Megawati Mainkan “Psy-War”, Jokowi Takluk?

Selasa, 13 Agustus 2019 | 09:56 WIB
3
676
Megawati Mainkan “Psy-War”, Jokowi Takluk?
Presiden Joko Widodo dan Ketum DPP PDIP Megawati saat di Kongres V PDIP di Denpasar. (Foto: Riaunews.com)

PDIP dan Megawati Soekarnoputri merasa “dipecundangi” pada periode kepemimpinan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Agar tak terulang, Megawati pun lontarkan psy-war. Pesannya jelas: Jokowi harus ikuti apa kemauan PDIP.

Jika kita menyimak pidato Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri saat Kongres V PDIP di Denpasar, 8-10 Agustus 2019, ada hal menarik yang bisa dikaji lebih mendalam. Terutama terkait “jatah kursi” menteri dan Ketua DPR dari PDIP.  

Diawali dari cerita, saat PDIP memenangkan Pemilu 1999, mestinya dirinyalah yang menjadi presiden. Tapi tidak bisa. Dikalahkan di DPR. Yang jadi justru KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ketika itu belum ada pemilihan langsung.

Ketua DPR saat itu dipegang Golkar (Akbar Tanjung). Ketua MPR dijabat oleh Amien Rais (utusan Golongan). Pemilu lima tahun lalu PDIP menang lagi. Tapi jabatan ketua DPR jatuh ke Partai Golkar. Melalui penciptaan UU MD3.

“Saya ditipu terus. Dikerjain terus,” ungkap Megawati. “Tapi kita jalan terus. Suatu saat pasti mencapai kemenangan,” tambahnya. Itulah yang dimaksud dengan “kesabaran revolusioner”. Kalimat ini tidak ada dalam teks pidato Megawati.

Pada Pemilu 2019, 17 April 2019, PDIP menang lagi. Apakah PDIP dan Megawati juga akan ditipu dan dikerjai di DPR lagi? “Kali ini tidak mau, tidak mau, tidak mau!” tegasnya. Tidak maunya sampai perlu diucapkan Megawati tiga kali.

Ucapan Megawati itu disampaikan dengan penuh perasaan. Yang kemudian diikuti pula oleh perasaan kader partai yang hadir. “Tidak mau, tidak mau, tidak mau!” teriak peserta kongres serentak. Ternyata, PDIP ngincar posisi Ketua DPR.

Megawati kemudian memasuki perihal susunan Kabinet Indonesia Kerja (KIK) mendatang. Sambil menyebut nama Presiden Joko Widodo, Megawati mengatakan nanti tidak bisa lagi Presiden Jokowi beralasan soal jumlah kursi PDIP.

Misalnya, sebut Megawati, PDIP sudah mendapat banyak posisi, seperti Ketua DPR, maka jumlah menteri PDIP empat orang saja. Itu pun sudah lebih banyak dari yang lain (Koalisi Jokowi), yang hanya mendapat kursi dua menteri saja.

“Tidak mau!” tegasnya. Megawati mengingatkan kembali betapa beratnya memenangkan pemilu di Jateng. Sampai harus turun sendiri ke lapangan. “Waktu itu kami sudah begini-begini,” katanya memberi isyarat dengan jari-jemarinya.  

Maksudnya, ia sudah khawatir kalah. Begitu juga TKN paslon Joko Widodo – Ma’ruf Amin. “Itu gara-gara Mas Bowo mau pindah posko ke Jateng,” katanya, sambil mengarahkan wajah ke Ketum Gerindra Prabowo Subianto yang duduk di depan.

Prabowo yang duduk di sebelah Ma’ruf Amin, tampak tersenyum, sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dadanya. “Wong sudah tahu Jateng itu kandang banteng saya. Kok mau diganggu,” kata Megawati sambil senyum lepas.

Hadirin pun tertawa. “Terpaksa saya turun sendiri,” lanjutnya. Padahal, Megawati memberi isyarat bahwa PDIP sudah tahu diri, tidak mengganggu Jabar dan Banten, karena kandangnya Prabowo. Pada Pilpres 2014, Prabowo menang telak di sini.

“Saya pun terpaksa menyerukan Jawa Tengah. Hayo! Bantengnya jangan hanya merumput terus. Asah tanduk kalian!” katanya. Megawati pun menyebut Puan Maharani. “Tahu nggak dia anak siapa?“ tanya Megawati saat kampanye di Jateng dulu.

“Puan harus mendapat suara lebih 500.000 (suara),” tegas Megawati. PDIP akhirnya menjadi pemenang Pemilu 2019. Puan Maharani terpilih menjadi anggota DPR dengan suara terbesar. Maka kali ini tidak akan mau lagi kalau Puan tidak jadi Ketua DPR.

Menekan Jokowi?

Sayangnya, pidato Megawati selama sekitar sejam itu sama sekali tidak menyentuh persoalan bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, ekonomi, ancaman TKA China, dan visi ke depan dari pemerintahan ke depan yang dimenangkan Jokowi – Ma’ruf.

Apa yang disampaikan Megawati seolah hanya berupa sosialisasi bagaimana PDIP berjuang untuk “memangkan” Pilpres 2019 atas paslon Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Apalagi, Jokowi sampai bilang, di Bali kita menang telak “sekian” persen.

Presiden Jokowi mungkin lupa, Prabowo datang itu atas undangan khusus dari Megawati saat berkunjung ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Apalagi, Prabowo mendapat tempat khusus di pembukaan Kongres V PDIP di Denpasar tersebut.

Prabowo menempati kursi kehormatan di deretan terdepan bersama Ma’ruf Amin, Megawati, Presiden Jokowi, dan Wapres Jusuf Kalla. Bukan hanya di sebelah siapa ia didudukkan. Tapi nama Prabowo disebut sampai lima kali dalam pidato sejam lebih itu.

Megawati sampai perlu mengucapkan terima kasih atas kehadiran Prabowo. “Waktu saya bertemu yang heboh itu, sebenarnya saya hanya mengatakan... Mas, apakah mau hadir kalau saya undang ke kongres,” ujar Megawati disambut gerrr hadirin.

“Sekarang ini yang tidak diundang pun minta diundang. Begitulah kalau menjadi pemenang Pemilu,” timpal Megawati. Begitu pentingkah kehadiran Prabowo dalam Kongres V PDIP? Jelas, sangat, sangat, dan sangat penting untuk sebuah legitimasi.

Apalagi, pasca pertemuan Teuku Umar antara Prabowo dengan Megawati. Pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus yang dilakukan sebelumnya, setidaknya telah membuat terjadinya friksi di Koalisi Jokowi.

Format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo jelas sangat mengkhawatirkan Koalisi Jokowi, seperti NasDem, Golkar, PKB, dan PPP. Karena, jika rekonsiliasi berna-benar terjadi, maka jatah kursi mereka bakal berkurang, termasuk PDIP tentunya.

Karena, Prabowo akan memasukkan kader-kadernya dalam Pemerintahan Jokowi – Ma’ruf mendatang. Setidaknya, minimal 8 kursi dalam kabinet. Boleh jadi, inilah yang kemudian membuat Surya Paloh mengadakan pertemuan, di luar PDIP.

Manuver Paloh mengumpulkan anggota Koalisi Jokowi minus PDIP, karena mereka tetap khawatir dengan kehadiran “mitra koalisi” barunya, Gerindra. Sementara itu, di sisi lainnya, PDIP dan tentu saja Jokowi – Ma’ruf perlu legitimasi Prabowo.

PDIP sendiri, kabarnya, lebih senang bermitra dengan Gerindra. Di sini jelas sekali, adanya sinyal bahwa jika Jokowi tak menuruti permintaan Megawati soal jatah menteri untuk PDIP, maka bisa saja setiap saat PDIP dan Megawati meninggalkannya.

Apalagi, kabarnya, sekarang ini memang sedang ada pembicaraan antara elit PDIP dengan Gerindra perihal bagi-bagi jatah kursi pimpinan DPR-MPR. Untuk Ketua DPR diberikan ke PDIP sebagai pemenang Pemilu 2019. Ketua MPR jatah Gerindra. 

Posisi Wakil Ketua DPR maupun MPR diserahkan pada partai pemenang urutan berikutnya. Di sini jelas sekali, apa yang diinginkan Megawati pasti bakal tercapai. Puan Maharani calon kuat Ketua DPR. Setelah posisi di legislatif diraihnya, kini menteri.

PDIP yang semula seakan tak peduli dengan pembagian kursi dan jatah menteri, kali ini jelas menunjukkan penolakannya jika hanya diberi jatah sedikit. PDIP telah menunjukkan wajah aslinya. Megawati meminta lebih banyak menteri nantinya.

“Mesti lebih banyak. Orang kita ini pemenang pemilu dua kali,” tegas Megawati lagi. Lebih banyak yang dimaksud ini tentu jumlahnya lebih dari yang sekarang dan mesti lebih banyak dari partai anggota koalisi lainnya. Karena PDIP pemenang pemilu.

Megawati dengan tegas mengatakan akan menolak jika Presiden Jokowi hanya memberikan sedikit jatah kursi menteri untuk diisi kader PDIP. “Jangan nanti, Ibu Mega, saya kira karena PDIP sudah banyak kemenangan, sudah di DPR, saya kasih empat,” ujarnya.

“Emoh, tidak mau, tidak mau, tidak mau,” tegas Megawati. Saat mendapat giliran berpidato, Presiden Jokowi menjanjikan kursi menteri terbanyak untuk PDIP. “Yang jelas, PDIP pasti yang terbanyak. Jaminannya saya,” jawab Presiden Jokowi.

Apakah pernyataan keras perihal jatah menteri yang disampaikan Megawati itu tidak lain psy-war kepada para pihak yang selama ini mendikte Presiden Jokowi, setelah akhirnya diketahui oleh Megawati setelah berjalan sekian tahun Jokowi berkuasa?

Apalagi, melalui Kepala BIN Budi Gunawan, Megawati sudah tahu bahwa kemenangan yang diperoleh Jokowi – Ma’ruf atas Prabowo – Sandi pada Pilpres 2019 penuh kecurangan TSM, meski secara yuridis formal MK sudah memenangkan mereka.

Lebih tegas lagi adalah sikap Ijtima Ulama IV di Jakarta yang tidak mengakui Jokowi sebagai Presiden Terpilih karena penuh dengan pencurangan TSM. Joked2019 @Joked2019 menulis, karenanya tak bisa dilantik, apalagi tak memenuhi syarat pasal 6A UUD 2002.

“Mustahil dilakukan pelantikan yang paradoks terhadap konstitusi. Kian membesar gerakan tolak lantik,” lanjut twiter Joko Edy. Megawati pun pasti juga tahu soal syarat pasal 6A UUD 2002 tersebut. Di sinilah Prabowo punya posisi yang sangat kuat.

Kalau yang dikejar cuma kursi menteri, jika Prabowo yang dilantik menjadi presiden, dapat dipastikan ia akan menuruti Megawati dan PDIP.

***