan senang jika Prabowo betul memegang jabatan Wantimpres di periode pemerintahan 2019-2022 mendatang. Pasalnya, kata Arya, hingga kini semua proses demi terwujudnya rekonsiliasi terus dilakukan dengan kubu Prabowo-Sandiaga Uno usai Pilpres 2019. "Komunikasi dengan kubu Prabowo-Sandi terus dilakukan, tujuannya rekonsiliasi, bisa bahas apa saja," katanya.

Pernyataan Faldo yang bak gayung disambut oleh Arya ini memunculkan tanda tanya besar di sementara publik; apakah tawaran jabatan Wantimpres untuk Prabowo di pemerintahan Jokowi ini sebuah penghargaan atau sebaliknya, sebuah penghinaan yang menyakitkan. Menyakitkan, sebab seolah-olah putusan MK sudah pasti menolak gugatan Prabowo-Sandiaga, padahal palu hakim MK diketokkan.

Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Andre Rosiade menegaskan sampai saat ini belum ada pembicaraan yang dilakukan oleh Prabowo dengan Jokowi soal bagi-bagi jabatan, termasuk posisi Wantimpres. Tidak ada satupun pimpinan Partai Gerindra, termasuk Prabowo yang datang menemui Jokowi ataupun pewakilannya untuk membahas kesepakatan jabatan politik di pemerintahan. Andre menyindir Faldo sebagai mencari sensansi.

Wantimpres atau Dewan Pertimbangan Presiden ini adalah lembaga pemerintah nonstruktural yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden.

Wantimpres [ertama kali dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007, lembaga ini merupakan kelanjutan dari Dewan Pertimbangan Agung yang dibubarkan setelah Perubahan Ke-4 UUD 1945. 

Anggota Wantimpres berjumlah 9 orang dan saat ini diketuai oleh Sri Adiningsih.

Tentu saja jabatan Wantimpres untuk Prabowo adalah Ketua, yang saat ini dijabat Sri Adiningsih itu. Pada masa Orde Baru berkuasa, jabatan ini bernama Ketua DPA, Dewan Pertimbangan Agung, yang tugasnya memberi nasihat kepada Presiden (Soeharto) saat itu.

Tetapi tentu saja ini lembaga formalitas asal ada karena amanat Konstitusi , TAP MPR atau Undang-undang. Siapa berani memberi nasihat kepada seorang diktator seperti Soeharto?

Jika benar isu yang dilempar Faldo ini dan Prabowo menerima tawaran itu, artinya terjadi rekonsiliasi antara dua kubu yang berseteru. Bisa jadi keadaan akan semakin adem tanpa ada gontok-gontokan dan nyinyir-nyinyiran. Cebong dan Kampret bersatu saling berangkulan. 

Baca Juga: Agama, Bukan Sekedar Soal Jokowi versus Prabowo

Konsekuensi lanjutan dari rekonsiliasi adalah bagi jatah-jatah kekuasaan, khususnya jabatan menteri yang dianggap prestisius, juga posisi-posisi penting lembaga negara dan pemerintahan. Saat jatah harus dibagi kepada Prabowo dan tim, ada jatah yang berkurang yang tadinya bakal dinikmati pendukung Jokowi. Sinyalemen Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar jelas menunjukkan, ia tidak ingin ada jatah (menteri) yang berkurang jika rekonsiliasi harus dilakukan.

Artinya, gontok-gontokan di tataran elite politik yang haus kekuasaan bagai burung pemakan bangkai itu akan tetap terjadi dan menjadi tontonan gratis rakyat. Tetapi ini sesungguhnya jauh lebih baik dibanding antara rakyat sendiri yang saling bertikai dan berkelahi.

Benar bahwa menerima rekonsiliasi akan mendinginkan suasana, membantu Presiden Joko Widodo bekerja lebih tenang. Tetapi dalam sebuah negara demokratis, tidak adanya oposisi ibarat gulai tanpa garam, meski terasa dagingnya tapi tidak terasa nikmat rasanya.

Rekonsiliasi akan mengembalikan suasana politik seperti Orde Baru, di mana kritik dari "oposisi" hanya kerpura-puraan semata. Tidak ada greget untuk pemberitaan media, baik untuk media massa maupun media sosial. Suasana akan datar dan monoton, persis perpolitikan di Singapura sekarang ini atau Indonesia masa Orba.

Pilihan terbaik buat Prabowo adalah tetap menjadi oposisi, biar pemerintah mendapat masukan yang sehat dan konstruktif. Sebab, pemerintah tanpa kritik akan terjebak pada sistem diktatorianisme sebagaimana Soeharto dulu. Jangan menjebak Jokowi dengan ABS alias Asal Bapak Senang!

Tentu saja dengan catatan;  bukan masukan hoax yang menegasikan keberhasilan pemerintah seperti yang dilakukan selama ini. 

***